Ramadhan tahun ini nampaknya akan selalu dikenang sampai tua nanti. Saya bersama 28 mahasiswa dari berbagai jurusan dan fakultas di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengikuti KKN PPM (Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat) periode antar semester 2010. Tentu tidak hanya kami, tetapi juga lebih dari 180 unit KKN yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, tengah mengikuti kegiatan yang dimulai pada tanggal 5 Juli hingga 31 Agustus 2010 ini. Praktis, 20 hari di bulan Ramadhan harus dihabiskan di lokasi KKN dengan merancang dan melaksanakan berbagai program pengabdian masyarakat. Lokasi KKN kami juga unik, karena kami ditempatkan di Desa Wirokerten, tepatnya di tiga pedukuhan : Grojogan, Glondong, dan Kepuh Kulon. Desa tersebut terletak di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Yang unik adalah keberadaan sebuah pondok pesantren, Jamilurrahman, di tengah-tengah desa yang tentu banyak memberi warna bagi Ramadhan kami. Masyarakat desa umumnya menghendaki kegiatan fisik berakhir saat Ramadhan tiba. Praktis, semua program harus kejar tayang dan dirancang agar proses pembangunan infrastruktur berakhir sebelum Ramadhan. Seperti pembuatan biogas yang digester dan perangkat gas holdernya selesai tepat satu hari menjelang Ramadhan. Sehingga hari-hari berikutnya kami hanya tinggal menunggu keluarnya gas CH4 yang dihasilkan dari kotoran 'fresh' sapi-sapi kelompok ternak. Atau pembuatan fermentasi jerami, yang kami sebut dengan "tape jerami", dibuat sebelum Ramadhan dan difermentasikan ketika Ramadhan. Menarik tentu bagi mahasiswa seperti kami, adalah buka bersama gratis atau ta'jilan di kampung. Sebagai timbal baliknya, kami memberi sekedar kultum singkat sekadar pengetahuan agama kami yang dangkal ini. Di kota mungkin kultum sederhana seperti yang kami bawakan akan ditertawakan, tapi di desa semakin sederhana bahasa yang digunakan, terlebih disertai contoh-contoh ringan dari kehidupan sehari-hari akan lebih mudah diterima. Ini barangkali hikmah dari firman Allah Ta'ala :
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya , supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” [Qs. Ibrahim : 4] Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam juga mencontohkan, sebagaimana dikutip dalam Riyadhus Shalihin karya Al Imam An Nawawiy, agar berbicara kepada manusia dengan bahasa yang mudah dimengerti, pelan, jelas, dan apabila perlu diulang hingga tiga kali. Sisi kehidupan yang juga kami amati adalah di sekitar lingkungan pondok Jamilurrahman. Anak-anak yang bersekolah di SD Tahfidzul Qur'an biasa bangun shubuh, setelah itu dipandu ummi-nya mulai memuraja'ah (mengulang kembali) hafalan mereka. Maka setelah shubuh biasa kami dengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari bocah-bocah lugu itu. Hudzaifah, Yazid, Hunaif, Ibrahim, Muhammad. Ah, kangen rasanya mendengar lantunan mereka. Laiknya mendengar Thoha Junayd yang tengah berlatih. Rata-rata di usia kelas 2-3 SD, hafalan mereka sudah sampai 4-6 juz. Beberapa bahkan khatam hafalan Al Qur'an ketika lulus SD. Jangan ditanya bagaimana kemakmuran mereka di sini. Komplek kampung yang kami tinggali, tempat anak-anak luar biasa yang saya ceritakan di atas, kebanyakan hanya berupa rumah gedhek, bambu, atau komposit bata dan kalsibot (sejenis triplek kalsium yang kaku). Rumah-rumah ini merupakan bantuan rekonstruksi gempa Yogyakarta 2006. Sebagian besar warga bermata pencaharian petani, penjual roti, atau karyawan industri kecil di sekitar dusun. Sebuah hidup sederhana nan bersahaja dari masyarakat pedesaan.
KEMBALI KE ARTIKEL