Tujuh ratus prosa terdiam menepi
hanya menonton gemerlap yang datang silih berganti
kau tahu mereka tersesat dan tak temui jalan pulang.
Surga yang dirindukan, tak pernah terjamah
hanya mendengar katanya di sana sumber kebahagiaan
kau tahu mereka layak, tetapi terhalang oleh kenyataan pahit bahwa mereka bukan siapa-siapa.
Pembiru memburu yang baru, tak pernah lagi menjamah yang bertahun-tahun berjuang
hanya membusuk di atap genteng semu
kau tahu mereka pun ingin diangkat dan berakhir di tempat paling utama.
Tujuh ratus prosa tertahan di gurun pagi
hanya mengiba dan meminta keajaiban
kau tahu mereka telah berjuang, nahasnya tertembak kenyataan.
Rindu telah menjadi napas panjang
hanya menjadi pilihan saja sudah girang dan merasa aman
kau tahu mereka salah jalan, tetapi mau apa dikata, itulah realitas.
Di bumi fana, mereka merangkak pelan
hanya mengandalkan keberuntungan yang terkadang tidak datang mendekat
kau tahu mereka anti menyerah dan enggan mengangkat bendera putih.
Tujuh ratus prosa rasanya tidak cukup
hanya angka yang menanti untuk dihapus
kau tahu mereka hanya apes terlahir di tangan yang buntung.
Dalam keheningan mereka bergumam
hanya Sang Raja tempatnya kembali
kau tahu surga itu bukan yang abadi, melainkan diabadikan oleh Waktu.
Situbondo, 27 Desember 2023
Puisi Yoga Prasetya