Ananda Nahda Nur, Ain Nur, Hasna Febriana, Brilliana Alya, dan Dania W, mereka berlima tidak hanya mengharumkan nama madrasah tetapi juga bangsa Indonesia. Lomba ini diikuti 400 tim dari 30 negara di dunia. Pencapaian mereka bukan sesuatu yang mudah dan selayaknya mendapatkan apresiasi. Saya sendiri merasakan bagaimana beratnya ajang internasional.
Ketika duduk di bangku kuliah, saya mengikuti seleksi program mengajar tingkat internasional ke Thailand. Namun harus gagal karena persaingan cukup kompetitif. Hingga detik ini, prestasi terbaik saya hanya mampu menjadi 30 penulis terbaik tingkat nasional Badan Bahasa Kemendikbud di Jakarta 2019.
Perjalanan Lima Srikandi yang membawa nama Indonesia di kancah internasional telah menginspirasi banyak orang, termasuk gurunya sendiri. Meski bukan pelatih mereka dalam lomba tersebut, saya punya pengalaman menarik bersama kelima sosok penerus bangsa ini. Entah itu sebagai pembina KIR di lomba sebelumnya hingga mengajar di kelas mereka.
Oh iya, tak lupa saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bu Lely, Mas Teguh, Bu Annes, dan tim KIR Matsanewa. Beliau telah mendampingi anak-anak dengan sabar dan ikhlas, sehingga bisa mengharumkan nama Indonesia. Untuk selanjutnya, saya akan menceritakan kisah singkat saya bersama Lima Srikandi berikut ini.
1. Hasna Febriana
Dia adalah salah satu koordinator pelajaran di kelas saya tapel 2020/2021. Kami banyak berkomunikasi sepanjang pembelajaran jarak jauh semester ini. Saya banyak belajar dari Hasna, terutama untuk terus sabar menghadapi berbagai ujian kehidupan. Selalu tersenyum adalah cara Hasna mengekspresikan optimisme.
2. Brilliana Alya
Alya termasuk tipe anak yang pendiam. Meski sudah tidak mengajarnya lagi, masih tersimpan kenangan bersama dirinya ketika belajar sebelum adanya Covid19. Ia tak banyak bicara tetapi sekalinya ditunjuk, dengan berani dan meyakinkan ia dapat mengutarakan gagasan di depan teman-temannya.
3. Dania W
Sebelum masuk tim KIR, Dania adalah jagoan saya di bidang menulis kreatif dan teater (khususnya deklamasi puisi). Ketika ada tawaran gabung tim KIR, ia memilih untuk menjadi ilmuwan ketimbang sastrawan. Tak perlu disesalkan karena usaha kerasnya bisa membuat saya semakin yakin bahwa pilihannya adalah tepat. Dan, bersyukurlah saya juga punya pengganti yang sepadan dengannya. Mungkin akan saya tulis di artikel berikutnya.
4. Ain Nur
Tahun lalu menjadi pertemuan yang mengakrabkan antara saya dan Ain. Selama tiga hari di SMA Kharisma Bangsa Tangerang, kami intensif berkomunikasi. Pembawaannya yang kalem kadang mengecoh, ternyata cara kerjanya sangat terampil dan cekatan. Sangat cocok untuk karakter seorang saintis masa depan.
5. Nahda Nur
Dua tahun lalu di ajang ISPO (Indonesian Science Project Olympiad) kami bertemu. Satu hal yang saya pelajari dari Nahda adalah ia termasuk anak yang patuh pada pembinanya. Mungkin ini terkesan kurang diperhatikan. Namun, percayalah bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual tetapi juga sikap rendah hati kepada gurunya.
Demikianlah, kisah saya bersama Lima Srikandi yang prestasinya lebih baik dari saya, gurunya. Mari kita berdoa semoga kelak mereka bisa berbakti pada bangsa Indonesia. Tidak ada kejayaan negara yang instan. Hari ini kita memupuk tunas bangsa dengan perlahan.
Salam perjuangan.
Yoga Prasetya "Pejuang Pendidikan".