Kekayaan komoditi pangan di Indonesia tidak terlepas dari proses pemanfaatan sumber daya itu sendiri. Kita kaya akan sumber-sumber ini namun tidak ada keseimbangan antara komoditi pangan yang satu dengan yang lain. Indonesia terus bergantung pada satu jenis makanan pokok saja, yaitu: NASI. Padahal menurut Robert Mathus, pertumbuhan manusia itu mengikuti deret eksponensial sedangkan pertumbuhan tanaman mengikuti deret aritmatika. Jadi, seiring waktu pertumbuhan manusia yang akan mencapai jutaan bahkan miliaran tidak akan sebanding dengan pertumbuhan pangan apalagi kalau hanya bergantung pada satu jenis makanan saja.
Menurut data terakhir Kementerian Pertanian RI, rata-rata kebutuhan rakyat Indonesia akan beras adalah 136 kg/kapita/tahun atau sekitar 0.4 kg/orang/ hari. Kita kalikan jumlah itu dengan jumlah penduduk yang ada di Indonesia, maka kebutuhan akan beras sehari saja sudah membutuhkan ratusan juta ton/hari! Sedangkan pasokan dalam negeri belum mampu menembus angka tersebut sehingga Indonesia terpaksa mengimpor beras agar rakyat tidak kelaparan.
Kasus di atas sebenarnya bisa diatasi dengan cara penganekaragaman pangan berbasis kearifan lokal. Yaitu memanfaatkan sumber daya Indonesia yang kaya akan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di daerah masing-masing. Tujuannya selain mengantisipasi krisis pangan, juga memberikan sebuah trobosan baru untuk makanan gizi berimbang dan pola makan yang beragam untuk memenuhi energi manusia tanpa harus makan NASI.
Kearifan lokal bisa saja menjadi jawaban tersendiri atas pemenuhan kebutuhan pangan. Kepala Negara kita menyatakan dengan kearifan lokal, Indonesia bisa mewujudkan swasembada dan kemandirian pangan. "Di tengah-tengah permasalahan dunia seperti krisis pangan dan energi, kita harus mencari apa yang bisa kita lakukan secara domestik untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi di dalam negeri," kata Presiden pada pembukaan konferensi nasional dan pameran bertema Kearifan Lokal Perempuan Indonesia Menuju Ketahanan Pangan di Jakarta, tahun 2008 silam. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Bahkan Indonesia bersama Kongo dan Brasil disebut sebagai mega biodiversity. "Tidak ada cerita Indonesia kekurangan pangan kalau kita pandai mengelolanya. Mari kita kelola kembali, go local, back to nature, agar kita betul-betul bisa membangun ketahanan pangan. Swasemba dan kemadirian bukan ilusi. Kita bisa mewujudkan mimpi ini," katanya.
Dalam kenyataannya, Indonesia yang masih menyebut dirinya sebagai Negeri agraris, namun usaha-usaha dalam bidang pertanian masih belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan hidup rakyatnya sendiri. Hal ini terbukti dari terus dilakukanya import produk pertanian strategis seperti beras, jagung, gandum dan kedelai. Jika ditinjau kembali, kondisi sumber daya alam (SDA) pertanian di Indonesia sebenarnya cukup mendukung kearah pengembangan yang lebih baik.
Berdasarkan jumlah produksi pangan, bila dihitung dengan kalori seharusnya mampu mencukupi secara Nasional bahkan hingga mencapai surplus. Namun, saat ini masalah ketidaktahanan pangan (Food Insecurity) tetap saja menjadi problematika bangsa. Sehingga tidak hanya polemik pemenuhan kebutuhan yang menjadi potret buram kondisi pangan bangsa, masalah keterbatasan akses masyarakat dan pemerataan pangan juga terkesan amburadul.
Diduga terdapat faktor-faktor mengapa di Indonesia sulit untuk memulai penganekaragaman makanan berbasis kearifan local ini. Diantaranya: (1) Trauma penjajahan, di saat era penjajahan Belanda selama 350 tahun telah mengubah paradigma Indonesia menjadi imprioritas in lander di mana anggapan mereka yang tidak memakan nasi sama saja tidak makan. Sehingga ukuran kesejahteraan rakyat diukur dari seberapa banyak mereka mengonsumsi nasi. Hal ini sudah mendarah daging sampai ke generasi sekarang. (2) Program swasembada beras era Soeharto. Pada era ini pemimpin Indonesia berlomba-lomba dalam menyukseskan swasembada beras hingga berhasil memberi makan seluruh rakyat dengan nasi. Sehingga ada usaha penyeragaman pangan ke seluruh pelosok, padahal tidak semua wilayah Indonesia mampu ditanami padi dengan baik dan tidak semua rakyat terbiasa dengan nasi sebagai makanan pokok. Sebut saja di wilayah Timur yang terbiasa memakan sagu, daerah Madura dengan jagung-jagungnya dan Jawa dengan umbi-umbiannya. Kebiasaan yang telah diprogramkan pemerintah ini akhirnya dianggap sebagai suatu budaya yang sekarang sudah mengakar.
Tempo dulu makanan seperti jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, talas adalah sumber pokok suplai karbohidrat di beberapa daerah. Namun kini telah berganti tren konsumsi menjadi beras dan gandum (tepung terigu), tidak pernah kita bayangkan berapa banyak devisa yang dibuang untuk membeli gandum dari luar negeri. Melalui penganekaragaman sumber pangan (diversifikasi) maka masyarakat tidak perlu lagi menggantungkan kebutuhan konsumsi hanya pada beras atau gandum (tepung terigu).Pemerintah harus lebih mengedepankan penguatan sumber-sumber pangan lokal menjadi basis yang kokoh untuk menopang sub sistem ketahanan pangan, pertama, yaitu ketersediaan pangan, sebagaimana tantangan kedepan untuk mewujudkan kemandirian pangan Nasional berbasis keanekaragaman potensi pangan lokal.
Pengembangan potensi kearifan lokal untuk pemenuhan pangan masyarakat kini kian memprihatinkan. Dibeberapa daerah pegunungan yang semula mengkonsumsi jagung atau singkong (berupa gaplek,tiwul) kini menganggap makanan tersebut hanya untuk orang miskin, tidak bergizi dan makanan rendahan. Padahal, bila dibandingkan kandungan gizi beras dan gaplek hampir sama, kalori yang terkandung dalam beras 360/100 gr, tidak jauh berbeda dengan sagu 355/100 gr, gaplek 338/100 gr. Kandungan karbohidrat beras hanya 78,9/100 gr, sedangkan sagu mencapai 355/100 gr. Hanya saja pada kandungan protein pada beras lebih tinggi dari sagu. Dengan kondisi tersebut seharusnya mampu menyiasati sumber-sumber pangan lokal menjadi makanan yang cukup memberikan nilai tambah (added value).
Seiring dengan pemantapan kemandirian pangan (food security), sudah saatnya pemerinjah harus mengambil kebijakan berbasis kearifan local dalam ketahanan pangan penduduknya. Proses industri hulu hingga hilir dengan membenahi proses pengolahan pangan mutlak diperlukan. Peningkatan penguasaan teknologi tepat guna bagi pengolahan pangan dan inovasi produk-produk pangan berbasis lokal harus terus berjalan ditingkat industri kecil maupun rumah tangga. Dengan cara tersebut daya saing produk pangan lokal akan semakin meningkat dan dapat menguatkan posisi pangan lokal di masyarakat, dengan demikian akan berdampak baik bagi petani maupun dalam peningkatan food security di daerah yang selama ini merupakan daerah katagori rawan pangan di Indonesia.