Cerita super Hero selalu menjadi fantastis di balik jejuri kegelapan. Di saat para penyair menulis syair - syair puisi dan para nabi palsu bernubuat atas nama syahadat di situlah perang maha penghancur jagat raya menyapu bersih pundi-pundi pengetahuan. Orang-orang lemah tertipu daya sebab konon dikatakan oleh seorang ilmuwan yang bernama Marxis bahwasanya agama adalah candu, tetapi para pujangga lainya menyikapinya dengan lakon-lakon dramatis yang seolah - olah mengisahkan tentang sebuah negara demokrasi yang kritis dan nyaris di ambil nyawanya oleh malaikat pencabut nyawa.
Kejahatan kapitalisme yang dulunya diserukan oleh para bapak bangsa kita adalah sebuah musuh yang perlu kita lawan, lantas itu tidak kita lakukan di masa sekarang ini, sebab kemoderenan berhasil didesain kembali dari tangan para kapitalis sebagai sebuah alat tipu daya yang baru. selanjutnya dilegalkan atas nama hukum-hukum negara, maka kebanyakan di anatar kita dipaksa untuk mengaminkan terhadap hal ini. demikian sebagai konsekwensi logisnya yang bisa kita rasakan adalah muncul ketidak pastian antara yang dijaga dan dibuang, antara yang subtansi dan sensasi.Â
Demikian di era sekarang menjadi sesuatu yang nyata dari prodak moderniasi itu ialah popularitas menjadi absolut. Padahal seharusnya hal yang menjadi absolut adalah kualitas seorang pemimpin. Kita bicara dalam ruang demokrasi menjadi momok yang menakutkan karena olehnya bisa melahirkan para pemimpin yang berbasis pada popularitas semata dan tidak dibarengi dengan kualitas yang mumpuni. pendek kata kalaulah kita telusuri betul asal usul demokrasi itu maka ketahuilah bahwa demokrasi itu adalah sebuah skema reinkarnasi dari imperlialisme dan kapitalisme. tetapi tidak semuanya buruk rupa dari modernisasi itu, tinggal kehendak kitalah yang bisa menentukan mana yang kita akan gunakan dan mana yang tidak kita gunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. kita harus berani mempertanggungjawabkan pilihan - pilihan kita ini kepada bangsa dan negara sebab ini dasar menjadi suatu kewajiban yang harus dipenuhi sebagai insan yang mau merubah nasib bangsanya. Kalau Bung Karno mengatakan Tuhan tidak akan mengubah nasib sutau bangsa sebelum bangsa itu mau mengubah nasibnya sendiri.
Dewasa ini mayoritas negara-negara di dunia telah menggunakan demokrasi sebagai alat yang dipercaya untuk mampu membawa keadilan dan kesejahteraan bagai umat. Sesungguhnya ini adalah target yang substansial sayangnya target ini nyaris tidak dapat tercapai sebab banyak diantara negara - negara penganut demokrasi itu berjibaku pada pemilihan pemimpin yang hanya bermodalkan popularitas bukan kualitas. Kesenjangan, kemiskinan dan kemelaratan justru menjadi hasil dari salah pilih pemimpin yang tidak amanah. Fenomena ini miris karena telah melahirkan kesakitan bak virus yang menyerang setiap anak bangsa.
Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat secara eksplisit menegaskan sebagai Negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan penegasan tersebut, sebagai bentuk manifestasi kedaulatan rakyat maka didesain sebuah kontestasi demokrasi yang disebut dengan Pemilihan Umum yang diyakini mampu memberikan ruang dari kedaulatan rakyat itu sendiri.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Desain Pemilihan secara langsung khususnya pemangku kepentingan eksekutorial merupakan hasil dari amandemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai suatu kepenatan terhadap rezim orde baru yang otoritarian sehingga menimbulkan gelombang perlawanan dengan keberhasilan para reformis meruntuhkan rezim otoritarian di tahun 1998.
Pada Era reformasi, sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan Pemilu secara langsung maka dibentuk lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu untuk menyelenggarakan kontestasi demokrasi tersebut secara periodik. Secara konstitusional, kedudukan penyelenggara Pemilu dituangkan dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang besifat nasional, tetap, mandiri. Hal tersebut untuk menghindarkan terkooptasinya dari elemen-elemen yang dapat menciptakan ketidaknetralan dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Selain terdapat lembaga Penyelenggara Pemilu secara teknis, terdapat pula lembaga Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan penyelenggara Pemilu. Lembaga Pengawas Pemilu itu diberinama Bawaslu.
MENGAPA PENTINGNYA ADA BAWASLU ?Â
Seperti bunyi tema yang penulis angkat di atas sebab superhero itu Bernama bawaslu. Demikianlah kita dapat membenarkan pernyataan ini jika kita menjejaki tugas dan peran dari bawaslu itu sendiri. Secara garis besar kita temukan di dalam Pasal 93 UU No. 7 Tahun 2017, menyatakan bahwa
Pasal 93 Bawaslu bertugas :
- Menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas Pemilu di setiap tingkatan,Â
- Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu
- Mengawasi persiapan hingga tahapan Penyelenggaraan Pemilu.
Kita menyadari bahwa Indonesia yang majemuk ini perlu adanya suatu tindakan pengawasan terutama dalam melahirkan pemimpin yang Amanah. Agar kemajemukan tidak hanya terikat secara politik tetapi kesetaraan sama sekali tidak disentuh oleh tangan seorang pemimpinnya. Bawaslu menjadi suatu Lembaga negara yang diperintahkan oleh undang-undang untuk memberi pengawasan kepada proses pemilu. Ia mengawasi setiap tipu daya yang coba direncanakan oleh setiap oknum yang mencalonkan diri sebagai pemimpin. Ia mengabdikan jiwa dan badannya untuk mengawal agar suara rakyat tetap menjadi mulia. seorang anggota bawaslu harus mengutamakan intergritas dan komitmen mengawasi setiap pelanggaran. namun sebaliknya, jika ada di antara anggota bawaslu itu melanggar sejengkalpun ia akan dihukum oleh sumpahnya, ia akan diminta tanggung jawab dunia maupun akhirat, dan tentu akan dihukum sesuai dengan kitab undang-undang yang berlaku. Di sinilah letak sikap kepalahwanan seorang yang mengabdikan dirinya menjadi anggota Bawaslu.