Setelah kembali dari desa dan bertemu Radit, kehidupan Rani perlahan kembali penuh warna. Namun, di balik harinya yang sibuk dengan tugas-tugas jurnalistik, ada seseorang yang selalu diam-diam memperhatikannya: Dimas, seorang jurnalis yang telah lama menjadi teman sekaligus rekan kerja Rani.
Dimas adalah sosok yang tenang, analitis, dan selalu ada untuk Rani, bahkan di saat-saat sulit. Ia tidak pernah menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan, memilih untuk mendukung Rani dari balik layar. Ketika Rani terluka karena cinta yang tak terbalas pada Fajar, Dimas adalah orang pertama yang menyadari kesedihan yang tersembunyi di balik senyumnya.
Namun, Dimas tahu batasannya. Ia melihat bagaimana Rani mulai tersenyum lagi sejak bertemu Radit, pelukis muda yang membawa sisi baru dalam hidupnya. Meski hatinya sakit, Dimas memilih untuk tetap menjadi teman yang baik.
Suatu malam, saat mereka berdua sedang mengedit artikel di kantor yang sepi, Dimas tak tahan lagi menyimpan perasaannya. "Rani," panggilnya pelan.
Rani, yang sedang fokus mengetik, menoleh. "Ya, ada apa, Mas Dimas?"
Dimas terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan."
Rani mengerutkan kening, bingung. "Apa itu?"
Dimas menarik napas panjang. "Aku... Aku menyukaimu, Rani. Sejak lama. Tapi aku tahu, kau punya jalanmu sendiri, dan aku tak ingin memaksakan perasaanku. Aku hanya ingin kau tahu, apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu."
Rani terkejut. Ia tak pernah menyadari bahwa Dimas, yang selalu tenang dan profesional, menyimpan perasaan untuknya. Ia merasa bersalah, karena selama ini ia terlalu sibuk dengan hatinya yang terluka hingga mengabaikan kehadiran Dimas yang begitu tulus.
"Dimas... Aku tidak tahu harus berkata apa," ucap Rani pelan.
Dimas tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan sedikit rasa kecewa. "Kau tidak perlu menjawab apa pun, Rani. Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri. Aku tahu, mungkin aku bukan orang yang kau pilih, dan itu tidak apa-apa. Selama kau bahagia, itu sudah cukup bagiku."
Setelah malam itu, hubungan mereka berubah. Meski Dimas mencoba bersikap biasa, Rani bisa merasakan ada jarak di antara mereka. Di sisi lain, hubungan Rani dengan Radit semakin dekat. Radit mengajaknya melihat dunia melalui sudut pandang seni, membawanya keluar dari zona nyamannya, dan membuatnya merasa hidup kembali.
Namun, hati Rani tidak bisa mengabaikan keberadaan Dimas. Ia mulai bertanya-tanya, apakah kebahagiaan yang ia rasakan bersama Radit adalah cinta sejati, atau hanya pelarian dari luka masa lalu?
Puncak dari konflik ini terjadi ketika Rani diundang untuk menghadiri pameran seni Radit, yang kebetulan diadakan di malam yang sama dengan perayaan ulang tahun kantor di mana Dimas akan menerima penghargaan sebagai jurnalis terbaik.
Rani merasa bimbang. Kedua pria ini, dalam cara yang berbeda, telah memberikan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Radit adalah cahaya baru yang membawa kebahagiaan, sementara Dimas adalah fondasi yang selalu ada, memberikan ketenangan dan pengertian.
Pada akhirnya, Rani memutuskan untuk mengikuti kata hatinya. Ia sadar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang membuatnya tersenyum, tapi siapa yang membuatnya merasa utuh, tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Di malam pameran, Rani berdiri di depan sebuah lukisan karya Radit yang ia tahu terinspirasi dari dirinya. Namun, alih-alih merasa bahagia, ia merasa ada sesuatu yang kurang. Dalam momen itu, ia menyadari bahwa meskipun Radit membawanya terbang tinggi, Dimas adalah orang yang selalu menjadi tempatnya untuk kembali.
Rani meninggalkan pameran dan menuju ke kantor, di mana Dimas sedang menerima penghargaan. Ketika ia tiba, Dimas sedang berdiri di panggung, menyampaikan pidato singkat. Matanya bertemu dengan Rani di antara kerumunan, dan seketika ada keheningan yang penuh arti di antara mereka.
Setelah acara selesai, Rani menghampiri Dimas. "Mas Dimas," ucapnya dengan suara bergetar. "Aku akhirnya mengerti. Orang yang selalu ada untukku, yang selalu membuatku merasa utuh... adalah kamu."
Dimas terdiam, matanya memancarkan harapan yang lama ia pendam. "Rani, apa kau yakin?"
Rani mengangguk, senyumnya tulus. "Aku yakin. Dan kali ini, aku tidak akan membiarkan diriku melewatkan sesuatu yang begitu berarti."
Dimas tersenyum, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan beban di hatinya hilang. Mereka berdiri di sana, di bawah lampu-lampu gedung, memulai babak baru dalam hidup mereka---bersama, tanpa ragu.