Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Apresiasi Wali Murid terhadap Nilai Rapor Anak

20 Desember 2020   18:04 Diperbarui: 20 Desember 2020   18:14 389 30
"Mohon info anak saya kekurangannya di mana ya? Biar kami bisa memperbaiki kekurangan tersebut di semester berikutnya."

Kalimat tersebut diucapkan oleh salah satu wali murid kepada saya selaku guru melalui media WhatsApp. Ini bukan pertama kali saya mendapatkan pesan dari wali murid. Rata-rata mereka menanyakan nilai rapor anaknya yang dirasa kurang.

Saya sangat mengapresiasi wali murid semacam ini. Mereka begitu peduli dengan pendidikan anaknya. Namun, sayangnya perhatian itu muncul di akhir setelah melihat hasil. Bukan di awal atau tengah semester ketika anak sedang berproses.

Seandainya si anak meraih nilai bagus, wali murid tidak akan melakukan komunikasi dengan guru. Menurut mereka, sudah sewajarnya bila sang anak meraih nilai apik. Selama empat tahun menjadi guru, saya belum pernah mendapatkan pesan terima kasih di akhir semester.

"Pak Yoga. Terima kasih sudah membimbing anak saya di kelas bahasa Indonesia dan Karya Ilmiah Remaja. Semoga ilmu yang bapak ajarkan bisa membawa berkah bagi anak kami".

Kalimat di atas hanyalah imajinasi saya selaku guru. Kebanyakan wali murid memang menghubungi gurunya ketika si anak sedang kesulitan belajar atau merasa nilai anaknya tidak sesuai ekspektasi mereka. Apakah memang harus seperti itu?

Kenyataan yang terjadi di Negara Indonesia adalah guru memanglah pahlawan tanpa tanda jasa. Namanya pahlawan sudah seharusnya menyelamatkan "nilai" anak. Jika bermasalah dengan nilai anak hubungi gurunya. Padahal, di negara barat seperti Finlandia, hubungan komunikasi guru, murid, dan wali murid sudah terjalin dengan baik sejak awal proses pembelajaran.

Saya tidak menyalahkan wali murid karena ini berkaitan dengan sistem pendidikan negara kita. Selama negara kita masih berfokus pada hasil bukan pada proses, selama itu pula buah pendidikan hanya sebatas nilai rapor. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari nilai rapor berfungsi sebagai formalitas belaka.

Berikut saya paparkan beberapa contoh menarik dari murid yang sudah lulus di kelas saya. Sebut saja namanya, Aliya. Nilai rapornya mendapatkan angka 87 karena memang pengetahuan bahasanya seperti itu. Namun, karena di kelas saya, Aliya berproses dengan baik, maka ia bisa menghasilkan banyak karya tulis. Bahkan, mendapatkan apresiasi saat ikut lomba menulis tingkat nasional.

Siswa lain, dengan inisial Dirga. Mendapatkan nilai rapor 95 pada pelajaran bahasa di kelas 8. Ketika si guru kelas 9, yang kebetulan teman saya, bertanya kepada Dirga materi kelas 8, ia tidak bisa menjawab. Ternyata, nilai rapor bagus tidak menjamin sebuah keberkahan.

Hal ini juga berlaku untuk pelajaran lain bukan hanya bahasa Indonesia. Mungkin saja sejak awal, niat belajar para siswa dan tuntutan guru masih sebatas mendapatkan nilai rapor tinggi. Alhasil, ketika naik kelas mereka melupakan pelajaran yang telah berlalu. Padahal, materinya masih berkaitan.

Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa hakikat belajar adalah dari tidak tahu menjadi tahu. Misalnya, seorang siswa yang sebelumnya tidak bisa membuat teks berita kini bisa membuat teks berita. Fokusnya adalah proses bukan hasil.

Oleh karena itu, saya akan sangat mengapresiasi wali murid yang turut mendampingi anaknya sejak awal masa belajar. Bukan sekadar melihat hasil belajar anak melalui rapor tanpa tahu prosesnya. Semoga tulisan ini membawa berkah bagi kita semua.


Salam bilik apresiasi
Yoga Prasetya, S.Pd., M.Pd.
(guru bahasa Indonesia dan Karya Ilmiah Remaja di MTsN 1 Kota Malang)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun