Kita adalah  tokoh utama dalam kisah hidup kita sendiri, yang entah sampai kapan. Sebuah pemaknaan tanpa henti atas hidup yang telah dicurahkan. Tidak boleh setiap kehidupan ini dipandang sebagai suatu kenyataan yang salah, namun harus dipandang sebagai sebuah tanggung jawab pemaknaan terus menerus demi sebuah guliran pesan tentang kebahagiaan. Mungkin dalam perjuangan pemaknaan ini, segala pengharapan dan kerinduan terasa telah mentok, namun pemaknaan tidak harus berhenti karenanya. Semenderita apapun hidup ini, pemaknaan harus terus berjalan. Tidak boleh menghendaki untuk keluar dari jalur pemaknaan ini. Keberanian untuk terus menerus memaknai hidup ini, adalah kehidupan itu sendiri.
Pemaknaaan ini terisi dengan karya demi karya, yang mengalir dari pewahyuan Sang Pemikir Abadi. Kita ini bak pena yang selalu menari menciptakan perekaman ide dan gagasan agar dipahami oleh sekian jiwa-jiwa. Semua itu terjadi agar sekian jiwa menemukan damai, dan memiliki semangat yang tak pernah menyerah dalam pemaknaannya masing masing. Tidak boleh seorang pun menghakimi hidupnya sendiri sebagai sebuah hukuman dari Sang Hidup, atau sebagai sebuah keharusan yang memprihatinkan. Ini semua adalah anugerah.
Memang manusia hidup bukan karena keinginannya sendiri, dan mati pun juga bukan keinginannya sendiri. Ironisnya, di tengah kehidupan itu, manusia memiliki keinginan. Ketegangan demi ketegangan pun terjadi karena manusia bukanlah pemilik segala-galanya. Ia terikat dengan hukum hidup dan mati. Keberadaannya di dunia ini tidaklah berlangsung selamanya. Ia tidak ada, menjadi ada, dan kembali meninggalkan dunia. Dunia ini seperti persinggahan sementara dengan mengambil wujud badan organic yang juga akan musnah menyatu bersama material-material alam. Manusia ini seperti ide-ide ilahi yang terejawantah dalam pribadi-pribadi. Seperti jiwa-jiwa pengembara yang berebut masuk ke persinggahan melalui rahim seorang wanita…dan kemudian kembali lagi melalui rahim alam. Hidup ini seperti halnya kamp konsentrasi mahabesar yang kan mempertemukan sekian banyak pengembara, dari waktu ke waktu hingga jumlah yang ditentukan telah semuanya masuk serta melewati persinggahan ini. Dalam menjalani persinggahan ini, kita tidak boleh terlalu terpikirkan oleh keinginan untuk segera menyelesaikan masa persinggahan ini, namun juga tidak boleh dikuasai oleh keinginan untuk berada dalam persinggahan ini selamanya. Marilah semuanya ditempatkan sesuai dengan porsinya, menunggu Sang Pemilik Sejati kita memanggil seturut kehendakNya. Dan marilah mengisi waktu-waktu persinggahan ini dengan pemaknaan terus menerus. Memperindah jiwa kita ini dengan kesetiaan terhadap pemaknaan itu hingga kelak kita pergi menjawab panggilanNya dengan kisah yang telah terangkai dan patut untuk dipersembahkan kepada Sang Pengutus Sejati kita. Meski sebenarnya bukanlah jasa-jasa atau kisah itu sendiri yang menjadi persembahan, namun kesediaan hati kita untuk terus menunggu dengan berkualitas itulah yang akan menjadi perhiasan kita kelak ketika kita dipanggil untuk turut kembali ke perjamuan abadiNya. Saat itulah saat dimana kita dibebaskan dari segala keinginan. Kemerdekaan Sejati. Keabadian.