"Langit, aku bicara padamu setiap waktu yang telah ditentukan. Di saat pagi, siang, sore, petang, dan malam, aku sampaikan keinginan seperti kebanyakan orang. Namun, tak pernah sekalipun kau mau mendengar. Sedang seorang berdasi itu hanya bicara padamu sepekan sekali, tetapi kau selalu tertarik untuk mendengar dan mengabulkan permintaannya. Mulai hari ini aku akan berhenti bicara padamu!"
28 Desember 2023. Aku telah memutuskan untuk berhenti berbicara pada Langit. Sepertinya, Langit memang tidak memilih aku menjadi sahabatnya. Buat apa melakukan sesuatu bila harus bertepuk sebelah tangan?
Apa aku harus berhenti menjadi seorang bertopi? Menjadi seorang berdasi saja. Kerjaannya mudah. Menghabiskan waktu di meja umum dan bersenda gurau menghibur banyak orang. Sedang selama ini, aku harus ke sawah atau ladang untuk mengelola tanaman, terkadang harus melaut untuk mencari ikan.
Namun, aku takut jadi tertawaan paman. "Kan, sudah ku bilang, jangan jadi seorang yang bertopi. Kau itu cocoknya jadi seorang berdasi. Ayahmu, kakekmu, buyutmu itu hidup begitu nyaman. Mumpung masih ada waktu, cepatlah berhenti!" ujar pamanku sembari mengejek pilihan hidupku sebagai orang bertopi.
Paman benar. Topi ini memang menutupku dari panasnya matahari dan menjadikanku orang yang bebas ke mana saja. Namun, tidak berhasil menutupi panasnya hatiku. Mungkin saja, memakai dasi bisa mendinginkan hati yang gundah.
Aku letakkan topi ini di tanah berpatok, siapa tahu bermanfaat bagi orang lain. Kini, aku berjalan ke hutan pekerjaan untuk meminta dasi pada Pak Pohon. Semua orang dewasa pasti pernah bertemu beliau. Setidaknya, Pak Pohon lebih ramah ketimbang Langit.
"Hai, manusia yang sedang gulana. Ada apa gerangan kau ke hutan pekerjaan?" tanya Pak Pohon.
"Pak Pohon yang baik hati, aku orang yang tiga belas tahun lalu menemuimu untuk meminta topi. Ternyata, menjadi orang bertopi bukan jalan hidupku. Apakah aku boleh meminta dasi seperti ayahku?"
"Oh, sayang sekali. Sejak bulan lalu, tidak ada lagi dasi yang tersisa. Betapa banyak orang dewasa yang meminta dasi untuk hidupnya. Mengapa kau tidak lagi memakai topi?"
"Maafkan aku Pak Pohon, sepertinya topi itu menghalangiku untuk bahagia. Satu-satunya yang bisa membuatku tetap hidup hanyalah dasi."
"Kau pasti tahu, kalau tanpa memakai sesuatu, maka kau disebut golongan papa. Tidak punya apa-apa."
Aku terdiam dan berpikir. Oh, Langit. Betapa bodohnya aku. Pasti topi itu sudah diambil orang lain yang tak memiliki. Belasan tahun lalu, banyak yang menginginkan topi, meski kini tren itu berganti dasi.
"Wahai Pak Pohon yang bijaksana. Sekiranya aku bisa mendapatkan lagi topi."
"Oh, sayang sekali. Sudah lama topi tidak ada di sini. Atau kamu mau sesuatu yang baru? Yang belum pernah orang miliki?"
"Apakah itu wahai Pak Pohon?" Tanyaku bersemangat.
"Ini... pakailah. Semoga cocok dan jangan meminta lagi. Manusia hanya bisa meminta dua kali dalam hidupnya."
Aku bingung. Ini belum pernah ada. Topi menutupi kepala. Dasi menutupi hati. Sepatu menutupi kaki. Sedang ini menutupi apa?
"Hai, manusia. Itu namanya topeng. Menutupi mukamu. Pakai dan keluarlah dari hutan pekerjaan untuk selama-lamanya."
Dengan sedikit bingung, aku memakai topeng dan berjalan kembali ke arah tempat tinggalku. Benar sekali, topi yang kutinggal di tanah berpatok tadi sudah lenyap.
Tanpa terasa, sampailah aku di rumah. "Nah! Sepertinya kau lebih cocok memakai penutup wajah. Hahaha," ucap paman sembari menggoyangkan badanku.
Langit pun tertarik padaku. Dia yang dulunya bahkan selalu mengindahkan, sekarang mendekatiku dan berkata. "Mengapa kau memakai topeng?"
Situbondo, 28 Desember 2023
Cerpen Yoga Prasetya