Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Pengalaman Mengajar Anak PAUD hingga Mahasiswa, Manakah yang Paling Berkesan?

21 November 2020   18:02 Diperbarui: 21 November 2020   19:05 599 32
"Guru terbaik adalah sebuah pengalaman. Maka, carilah sebanyak-banyaknya pengalaman sebelum ajal datang menjemput. Dan, sebaik-baik pengalaman ialah yang membuat kita dekat kepada Tuhan." - YP

Tahun 2010, saya resmi menjadi seorang mahasiswa fakultas pendidikan di Universitas Jember. Teori pendidikan diajarkan secara terstruktur di kampus. Dalam kejenuhan memahami teori, saya merasa ada yang kurang.

Ibaratnya, pemain bola hanya belajar teori bola. Terus kapan main bolanya? Akhirnya, tahun berikutnya, saya memberanikan diri melamar kerja menjadi guru. Sayang sekali, saat itu guru bahasa Indonesia kurang diminati. Jadi, saya malah diterima menjadi guru mengaji anak paud dan TK di lembaga pendidikan Islam Jember.

Beruntung saya punya bekal ilmu dari pesantren. Kesan saya saat mengajar anak PAUD dan TK adalah seperti jadi "babysitter". Tak hanya belajar Al-Qur'an, mereka juga perlu dibimbing untuk makan siang, hingga mandi sore. Baru setelah mandi, saya mengantarkan anak didik ke orang tuanya.

Pekerjaan itu saya lakukan selama sebulan dan digaji Rp 1.000 perjamnya. Saat itu, saya berpikir cari pengalaman dulu. Itulah pekerjaan pertama saya dalam hidup.

Kinerja saya yang baik selama sebulan di lembaga itu berbuah manis. Salah satu rekan kerja mengajak saya "naik pangkat" mengajar anak SD. Sistemnya adalah les privat. Saya datang ke rumah anak tersebut dari sore hingga malam.

Alhamdulillah, waktu itu gajinya lumayan untuk membeli buku perkuliahan dan uang bensin. Kesan paling terasa saat mengajar anak SD adalah saya merasa seperti menjadi kakaknya. Bahkan, saya sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh orang tua anak didik saya.

Masuk semester akhir, ada program PPL. Saya memilih untuk mengabdi di SMPN 1 Rambipuji sembari tetap menjadi guru les privat. Namun, bukan lagi mengajar anak SD tetapi siswa SMP yang duduk di bangku kelas 9.

Berbeda saat mengajar anak SD yang harus menguasai semua mata pelajaran, saya kini fokus pada materi bahasa Indonesia saja. Kesan mengajar anak SMP adalah awalnya saya merasa kesulitan memahami mereka. Anak SMP itu dikatakan anak kecil tidak mau karena mereka bukan lagi anak SD. Namun, kelakuannya masih cenderung seperti anak SD. Pusing dah pala Pak Guru.

Ketika mulai mengerjakan skripsi, maka perlahan saya sudah mengurangi jam les mengajar anak SMP. Namun, rezeki lain datang. Salah satu rekan guru les, menawari saya menjadi pengajar anak SMA yang bekerja sama dengan kampus Politeknik Negeri Jember.

Jadi, tempat mengajarnya di kampus tetapi yang diajar adalah anak SMA. Benar-benar pengalaman yang unik. Kesan saya saat mengajar anak SMA adalah dag dig dug. Ternyata, di antara siswi yang saya ajar, ada yang suka sama saya. Namun, saya mencoba untuk tetap profesional.

Selain itu, materi pelajarannya juga mulai berat. Saya harus mempersiapkan bahan ajar sebelum masuk kelas. Berbeda dengan ketika mengajar anak SD atau SMP.

Lulus S1, Alhamdulillah masih ada rezeki untuk kuliah lagi. Waktu itu, biaya kuliah S1 saya paling murah karena diterima melalui jalur seleksi tulis nasional (SNMPTN 2010). Akhirnya, bisa menabung untuk lanjut kuliah.

Universitas Negeri Malang menjadi tujuan utama karena dosen saya di Jember banyak yang lulusan UM. Saat masuk semester 3, saya merasakan menjadi dosen selama satu semester. Dr. Yuni Pratiwi menyebut pekerjaan saya sebagai dosen magang.

Karena fokus tesis saya tentang cerpen, maka saya dipilih menjadi dosen magang Apresiasi Prosa Fiksi. Saat itu dosen pamong saya adalah almarhumah Dr. Hamidah. Kesan saya menjadi dosen ialah merasa terpandang, pintar, dan keren.

Entahlah, itu memang sebuah kejujuran yang saya rasakan. Namun, saya mencoba mengubah paradigma dosen yang jaga jarak dengan mahasiswa. Soalnya, ketika saya menjadi mahasiswa, rasanya para dosen punya gap yang cukup besar dibandingkan guru.

Mungkin, agar dosen tetap terlihat wibawa di hadapan mahasiswa. Pada akhirnya, pengalaman saya mengajar di kampus membuat cita-cita untuk menjadi dosen semakin tinggi. Saya berkali-kali melamar pekerjaan jadi dosen tetapi belum rezeki. Akhirnya, kini menjadi guru dan melahap berkah dari madrasah.

Itulah pengalaman mengajar anak PAUD hingga mahasiswa. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya. Menurut sobat kompasianer, manakah yang paling berkesan?


Tulisan ke-101 Yoga Prasetya.

Malang, 21 November 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun