Sebelum membahas siapa sosok capres yang didukung Presiden Jokowi, sebaiknya kita menyimak kembali gejolak politik dalam setahun terakhir. Dari sana kita dapat memetakan preferensi politik Jokowi.
Gagalnya wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 7-8 tahun dengan alasan pandemi, perubahan periodisasi dari dua menjadi tiga periode, hingga tukar guling jabatan di mana mantan presiden diperbolehkan mencalonkan diri sebagai wakil presiden dan sebaliknya, tidak menghentikan upaya pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo.
Cara terakhir yang dipilih adalah dengan memastikan seluruh capres berasal dari kubu istana. Istilah "All Jokowi's Men" menggema ketika Presiden Jokowi meng-endorse Ganjar dan Prabowo. Ucapan dan gestur dukungan diungkap secara terbuka dan berulang-ulang, di berbagai kesempatan.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi bukan kebetulan atau sekedar joke politik. Menurut Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy (Rommy) Jokowi memang menginginkan hanya ada dua capres pada gelaran Pilpres 2024. Masifnya lembaga-lembaga survei "meng-endorse" Ganjar dan Prabowo juga dapat menjadi tetenger lainnya.
Sebenarnya skenario Presiden Jokowi tidak salah. Wajar jika Jokowi ingin menjadi king maker sehingga penggantinya benar-benar sosok yang dijamin bisa mikul duwur mendem jero; menjunjung tinggi kebaikan dan prestasinya, sekaligus mengubur hal-hal yang buruk.
Dengan demikian Jokowi bisa soft landing dan "tidur nyenyak" setelah lepas jabatan. Tidak perlu risau pada program kerja yang belum selesai, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), atau kepikiran program kerja yang mungkin bersinggungan dengan hukum.
Namun skenario dua capres tidak tepat, sekedar tidak mengatakan salah, jika untuk mewujudkannya menggunakan pengaruh kekuasaan (abuse of power). Contoh kecilnya, memakai Istana Negara untuk membahas skenario demikian itu.
Lebih tidak elok lagi, andai sampai mengorbankan ruh demokrasi. Misal, melakukan penjegalan terhadap capres yang diusung kubu oposisi melalui tangan-tangan kekuasaan, hukum maupun "main kayu" seperti merebut partainya melalui cara-cara inkonstitusional. Sebab, sekali pun di sisi lain adalah juga petugas partai, Presiden harus berdiri di atas semua golongan, memberikan kesempatan yang sama dan berlaku adil kepada seluruh anak bangsa sehingga demokrasi berjalan sesuai amanat konstitusi.
Mengebiri pilpres dengan hanya menghadirkan dua capres melalui cara-cara yang tidak baik, jelas mencederai, bahkan mengkhianati demokrasi. Dengan mudah Istana akan dituding berada di balik penolakan judicial review UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh Mahkamah Konstitusi sehingga menutup peluang munculnya capres dan cawapres lebih dari dua pasang.
Skenario dua capres juga mengingkari hak rakyat untuk bisa memilih calon pemimpinnnya secara lebih leluasa. Rakyat seolah hanya dijadikan alat legitimasi, bukan lagi pemegang kedaulatan.
Alasan Presiden agar Pilpres 2024 efisien dan cepat seperti disampaikan Rommy, sangat tidak masuk akal. Alangkah berbahaya jika pemimpin ke depan harus sesuai dengan keinginan presiden yang masih menjabat.
Bukan saja seperti dinasti, tapi lebih buruk lagi karena akhirnya pemimpin yang disodorkan untuk mendapatkan legitimasi rakyat melalui gelaran elektoral yang telah didesain (by design) disesuaikan dengan selera dan kehendak satu orang atau satu kelompok politik tertentu. Sungguh berbahaya bagi bangunan demokrasi yang telah susah payah kita bangun.
Lalu siapakah capres yang akan didukung Jokowi? Jika skenario dua capres terwujud, antara Ganjar atau Ketua DPR Puan Maharani melawan Prabowo, Jokowi bisa benar-benar bersikap netral. Dengan alasan posisinya, Jokowi bisa menolak perintah partainya untuk mendukung jagoan PDIP, sehingga hubungan dengan Prabowo tetap baik.
Tetapi setelah PDIP mendeklarasikan Ganjar, Jokowi tiba di persimpangan jalan. Penyebabnya bukan karena keputusan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri sangat mendadak, tapi sikap Partai Nasdem yang tetap kekeh bergabung dengan partai oposisi yakni PKS dan Demokrat membangun poros Koalisi Perubahan untuk mengusung Anies Rasyid Baswedan. Nasdem tidak gentar meski "disingkirkan" dari istana setelah sembilan tahun mengabdi, mengawal dan turut menyukseskan berbagai program pemerintah.
Awalnya PDIP tidak mempersoalkan ketika Jokowi meng-endorse Prabowo. Bahkan seperti ikut mendorong dengan harapan Prabowo dapat memecah basis dukungan Anies. Sayangnya kenyataan berkata lain. Dukungan untuk Anies justru melesat, bahkan menggerus basis suara Prabowo, bukan sebaliknya.
Jawa Barat yang semula kantong suara Prabowo, bahkan mampu mengalahkan Jokowi, kini berubah total menjadi basis Anies. Demikian juga di luar Jawa yang sebelumnya dikuasai Prabowo seperti Suimatera Barat, Aceh hingga Kalimantan. Sulit untuk menutupi fakta suara Anies begitu dominan di daerah-daerah tersebut.
Lebih tragis lagi, Prabowo malah menggerus basis kelompok yang mengeklaim sebagai nasionalis seperti kasus di Solo. Pernyataan dukungan yang disampaikan relawan Jokowi usai Prabowo bertemu Gibran, adalah alarm berbahaya bagi PDIP.
Artinya, Prabowo yang semula diharapkan menjadi rival Anies, menggembosi pendukungnya, justru bertarung dengan Ganjar di basis PDIP. Tidak heran jika petinggi partai moncong putih meradang.
Jokowi pun terjebak oleh skenarionya sendiri.
Jika situasi ini tidak berubah, maka dukungan Jokowi sangat mungkin tetap diberikan kepada Prabowo sekalipun disuarakan melalui relawan-relawannya. Tidak dinyatakan secara terbuka oleh Jokowi maupun putranya.
Alasannya sederhana saja, untuk kepentingan Pilkada DKI 2024, atau bahkan Pilpres 2029 di mana Gibran membutuhkan perahu yang solid. Jokowi bisa melakukan lobi-lobi sejak awal untuk memastikan dukungan Partai Gerindra.
Jika Gibran mendapat dukungan Gerndra, maka posisi tawarnya di depan PDIP akan naik seperti yang terjadi pada Jokowi dan juga Ganjar.
Seperti diketahui, jauh sebelum PDIP mengusungnya di pentas Pilkada DKI 2012, Partai Gerindra sudah terlebih dulu memberikan dukungan kepada Jokowi. Demikian juga Ganjar. Sebelum PDIP secara resmi mendeklarasikan pencapresannya, Ganjar sudah mendapat dukungan sejumlah partai gurem, dan "dibantu" oleh lembaga-lembaga survei.
Model ini seolah sudah baku sehingga siapa pun yang ingin mendapat dukungan PDIP, tinggal menerapkan pola yang sama.
Salam @yb