Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Kita Maklumi Cawe-cawe Presiden, tapi...

30 Mei 2023   09:43 Diperbarui: 30 Mei 2023   16:34 437 12
Akhirnya Presiden Joko Widodo membuat pengakuan jujur jika dirinya memang ikut cawe-cawe dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 seperti yang selama ini dipersepsikan oleh sebagian besar masyarakat. Diketahui, dalam beberapa kesempatan Presiden Jokowi secara terbuka meng-endorse Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Pengakuan Jokowi bahwa dirinya tidak akan netral pada Pilpres 2024 disampaikan saat bertemu pimpinan media dan penggiat media sosial di Istana Merdeka, kemarin.

"Saya harus cawe-cawe," tegas Presiden seraya memberikan alasan, langkah tersebut dilakukan untuk kepentingan negara, bukan kepentingan pribadi atau golongan. Jokowi menolak menjelaskan langkah yang dilakukan dalam rangka mendukung calon presiden (capres) yang akan bertarung pada gelaran Pilpres 2024.

Meski dimaksudkan sebagai klarifikasi atas pernyataan "cawe-cawe" yang dilontarkan Jokowi, penjelasan yang disampaikan Deputi Bidang Protokoler, Pers dan Media Sekretariat Presiden, Bey Mahmuddin kian menegaskan arah dukungan Jokowi.

Menurut Bey, cawe-cawe Presiden dimaksudkan untuk memastikan Pemilu, termasuk Pilpres, berlangsung jujur dan adil, dan menjaga netralitas TNI, Polri serta ASN. Namun Bey menegaskan, Presiden ingin penggantinya dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Pengakuan jujur Presiden Jokowi seolah untuk "meluruskan" pernyataan sebelumnya ketika membantah tudingan dirinya ikut cawe-cawe urusan Pilpres usai mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai politik pendukungnya di Istana Negara.

Pertemuan tersebut dituding untuk membahas dukung-mendukung Pilpres 2024 karena tidak mengajak Partai Nasdem yang notabene partai pendukung pemerintah. Artinya yang dibahas sangat mungkin bukan terkait program pembangunan. Tudingan itu mendapat pembenarannya ketika Jokowi mengatakan bahwa Nasdem tidak diundang karena sudah punya koalisi sendiri.

Seperti kita ketahui, Nasdem telah membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) bersama PKS dan Partai Demokrat untuk mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai capres.

Kita memahami, Jokowi ingin penggantinya dapat meneruskan program kerjanya, terutama keberlangsungan pembangunan IKN Nusantara. Jika IKN Nusantara mangkrak, maka pemindahan Ibu Kota  dari Jakarta, terancam batal.

Jokowi juga tentu ingin penggantinya bisa mikul duwur mendem jero, mengapresiasi prestasinya, sekaligus mengubur hal-hal yang bermasalah.
 
Sepanjang Jokowi hanya menggunakan pengaruh pribadinya untuk mendukung capres jagoannya, kita masih bisa memahami dan memakluminya. Sebagai petugas partai, Jokowi tentu dibebani kewajiban untuk memenangkan jagoan partainya.
 
Tetapi akan menjadi persoalan serius manakala Jokowi menggunakan pengaruh jabatannya untuk mendukung ketidaknetralannya. Sebab, sebagai Kepala Negara, Jokowi memiliki kewajiban yang lebih besar dari sekedar "tugas partai" yakni untuk bisa bersikap netral dalam rivalitas politik di Pilpres 2024 yang tidak lagi diikutinya. Jokowi harus bisa berdiri di atas semua golongan, semua anak bangsa tanpa melihat preferensi politiknya.

Jokowi boleh saja mendukung dan berharap penggantinya sesuai kriteria yang diinginkan, tetapi tidak boleh menggunakan fasilitas negara, termasuk sumber dayanya, untuk mewujudkan dukungannya.

Kengototan Presiden Jokowi untuk ikut cawe-cawe dalam menentukan penggantinya, justru akan memantik persepsi lain yang mungkin tidak terpikirkan.

Kita tidak yakin Jokowi hanya ingin memastikan keberlangsungan program mercusuarnya. Sebab, seperti sering dikatakan Jokowi, pembangunan IKN Nusantara merupakan amanat undang-undang sehingga siapa pun penggantinya tetap akan melanjutkan program pemindahan Ibu Kota.

Kita justru bertanya-tanya, ada apa sehingga Jokowi begitu "takut" jika penggantinya Anies Baswedan? Benarkah karena label antitesa yang disematkan kepada Anies?

Bukankah jika semua yang dikerjakan selama 9 tahun terakhir baik-baik saja, Jokowi tidak perlu "ketakutan" siapa pun yang akan menggantikan posisinya? Apakah ada hal-hal yang tidak baik selama pemerintahannya sehingga sampai rela "menurunkan" wibawa kepresidenan?

Kita berharap Presiden Jokowi masih mau mengoreksi ketidaknetralannya dalam berpolitik. Dengan demikian, Jokowi tidak perlu risau siapa pun yang kelak menggantikan, apakah Anies, Ganjar, atau Prabowo.

Ketiganya adalah putra-putra terbaik bangsa, sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi satu hal yang pasti, tidak akan ada perubahan dratis dalam ketatanegaraan dan kesinambungan pembangunan selepas Jokowi lengser karena Pilpres adalah satu keniscayaan dalam sistem demokrasi di mana masa jabatan seorang presiden dibatasi oleh waktu (periodisasi).

Beda hal jika sampai terjadi chaos yang melahirkan revolusi. Bukan hanya orang-orang di lingkar kekuasaan yang berganti, bahkan seluruh tatanan ikut berubah. Kita tidak menghendaki hal itu karena ongkosnya terlalu mahal.

Oleh karenanya jangan sampai ada penyelewengan dan pengingkaran terhadap demokrasi, apalagi memanfaatkan kekuasaan untuk melakukan penjegalan terhadap lawan politik seraya mendukung kemenangan golongannya sendiri. Cara-cara demikian pasti kita lawan, sampai kapan pun!

Salam @yb

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun