Krisis moneter 98-99 adalah awal dari mimpi buruk yang berujung pada kisruh BLBI yang selama ini terus menghantui Indonesia. Munculnya krisis moneter mengakibatkan kegagalan sistemik di sektor keuangan. Banyak perusahaan-perusahaan yang terpaksa gulung tikar karena tidak mampu menyehatkan keuangannya. salah satunya adalah usaha perbankan.
Jatuhnya nilai tukar rupiah atas dollar menimbulkan situasi deadlock yang dapat menggiring negara menuju kebangkrutan. Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang semula Rp 2.000, 00 jatuh hingga mencapai angka Rp 17.000, 00. Dihadapkan pada situasi ini mau tidak mau pemerintah harus mangambil langkah cepat guna menanggulangi permasalahan ini sebelum akhirnya berujung pada kebangkrutan negara.
Salah satu langkah yang harus diambil adalah mengambil alih beberapa bank agar tidak benar-benar jatuh oleh BPPN. Pengambil alihan aset bank oleh negara dimaksudkan untuk menyehatkan kembali kondisi keuangan agar roda perekonomian tetap jalan. Apabila bank sehat maka perkreditan dapat kembali dijalankan, apabila masyarakat bisa mendapatkan kredit dari bank maka proses industri dapat kembali berjalan, produksi dan konsumsi kembali berputar dan roda perekonomian kembali bergeliat. Namun, pengambilalihan aset hanya sebagai langkah awal, langkah berikutnnya adalah pengucuran dana segara agar aset-aset tersebut dapat kembali beroperasi. Di tahap inilah negara memunculkan kebijakan bantuan langsung berbentuk kucuran dana segar.
Pemerintahan presiden Habibie, BLBI dijalankan. Semula dana yang digelontorkan berjumlah Rp 210 T kepada BPPN agar sejumlah bank tersebut agar tidak collapse. Setelah diberi bantuan likuiditas, sejumlah bank memang terhindar dari likuidasi oleh pemerintah. Kegiatan perbankan mampu tetap berjalan. Namun hal itu tidak cukup, laporan keuangan bank-bank tersebut belum terselamatkan, modal masih kurang untuk terus beroprasi. Ibarat bom waktu, apabila tidak segera diselamatkan maka roda perekonomian yang berangsur membaik akan jatuh sewaktu-waktu akibat nilai tukar rupiah terhadap dollar yang melambung, dan terjadi aksi tariuk massal dari masyarakat terhadap tabungan mereka di bank.
Langkah berikutnya diambil pada masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati. Pada masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati praktik penyehatan perbankan nasional sedikit berbeda. Jika diawal prosesnya adalah pengambil alihan aset lalu baru pengucuran dana sesuai aset yang diambil alih, di era Gus Dur-Mega dibalik dana dikucurkan baru aset dievaluasi. Tidak tanggung-tanggung dana yang dikucurkan senilai Rp 430 T. Jadi total dari Habibie hingga Gus Dur sudah Rp 640 T.
Ketika Gus Dur gagal dan kemudian dilanjutkan oleh Megawati. Program BLBI dilanjutkan di era Megawati. Namun entah ada angin apa di masa pemerintahan Megawati ada tambahan program, penerbitan obligasi rekap.
Permasalahan baru muncul setelah penerbitan obligasi rekap. Negara seolah-olah berutang kepada bank karena abligasi rekap ini. Tengok saja pada laporan keuangan Bank BCA. Sesuai dengan dana kucuran dana BLBI dan sita aset senilai Rp 60 T, dengan pemberian obligasi rekap kepada BCA maka negara seolah-olah berhutang Rp 60 T kepada BCA, alhasil pada laporan keuangan BCA memiliki modal sebesar Rp 60 T dari obligasi rekap pemerintah. Total nilai obligasi rekap yang diberikan kepada bank-bank adalah senilai Rp 430 T.
Sejak 2003 obligasi rekap tidak berbunga, namun oleh Boediono obligasi rekap menjadi memiliki bunga dengan besaran bunga tiap tahun dengan kisaran 13-14%, dengan masa jatuh tempo selama 10 tahun. Jadi apabila total obligasi rekap Rp 430 T dengan jangka waktu 10 tahun, maka bunga yang harus dibayar APBN adalah sejumlah Rp 600 T.
Dengan penerbitan obligasi rekap oleh Boediono, negara jadi terus berhutang kepada bank-bank tersebut. Dan pajak yang masyarakat bayarkan tiap tahun digunakan sebagian untuk membiayai bankir-bankir tersebut untuk menikmati hidup sementara negara bersusah-susah karena harus menyelamatkan bank-bank tersebut dari kebangkrutan akibat krismon lalu. Sampai saat ini bahakn negara harus terus membayar obligasi rekap tiap tahunnya padahal bank-bank yang semula ditolong sudah sehata secara laporan keuangan dan bahkan sudah mampu meraup laba. Ibarat kata pepatah “dikasih hati minta jantung”, sudah ditolong ngelunjak dan terus minta lebih.