Konon, menurut sesepuh kita dulu, negara kita Indonesia tidak bisa lepas dari ramalan Sri Aji Joyoboyo (Raja Kediri) melalui pemaknaan filosofii “NOTONOGORO” atau “NOTONAGORO” atau “NOTONEGORO”.. Pemaknaan yang dikenal selama ini, filosofi NOTOGORO/NATAGARA/NOTONEGORO/NOTONAGORO/NATANAGARA berasal dari penggalan suku kata dari unsur nama presiden Indonesia NO-TO-NO-GO-RO. Dalam bahasa Jawa kuna (baca: tulisan dan pengucapan HaNaCaRaKa), penulisan NO/NA/NI/NU/NE atau TO/TA/TI/TU/TE dianggap sama, tinggal “dipangku” atau “dipepet” atau “taling tarung” atau "atau "taling" atau "diwulu" atau "disuku". Selain pemaknaan tersebut, tidak ada lainnya. Tidak sedikit orang yang berpendapat sinis atas pemaknaan tersebut. Katanya: “Ah, itu kan bisa-bisanya orang Jawa saja, digathuk-gathukke”. Setiap orang boleh berpendapat, bebas, selama ada dasar argumentasinya. Memang sekilas tampak “dipaksakan” namun sebenarnya ada benarnya juga, berikut buktinya: