Perbedaan tersebut tidak terlepas dari cara keduanya memaknai hubungan. Megawati (berulangkali) menyebut dan tentunya menganggap Jokowi petugas partai sehingga seluruh perilaku politik dan kebijakannya harus mencerminkan dan sesuai dengan garis partai. Dalam konteks ini, garis partai adalah cerminan pikiran, semangat, dan keinginan Megawati.
Di sisi lain, Jokowi selaku presiden, harus menempatkan diri di atas kepentingan partai. Meskipun hal itu masih sebatas keinginan. Sebab faktanya Jokowi cenderung hanya berpihak pada kelompok pendukungnya. Pertemuan dengan relawannya, yang digelar berulangkali, adalah contohnya. Tudingan sinis bahwa Jokowi sebatas pemimpin bagi relawannya, sulit dihindari.
Hubungan Jokowi dengan Megawati dalam beberapa hari ke depan, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak lagi membatasi usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), diyakini akan memanas. Bisa jadi akan terjadi "ledakan" yang terakumulasi dari perbedaan tipis-tipis selama ini.
Seperti kita ketahui, MK mengabulkan sebagian gugatan judicial review yang diajukan Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Surakarta, terhadap pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mensyaratkan capres-cawapres berusia minimal 40 tahun,
Dalam putusan terhadap gugatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023, MK menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan tersebut sontak kian menggemakan plesetan MK sebagai Mahkamah Keluarga karena Ketua MK Anwar Usman merupakan adik ipar Presiden Jokowi. Terlebih putusan MK memberi landasan hukum bagi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka maju dalam kontestasi Pilpres 2024, sesuatu yang sudah didengungkan sejak lama namun terganjal usianya yang baru 36 tahun.
Wacana Gibran menggantikan bapaknya, tidak berdiri sendiri, melainkan sintesa dari proses politik setahun terakhir. Upaya agar kekuasaan Jokowi langgeng, melahirkan banyak isu dan wacana termasuk amandemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi 7 tahun, penambahan periodisasi, hingga diperbolehkannya mantan presiden menjadi wakil presiden.
Ketika semua isu dan wacana tidak dapat direalisasikan karena mendapat tentangan keras berbagai pihak, termasuk PDI Perjuangan (baca: Megawati), mulailah dimunculkan Gibran sebagai alternatif. Bak bola salju, relawannya segera mengorkestrasi menjadi nyanyian surgawi yang melenakan. Nada sumbang terkait moral dan etika, dilibas melalui hasil survei dan show of force relawan di berbagai kesempatan.
Jangan ditanya anggaran yang dihabiskan dan dari mana sumbernya. Hanya di negeri Wakanda hal-hal seperti itu boleh diungkit. Ini Indonesia, Bung!
Lalu bagaimana putusan MK bisa mempengaruhi hubungan Jokowi dan Megawati? Mari simak beberapa alasannya.
Pertama, posisi tawar (bargaining position) Jokowi di atas angin untuk mendikte Megawati terkait capres dan cawapres PDIP. Jika Megawati tidak mau mengambil Gibran sebagai capres, minimal cawapres, maka Jokowi "tidak bisa menolak" tawaran capres dari Koalisi Indonesia Maju Prabowo Subianto yang ingin menjadikan Gibran sebagai cawapresnya.
Kita paham, meski tidak bisa dipungkiri kelihaian politiknya, Megawati, pemilik hak prerogatif dalam menentukan calon yang akan diusung PDIP, juga memiliki "kelemahan akut" terkait penetapan calon yang akan diusung dalam kontestasi elektoral. Semua calon yang diusung berbanding lurus dengan hasil survei yang diramaikan media. Padahal Megawati mengaku "bingung" dengan hasil survei yang disebutnya seperti roller coaster.
Kelemahan ini dimanfaatkan kader-kadernya untuk membangun pencitraan melalui lembaga survei. Bukan rahasia lagi, lembaga survei juga merangkap konsultan politik yang tugasnya, antara lain, membuat opini terkait elektabilitas kliennya. Itu sebabnya, hampir semua hasil survei berbeda dengan real count. Terkait hal ini bisa dibaca di sini.
Kekalahan jagoan PDIP dalam kontestasi pilkada Jawa Timur, DKI Jakarta hingga Jawa Barat, tidak terbebas dari faktor itu. Perolehan suara jagoan PDIP di Pilgub Jateng 2018 pun jauh dari ekspektasi.
Kedua, selama ini sejumlah pihak bisa menutupi apa yang disebut Megawati sebagai dansa politik Jokowi. Bukan rahasia lagi, Jokowi beberapa kali meng-endorse Prabowo, bahkan setelah PDIP menetapkan Ganjar Pranowo sebagai bakal capres.
Dengan adanya putusan MK yang membuka peluang Gibran menjadi peserta Pilpres 2024, sulit untuk menutupi fakta adanya perspektif politik yang berbeda antara Jokowi dengan Megawati. Ucapan Jokowi tidak ikut campur dalam putusan MK, masih perlu pembuktian mengingat adanya fakta apa yang dikatakan Jokowi sering berbeda dengan realitasnya. Tidak mikir copras-capres, impor pangan, utang negara, hingga penggunaan APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, hanyalah sedikit contoh beda ucapan Jokowi dengan kenyataan.
Ketiga, putusan MK seakan menerangi maksud di balik restu Jokowi kepada Kaesang Pangarep menahkodahi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Jika akhirnya Gibran menjadi cawapres Prabowo, dan Jokowi disingkirkan dari kandang banteng, maka sudah ada tempat untuk melabuhkan aspirasi politiknya. Sikap Jokowi mengingatkan kita pada langkah politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelang Pilpres 2004.
Sekedar mengingatkan, saat itu SBY yang masih menjadi anggota Kabinet Megawati, ditanya apakah akan maju dalam Pilpres 2004. Bahkan Megawati menawari SBY sebagai cawapres. SBY tidak tegas menjawab. Namun diam-diam koleganya mendirikan Partai Demokrat yang kemudian menjadi sekoci politik SBY setelah keluar dari kabinet dan berhasil menumbangkan Megawati dalam dua gelaran pilpres.
Keempat, meski seruan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ditujukan kepada hakim MK, namun pemilihan diksi "karma politik", jelas mengarah pada pihak lain. Hasto bahkan menyebut politik harus bersandar pada kepentingan bangsa, bukan individu, keluarga maupun golongan. Pernyataan Hasto tidak lagi normatif karena pada saat bersamaan sedang ramai tudingan MK menjadi perpanjangan tangan "keluarga" Jokowi.
Dari uraian di atas, jelaslah hubungan Jokowi dengan Megawati tidak akan semesra sebelumnya kecuali jika PDIP mau mengikuti dansa politik Istana. Jika itu terjadi maka sesungguhnya Jokowi yang mengarahkan "box step" PDIP, bukan Megawati.
Salam @yb