Dingin pagi mencericit di telinga. Membuat berdengung seumpama bunyi pesawat terbang yang menganggu pendengaran. Tapi terus saja kukayuh pedal sepeda jahanam ini. Rem rusaknya membuat sepatuku bolong. Lama-lama hancur sudah alas kaki satu-satunya ini, batinku miris. Teringat wadah beras yang tinggal seperempat isinya di dapur. Mana tega aku merengek minta dibelikan sepatu baru pada bapak, keluhku lagi sambil terus membelah kabut yang dingin. Berkelok dan berkelok, menyalip, meluncur di turunan, terengah di tanjakan. Terus saja kukayuh sepeda tua yang tak kunjung diganti Bapak. Entah sampai kapan sanggup mengayuh hingga puluhan kilometer menggunakan besi karatan ini. Tekadku hanya satu, harus menimba banyak ilmu. Aku tak mau hidup miskin karena tak punya pekerjaan yang layak. Tidak seperti Bapak yang jadi kuli di ladang tebu. Pekerjaan mulia penuh tenaga dan keringat yang takkan pernah jadi cita-citaku. Aku harus menjadi diriku yang penuh mimpi.
KEMBALI KE ARTIKEL