Jika menilik sejarah, Partai Buruh tidak pernah menjadi kekuatan politik besar di Indonesia. Sebelum kemerdekaan, gerakan buruh termanifestasi dalam beberapa organisasi, namun tidak menjadi kekuatan politik. Hanya sebatas alat untuk mengorganisir unjuk rasa dan pemogokan.
Demikian juga di awal kemerdekaan. Kekuatan buruh berada dalam organisasi-organisasi nonpolitik. Para era demokrasi terpimpin, organisasi buruh diklaim oleh berbagai kekuatan politik, termasuk PKI.
Kondisi buruh semakin tertekan di era Soeharto ketika organisasinya dibonsai hingga hanya ada organisasi tunggal yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Meski tidak resmi, SPSI adalah onderbouw Golkar yang saat itu menjadi mesin politik Orde Baru.
Setelah reformasi, muncul partai-partai yang mengatasnamakan buruh. Sebut saja Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), dll. Isu buruh juga dijadikan landasan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang di masa Soeharto dicap sebagai neo PKI.
Euforia reformasi ternyata tidak mampu menjadikan gerakan buruh sebagai kekuatan politik alternatif. Tidak ada satu pun partai yang mengatasnamakan buruh bisa menempatkan kadernya di DPR. Tragisnya, selama 6 kali Pemilu, belum pernah ada partai yang menghela nafas buruh berhasil lolos ke Senayan.
Ini tentu anomali mengingat besarnya jumlah buruh di Indonesia. Tetapi di balik itu, juga timbul pertanyaan, mengapa para pekerja tidak pernah mempercayai partai yang mengatasnamakan buruh? Benarkah partai-partai itu hanya memanfaatkan kaum buruh sehingga tidak pernah dianggap sebagai lokomotif gerakan dan perjuangan kaum buruh di ranah politik praktis?
Pemilu 2024 akan kembali diikuti oleh partai yang mengeklaim didirikan oleh puluhan organisasi buruh yakni Partai Buruh. Tanpa bermaksud mengecilkan, rasanya mustahil partai yang dipimpin Said Iqbal itu mampu memenuhi ambang batas parlemen (parliementary threshold).
Salah satu alasannya, di samping faktor sejarah, adalah sikap Said Iqbal yang kita anggap tidak konsisten dalam perjuangan isu-isu buruh. Pembelaannya terhadap upah murah di Jawa Tengah, merupakan blunder luar biasa. Sebab upah murah adalah musuh nomor wahid bagi kaum buruh.
Lebih parah lagi ketika Said Iqbal mengkomparasikan upah minimum di Jawa Tengah dengan DKI Jakarta disertai narasi upah murah di Jateng sudah ada sejak 1982, bukan "salahnya" Gubernur Ganjar Pranowo.
Said Iqbal mungkin lupa, bahwa seluruh kebobrokan yang ada saat ini berakar dari Orde Baru. Adalah tugas kita setelah reformasi untuk melakukan perbaikan. Jika kondisi saat ini masih sama seperti Orde Baru, lalu apa yang telah dikerjakan oleh para pemimpin selepas reformasi?
Sebagai gambaran, upah minumum di Jateng tahun 2013, jika mengambil yang tertinggi yakni Kota Semaramg adalah 1.209.100, sementara upah minimum Jateng 2023 sebesar Rp 1.958.169. Dari data ini maka kenaikan upah minimum buruh di Jateng selama 10 tahun adalah Rp 749.069.
Mari bandingkan dengan Jakarta. Dalam waktu 5 tahun yakni 2018-2023 karena upah minimum Jakarta tahun 2023 diketok palu di masa pemerintahan Gubernur Anies Rasyid Baswedan, terjadi kenaikan upah buruh sebesar 1.253.763 yakni dari Rp 3.648.035 (2018) menjadi 4.901.798 (2023).
Kita paham, upah buruh ditentukan oleh banyak variabel, mencapai 30 komponen. Itu sebabnya upah minimum tiap daerah berbeda. bahkan upah minimum antar kota/kabupaten dalam satu provinsi sangat mungkin berbeda-beda karena living cost berbeda juga.
Oleh karenanya masih kita gunakan faktor lain untuk menilai sikap Partai Buruh. Saat ini isu paling panas di kalangan buruh adalah terkait UU Cipta Kerja. Sejak lama, berbagai serikat buruh menentang Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh. Salah satunya terkait dilegalkannya pekerja kontrak (alih daya) tanpa batas dan makin sulitnya menuntut perbaikan kesejahteraan melalui kenaikan upah. Sebab, seperti halnya di masa Orde Baru, melalui Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah kembali menjadikan upah murah sebagai poin pemanis dalam menarik investor.
Dalam demo-demo sebelumnya, Said Iqbal dan kelompoknya paling getol menyuarakan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan dalam perayaan May Day kemarin, suara penolakan itu masih terdengar. Namun lucunya, salah satu bakal calon presiden yang sedang dipertimbangkan untuk diberi dukungan adalah Ganjar Pranowo yang notabene telah di-endorse sebagai penerus Presiden Joko Widodo.
Di mana logikanya ketika lantang bersuara menentang produknya, tetapi mendukung penerusnya? Apakah ini juga bagian dari gimmick politik?
Semua bakal calon presiden yang nama-namanya sudah beredar, atau bahkan sudah dideklarasikan oleh partai politik, seperti Ganjar, Anies dan mungkin Prabowo Subianto, adalah putra-putra terbaik bangsa. Mendukung siapa pun tidak ada yang salah.
Oleh karenanya, pilihan kita mestinya didasarkan pada rekam jejak (track record) masing-masing calon, yang sesuai dengan aspirasi dan tujuan perjuangan kita. Jika Partai Buruh mendukung Ganjar, apakah berarti sudah menerima Omnibus Law Cipta Kerja?
Jika benar demikian, kita menghormatinya sebagai sebuah pilihan politik. Jangan lain di bibir, lain pula hati berlabuh. Sebab mencla-mencle, tidak konsisten dan berbohong, adalah sejelek-jeleknya sifatnya.