Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Penjual Jamu Gendong Terakhir

18 April 2011   09:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:21 824 1
“Jamuuuu…! Jamu-jamuu…!” Teriakan khas seorang tukang jamu bergema di sebuah gang. Beberapa pasang mata menatap pada sosok muda berkebaya hijau dengan sanggul dan bersandal selop hijau. Umurnya kira-kira delapan belas tahun. Bulan juni tahun ini gadis itu  lulus dari sebuah SMA di kota Boyolali. Kota kecil yang sejuk dengan penduduk yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan kota tetangganya, Solo.

Boyolali tahun 2017 tidak begitu berbeda dengan boyolali beberapa tahun sebelumnya. Tahun 2017 sudah ada mal besar di dekat pasar Boyolali, ada bioskop yang baru dibuka, sehingga anak-anak yang malam mingguan tidak perlu jauh-jauh untuk nonton.

Banyak hal sudah berubah, termasuk pedagang jamu tradisional. Pada tahun itu hanya tinggal satu pedagang jamu tradisional, yaitu : Edellia. Namanya diambil dari kata Edellweis. Nama bunga yang hanya tumbuh di dataran tinggi. Nama yang sangat indah. Beda sekali dengan bayangan orang-orang bahwa pedagang jamu itu biasanya bernama agak kuno seperti ; Jumiyem, atau Juminten misalnya. Orang jaman sekarang akan berpikir beberapa kali untuk memakai nama yang sudah dianggap sudah ketinggalan jaman itu. Begitulah, semua hal mengalami pergeseran.

Edellia adalah lulusan SMA N 1 Boyolali. Sebuah sekolah negeri yang dari dulu menjadi incaran anak-anak Boyolali. Mungkin orang-orang akan bertanya mengapa gadis yang dulunya selalu menjadi lima besar di kelas malah memilih menjadi penjual jamu gendong daripada kuliah, atau bekerja di tempat yang lebih nyaman lainnya.

Edellia mengemban sebuah misi yang harus dia tanggung sejak ibunya meninggal dua bulan yang lalu. Dia harus melestarikan jamu gendong. Karena sebelum berjualan jamu. Mendiang Ibu Edellia pun adalah seorang penjual jamu satu-satunya di kota Boyolali. Dan sekarang setelah Ibunda Edellia meninggal, penyandang the last jamu gendong seller adalah ; Edellia. Gadis berparas manis dengan kulit sawo matang, bermata jeli yang dihiasi bulu mata lentik, dan berbibir mungil kemerah-merahan. Meski sudah lewat tujuh belas, orang-orang sering mengiranya baru lulus SMP.

Edellia menerima amanat Ibunya untuk melestarikan jamu gendong, dan dia tidak menyesal mengambil langkah itu. “Jamu gendong harus tetap ada, meski jaman sudah berubah,” batin Edell, sapaan akrabnya, apabila mendapat cibiran dari teman-temannya yang juga baru lulus sekolah.

“Jamuuuuuuuu…!” seruan Edell kembali merobek kesenyapan di perumahan sepi di tengah kota Boyolali yang sejuk. Hari itu matahari cukup terik. Sudah satu jam Edell berjalan, tapi belum ada satu orang pun yang membeli jamunya. Padahal biasanya jam sepuluh pagi saja jamunya sudah banyak yang beli. Tapi hari ini orang-orang pasar yang biasa membeli jamunya tidak berselera menghirup ramuan tradisional itu.

Edell kecapekan. Melihat rimbunan pohon beringin di pinggir jalan, Edell memutuskan untuk beristirahat sebentar. Dibukanya selendang yang digunakan untuk menggendong jamu, lalu bakul berisi jamu-jamu diturunkan dan diletakkan di sebelahnya. Gadis itu duduk di semen pembatas jalanan. Di bawah pohon beringin rasanya sedikit sejuk.

“Nduk.. beli jamunya,” kata seorang kakek-kakek yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

“Eh.. i..iya..mbah..!” kata Edell agak kaget. “Jamu apa Mbah?”

Kakek itu melihat ke arah bakul sebentar, lalu menunjuk sebuah botol dengan cairan kehitaman yang ada di dalamnya.

“Brotowali ya, Mbah. Oke dech Mbah… Ups!” Edell meringis kemudian menutup mulutnya dengan tangan kanan. Kadang dia lupa kalau dia adalah pedagang jamu yang kata Ibunya, tidak boleh bersikap seperti anak-anak di depan orang dewasa.

“Ha..ha…ha.. Nggak apa-apa nduk.. santai saja. Oke atau no way embah juga mudheng kok,” kata kakek itu sambil tersenyum.

“Iya..mbah..” Edell tersenyum sambil menyerahkan segelas jamu pahit itu. Setelah Kakek tua itu selesai minum jamu brotowali, Edell segera menyerahkan gelas kedua yang lebih kecil berisi air jahe, untuk menawarkan rasa pahit dari brotowali.

“Kamu.. baru ya jadi tukang jamu?” Kakek tua itu bertanya sembari menyerahkan gelas yang tadi berisi air jahe.

“Iya, Mbah,” kata Edell. Seyuman tidak pernah hilang dari bibirnya mungil dan segar itu.

“Ooo… begitu.. tapi dulu kayaknya Embah pernah melihat seseorang yang pake baju yang sama dengan yang kamu pakai itu.”

“Itu emak saya, Mbah. Sejak satu bulan setengah yang lalu saya gantikan Emak jualan jamu,” kata Edell.

“Memang kenapa dengan Emak kamu?”

“Meninggal, Mbah.” Hatinya sakit mengingat Ibunya yang belum lama meninggal. Tapi dia sadar kalau itu semua memang sudah suratan takdir, jadi dia tetap berusaha tegar dan tetap tersenyum.

“Ooo…maaf ya, Nduk.”

“Nggak apa-apa kok, Mbah. Sekarang saya yang harus meneruskan usaha Emak. Ayah saya cuma buruh tani. Adik-adik saya juga masih ada tiga. Jadi mau nggak mau saya yang harus jualan jamu. Sebenarnya saya ingin kuliah juga seperti teman-teman. Tapi sepertinya, saya harus bersabar dulu untuk beberapa tahun ke depan, Mbah. Lagipula siapa lagi yang mau melestarikan jamu gendong kalau bukan saya, Mbah. Adik saya yang perempuan masih kecil. Mana bisa kalau disuruh jualan jamu.”

“Ooo… bagus itu. Kalau kuliah memangnya kamu mau ambil jurusan apa, Nduk?”

“Pertanian, Mbah.”

“Ooo…ngono tho? Kok bisa tho? Sekarang ini anak-anak itu sukanya kan jurusan yang dianggap keren. Hukum, Psokologi, Kedokteran, ya semacemnya itu tho, Nduk. Bukannya Mbah mau menjelekkan jurusan yang ingin kamu ambil itu lho ya,” kata Kakek tua dengan nada halus.

“Iya, Mbah.. Soalnya Indonesia itu kan Negara agraris. Makannya saya ingin ikut memajukan pertanian yang sampai sekarang belum memihak para petani, termasuk bapak saya yang hanya bisa jadi buruh. Tenaga yang keluar banyak, tapi perut lapar terus Mbah.. Orang-orang bisanya menghina bapak saya itu.”

“Ooo..ngono tho.. yo bagus itu. Dulunya Mbah ini juga petani lho. Karena sudah ndak kuat saja, makannya tidak menggarap sawah lagi.”

“Iya tho, Mbah?”

“Iyo tho yo.”

“Yo wis, sing sabar yo, Nduk. Kalau memang ada keinginan, pasti ada jalan. Kamu pasti bisa memajukan pertanian Indonesia. Boyolali, khususnya.”

“Nggih, Mbah. Wah.. sudah jam segini Mbah. Saya harus keliling lagi. Kalau ndak bisa nggak habis ini jamu saya.” Edell berdiri dan mulai menggendong jamunya kembali.

“Eh, berapa, Nduk? Lupa belum bayar dari tadi.”

“Lima ribu Mbah.” Edell menyebutkan harganya. Harga jamu tahun 2017 sudah agak lebih mahal daripada tahun-tahun sebelumnya.

“Ooo… yo, ini duite, Nduk.” Kakek tua mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. “Kembalinya ambil saja, Nduk.”

“Waduh, nggak bisa Mbah.. saya tidak menerima uang tip. Ini dilarang Emak saya.” Edell menolak dan menyodorkan uang lima belas ribu sebagai kembalian.

“Wis tho, terima saja.. Anggap saja ini rasa terima kasih Simbah karena kamu sudah mau nemenin Simbah ngobrol. Oh yo, namamu sopo, Nduk?”

“Edellia, Mbah.”

“Sudah.. sudah genduk ayu.. Terima saja uang Mbah. Buat jajan es adik kamu.”

“Tapi, Mbah..”

“Wis tho… kali ini saja. Besok ndak lagi.”

“Ya sudah kalau Mbah maksa.”

“Besok kamu masih jualan lagi tho?” tanya Kakek tua.

“Iya, Mbah. Kalau nggak jualan, adik saya mau makan apa.”

“Yo wis, besok jangan lupa kesini lagi. Nanti Mbah beli jamu lagi.”

Nggih, Mbah… Matur nuwun sanget Mbah. Kulo mlampah rumiyin.” Edellia tersenyum tanda bepamitan pada Kakek tua. Dengan langkah pasti Edell berjalan menantang matahari yang makin terik.

“Jamuuu…Jamuuu..!” teriakannya kembali membahana. Teriakan seorang penjual jamu terakhir di kota Boyolali.

***

Hari sudah hampir senja ketika Edellia memasuki gapura desa. Beberapa petani yang baru pulang dari menggarap sawah berjalan di depan gadis itu. Beban di punggungnya masih terasa berat karena hari ini jamu tidak habis terjual. Tapi Edellia tidak terlalu kecewa karena paling tidak modal sudah kembali. Beras juga masih tersisa di rumah, sehingga dia bisa sedikit tenang. Besok adik-adik dan ayahnya masih bisa makan nasi.

Setelah kematian ibunya, Edellia jadi sedikit mengerti bagaimana rasanya menjadi orang yang bertanggung jawab akan rumah tangga. Betapa ibunya pusing apabila tiba saatnya bayaran sekolah. Betapa Ibunya harus pindah dari satu warung ke warung lain untuk berhutang bila keuangan sedang cekak. Edellia baru mengerti sekarang, dan berusaha menerima semua tanggung jawab yang dilimpahkan padanya dengan kapasitasnya yang tidak jauh berbeda seperti anak-anak gadis seusianya. Meskipun kalau sudah tujuh belas tahun dianggap dewasa, sebenarnya pada kenyataannya sebagian besar anak-anak umur segitu belum mampu lepas dari orang tuanya dan belum diberi wewenang untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan keadaan yang dialami Edellia sekarang, memaksanya untuk mengikuti jalan hidup yang disodorkan padanya. Seberapapun dia ingin membuka jalan hidupnya sendiri, dia tetap dipaksa untuk menyusuri jalan yang terbuka untuknya setelah kematian ibunya.

“Udah mandi belum, Mel?” tanya Edellia pada adiknya yang paling kecil, Melati. Anak itu tengah mengerjakan PR ketika Edellia memasuki ruangan.

“Udah, Mbak,” kata Melati sambil menoleh sekilas pada kakaknya. Edellia menaruh bakul berisi jamu di dapur dan segera mandi untuk menghilangkan penat. Kedua adiknya yang laki-laki, Dani dan Danu sedang bersama-sama melihat sponge bob di televisi. Setelah selesai mandi dia bergabung dengan adik kembarnya di depan televisi. Ayahnya baru pulang ketika adzan magrib terdengar dari mesjid. Mereka semua sholat magrib berjamaah kemudian bersama-sama berkumpul di meja makan sederhana yang ada di dapur.

Hidangan malam itu adalah makanan yang sudah dimasak Edell sejak pagi. Sayur bayam, ikan asin, dan sambal terasi. Edellia sengaja memasak dalam jumlah banyak supaya tidak usah memasak lagi sorenya.

“Pak.. hari ini jamunya nggak habis lagi,” kata Edell di sela-sela santap malam yang serba seadanya itu.

“Namanya juga jualan, Nduk… kadang habis kadang nggak.. sing sabar wae,” kata Bapak.

“Tapi udah tiga hari ini Pak nggak habis terus.”

“Makannya mandi, Mbak.. nggak pernah mandi sih kalau pagi,” Dani berkata.

“Enak aja.. kamu tuh yang kalau mau sekolah cuman cuci muka doang!” balas Edell. “Kalau di pasar yang beli sedikit, biasanya nggak habis. Keliling ke rumah-rumah juga yang beli sedikit.”

“Ya jelas tho, Mbak.. siang-siang kan orang-orang pada kerja,” kata Danu.

“Oh…iya juga ya,” kata Edellia.

“Kalau gitu mulai jualannya sebelum orang-orang berangkat kerja saja, Nduk. Mungkin bakalan lebih banyak yang beli. Baru setelah kira-kira jam delapan kamu ke pasar Boyolali.”

“Iya, Pak.” Edellia mengangguk.

Setelah selesai makan malam. Edell segera mencuci semua perabot dan segera pergi tidur karena keesokan harinya dia harus bangun pukul tiga untuk meracik jamu yang akan dijual pagi harinya. Hari-harinya selalu seperti itu semenjak satu setengah bulan yang lalu.

Suara jangkrik mendominasi suasana malam itu. Bintang-bintang masih terlihat jelas seperti malam-malam yang lain di musim kemarau. Desa tempat Edellia tinggal Edellia tidak mengalami perubahan yang cukup pesat seperti pusat kota.

Melati yang sudah sedari tadi terlelap dan entah sudah sampai mana mengembara dalam mimpinya, sementara Edell masih menatap langit-langit kamar yang cat warna putihnya sudah berubah menjadi agak kekuningan. Matanya berkali-kali melirik pada layar ponsel miliknya yang sudah agak butut itu. Setelah jam sebelas malam, ponselnya bergetar perlahan tanda sebuah panggilan masuk.

“Halo,” sapa Edellia dengan suara pelan agar tidak membangunkan adiknya.

“Hei.. maaf ya baru nelpon.. ini habis ngerjain tugas sama temen-teman,” kata seseorang dari saluran telepon. Sebuah suara yang halus, menenangkan, dan membuat Edellia lupa akan kepenatan yang kadang menghimpitnya.

“Nggak apa-apa, Mas.”

“Gimana kerja’an?” tanya Irfan.

“Baik… Mas sendiri kuliahnya lancar?”

“Alhamdulillah Dell.. Semuanya lancar.. udah nggak juga shock  sama pergaulan Jogja. Hehehe.”

“Lha iya tho, Mas. Masak udah setahun lebih masih mau shock.. Tapi ya jangan sampe ikut kebawa yang enggak-enggak lho, Mas.”

“Enggak lah… Percaya dong sama Mas kamu yang ganteng ini.”

“Ganteng-an kunci Mas?”

“Ah, kamu ini lho… Tega amat ngatain Mas.”

“Mas Irfan kapan pulang ke Boyolali? Semenjak Emak meninggal… kita belum ketemu lagi…dulu juga… mas nggak bisa datang ke pemakaman Emak kan karena Mas lagi di Bandung.”

“Gimana mau datang… Rumah kamu aja Mas masih belum tahu. Tapi seneng juga nich. Ternyata bisa juga ya kamu kangen sama Mas? Hihihi.”

“Gitu ya… malah ngeledek.”

“Ntar dua minggu lagi Mas pulang.”

“Jangan bohong lho ya.”

“Kalau bohong mang kenapa?”

“Kalau bohong ntar matanya jadi dua, tangannya juga dua, kaki nya dua.”

“Ihh,, nggak lucu… Tak sentil lho kamu ntar.”

“Kalau berani nyentil tak sumpahin jadi ganteng loh.”

“Mau dooongg… hehehe.”

“Ya udah… Edell tidur duluan ya, Mas. Besok mau bangun pagi soalnya.”

“Iya sayang.. met bobo yaa… nggak usah kangen sama Mas.. bentar lagi kan kita juga bisa ketemu.. hehe.”

“Ihh,, ngapain kangen segala…ogah ah.. oyasuminasai, Mas Irfan.”

Oyasumi, Dik Edellia.”

‘PIK’. Tombol merah sudah dipencet dan sambungan telepon terputus. Sebetulnya Edellia belum terlalu mengantuk, tapi dia tidak mau membuat kekasihnya, Irfan tidur terlalu malam.

Tiba-tiba Edellia terbayang masa-masa ketika masih  sekolah dulu. Irfan adalah seniornya yang setahun lebih tua.  Mereka jadian setengah tahun sebelum kelulusan Irfan. Tapi meskipun sudah satu setengah tahun jadian, Edellia tidak mengijinkan Irfan mengunjungi tempat tinggalnya. Irfan tidak pernah tahun siapa orang tua Edellia, apa pekerjaannya. Namun Irfan tidak mempermasalahkan semua hal itu karena Edellia yang dia kenal adalah Edellia yang manis dan pintar serta pandai bergaul. Irfan hanya tahu kalau Edell harus menunda keinginannya melanjutkan kuliah karena tidak mampu membayar biaya masuk. Hanya itu yang dikatakan Edellia.

Dalam hatinya yang paling dalam, Edellia sebenarnya merasa malu kepada Irfan. Karena Irfan adalah anak seorang dokter spesialis yang sangat terkenal di Jawa Tengah dan dikenal sebagai keluarga yang terpandang. Gadis itu menjadi minder, dan memutuskan untuk tidak terlalu banyak bercerita tentang orang tuanya. Tentang pekerjaannya sekarang  Edell berbohong juga berbohong pada Irfan. Gadis itu mengatakan kalau dia menjadi waitress di sebuah restoran steak. Edellia sendiri tidak tahu harus sampai kapan menyimpan kebohongannya. Dia takut apabila mengetahui kenyataan yang sesungguhnya, sikap Irfan akan berubah.

Nyanyian burung malam dan serangga-serangga malam membuat Edellia terlelap tanpa sadar selagi memikirkan kesusahannya. Satu hari yang panjang sudah berlalu.

***

Pagi yang baru selalu membawa harapan baru bagi bumi dan seluruh isinya. Begitu pula bagi Edellia. Pagi ini dia menyongsong harapan dengan semangat. Pikiran tentang Irfan selalu hilang saat pagi hari datang.

Langkah-langkahnya mantap menapaki jalanan. Teriakannya nyaring dan terdengar sedap di telinga.

“Jamuu…Jamuuuu…”

Hari itu seperti disarankan Bapak, Edellia berangkat lebih pagi dan berkeliling dari rumah ke rumah dahulu sebelum menuju ke pasar. Dia ingin memperoleh reputasi yang baik dulu di kalangan warga agar memperoleh pelanggan yang lebih banyak, mengingat peminat jamu di pasar mulai sedikit.

Ternyata usahanya tidak sia-sia. Pembelinya mulai bertambah banyak. Mereka menyukai Edellia yang berpenampilan manis dan rapi dengan kebaya hijaunya itu. Rasa jamunya juga sedap karena memakai bahan-bahan pilihan yang selalu terjaga kualitasnya secara turun-temurun.

Dia menjadi cukup populer sebagai penjual jamu termuda yang pernah orang-orang Boyolali temui. Namun, ketenarannya membuat Edellia menjadi gossip diantara ibu-ibu.

“Eh, Jeng… sampean tahu ndak penjual jamu yang selalu pake baju ijo itu?” tanya Bu Shinta, istri seorang pegawai swasta.

“He’eh.. tahu Jeng.. kenapa ya dia selalu pake baju ijo? Apa ada hubungannya sama Nyi Loro Kidul ya? Konon Nyi Loro kidul itu suka warna hijau kan?” Bu Titik, seorang istri pegawai negeri menimpali.

“Bukan itu Jeng masalahnya, mau pake baju ijo kek, merah kek, loreng kek, nggak peduli saya. Masalahnya gini lho, Jeng… suami saya itu tiap pagi sekarang minta dicegatin jamu melulu. Haduh…”

“Lha kenapa Jeng? Kok sebel begitu.”

“Lha  gimana nggak sebel. Kenapa harus beli sendiri, kan bisa tho saya yang beli’in dia yang minum. Ini suami saya yang beli sendiri. Tiap hari lagi. Opo ndak sebel… ini pasti ada apa-apanya sama tukang jamu belia itu. Jangan-jangan dia pasang susuk.”

“Selama suami Jeng nggak nyolek-nyolek yo ndak papa tho?” Ibu Titik berkata.

“Ya tapi gimana Jeng… tetep aja saya sebel ngeliat suami saya demen sama penjual yang masih abege begitu.”

“Saya juga sebel sich Jeng,” kata Bu Titik. “Masalahnya kalau suami saya minum jamu, saya yang jadi capek.”

“Kok bisa tho Jeng?”

“Iya… pokoknya tiap malam saya jadi capek. Jeng tahu sendiri lah…”

“Wah… itu  mah malah bagus Jeng, suami saya gara-gara minum jamu malah lembur terus tiap hari.”

“Nglembur opo Jeng?”

“Iyaa…lembur di kantor melulu.. Kayak nggak ada capeknya… Ck.ck.ck… jadinya saya  jadi nggak capek.”

“Hahahaha.”

“Eh.. Jeng Titik ini malah ketawa tuh gimana tho?”

“Eh, map Jeng… ya sudah sing sabar ya Jeng.. suami Jeng Shinta ini kan kerja juga buat sampean juga.”

“Iya juga sih Jeng, tapi pokoknya saya tetap nggak suka sama Penjual Jamu yang serba ijo itu. Saya akan berusaha agar suami saya nggak ketagihan jamu lagi.”

Begitulah. Reputasi Edellia sebagai penjual jamu termuda di Boyolali menjadi buah bibir. Terutama di kalangan Ibu-ibu rumah tangga dan pekerja-pekerja rumah tangga. Ada yang sebel ada pula yang suka. Namun, Edell tetap menegakkan wajahnya meskipun dia kadang mendengar perkataan sinis yang ditujukan padanya. Tiap hari dia menjajakan jamu tanpa lelah. Dia sudah senang melihat adik-adiknya sekolah dan bermain dengan gembira. Dikesampingkannya segala keinginan yang ada di dalam hatinya.

Semenjak pertemuannya dengan seorang kakek di bawah pohon beringin itu, Edell selalu kesana dan Kakek itu selalu membeli segelas brotowali.

“Wah.. hari ini kayaknya seneng banget kamu Nduk. Ada apa?” tanya Kakek tua yang tidak pernah Edell ketahui namanya.

“Iya Mbah… dua hari lagi saya mau ketemu sama… sama… pacar saya… hehehe.” Saat mengucapkan kata ‘pacar’ rasanya Edell merasa sedikit malu.

“Oo…wah…seneng ya… Pacar kamu sudah kerja apa masih sekolah?”

“Kuliah Mbah di Jogja. Pacar saya itu pinternya bukan main. Dulu dia kakak kelas saya.” Senyuman menghiasi wajah Edellia, matanya berbinar-binar ketika mengingat Irfan.

“Ooo…ngono tho.”

“Tapi ada yang ngganjal perasaan saya Mbah.. Pacar saya itu nggak tahu profesi saya sekarang. Dia tahunya saya kerja nggak kayak gini. Dia itu sangat baik Mbah.. selalu dukung saya supaya ngelanjutin pendidikan. Tapi kalau begini,, entah kapan saya bisa ngelanjutin. Pasti dia malu kalau harus bersanding sama saya.” Tiba-tiba cahaya yang merayapi wajah Edellia meredup. Matanya agak menerawang.

“Lho..kenapa nggak jujur saja?” tanya Kakek tua.

“Malu Mbah… dia itu anak seorang dokter speasialis yang cukup berada dan terkenal.. Kalau dia tahu saya anak buruh tani, dan seorang penjual jamu.. bisa-bisa saya langsung ditendang.”

“Kamu kejam Nduk.”

“Lho…kok saya yang dibilang kejam tho, Mbah?”

“Iya.. padahal belum dicoba, tapi kamu sudah berkata seolah-olah pacar kamu itu nggak bisa menerima perbedaan kalian. Belum tentu dia seperti itu.”

“Habis gimana Mbah… semuanya juga udah terlanjur…Orang-orang selalu saja berkata, kalau mau cari pasangan itu harus mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot , Mbah.. dengan keadaan saya yang seperti ini saya merasa nggak pantas kalau harus bersanding sama pacar saya. Nanti apa kata kolega ayah pacar saya kalau anaknya saja menyandang gelar Drs sementara saya Cuma  nama thok.” Edellia menghela nafas.

“Nduk… kenapa kamu jadi pesimis gitu.. Manusia itu sama saja. Mau punya gelar seperti apa, tetap saja menurut Mbah itu akhlak lah yang harus dipertimbangkan pertama kali dalam mencari pasangan.”

“Begitu tho, Mbah?”

“Lha iya tho…. Oh iya…. Sebenarnya hari ini Mbah mau ngomong sesuatu lho sama kamu.” Kakek tua di depan Edellia berkata ragu-ragu.

“Apa itu Mbah?” Edell menatap Kakek tua dengan penuh tanda tanya.

“Kamu… mau ngelanjutin pendidikan lagi kan?”

“Iya… Mbah..”

“Mbah bisa bantu kamu membiayai kuliah kamu.. Nanti kalau sudah lulus dan bekerja kamu bisa mencicil uang yang Mbah keluarkan. Mbah merasa tergugah melihat kegigihan kamu selama ini, Nduk,” kata Kakek tua itu. Matanya tampak serius, namun tetap teduh.

“Mbah.. saya …saya jadi bingung mendengar Mbah berkata seperti itu…”

“Kamu ndak percaya?”

“Percaya…tapi….”

“Percaya atau tidak?”

“Tidak, Mbah.”

“Tapi Mbah nggak berbohong. Mumpung keinginan untuk melanjutkan studi itu masih besar.. kamu sebaiknya segera melaksanakan niat kamu itu.”

“Saya mengerti, Mbah.. Tapi saya nggak enak ngrepotin Mbah.. Lagipula…Emak saya juga sudah mewanti-wanti agar tetap melestarikan jamu gendong supaya tidak punah. Mbah tahu sendiri penjual jamu di Boyolali tinggal saya sendiri,” kata Edellia.

“Emak kamu berwasiat untuk melestarikan jamu gendong.. Tapi tidak berwasiat agar keturunannya berjualan jamu gendong kan?”

“Iya sih, Mbah….”

“Pikirkan saja dulu.. Bicarakan juga sama Bapak kamu.”

“Mbah… Mbah kenapa baik banget sama saya?”

“Mbah kan sudah bilang alasannya tadi.. Sudahlah jangan jadi beban begitu, Kuliah, lalu mandiri, itu saja yang harus kamu pikirkan.” Edellia tidak percaya pada apa yang didengarnya, tapi kakek tua di hadapannya tidak terlihat sedang bercanda. Edellia jadi bertanya-tanya siapa sebenarnya kakek tua yang berpenampilan bersahaja di depannya itu.

“Pak.. Disini tho rupanya.. ada tamu buat Bapak.” Tiba-tiba seorang laki-laki berseragam security menghampiri kakek tua itu.

“Oh… iya.. Waduh.. lali aku kalau sudah ada janji..” Kakek itu menepuk dahinya sendiri. “Ya sudah ya, Nduk.. Mbah pergi dulu. Jangan lupa sama yang Mbah omongin tadi.”

Edellia mengangguk. Dia memandangi Kakek tua dan security itu berjalan menyeberangi jalan lalu memasuki sebuah bangunan yang ternyata adalah sebuah restoran yang sangat terkenal karena masakan jawa nya. Entah siapa kakek tua itu.

***

“Pak, besok Edell nggak jualan ya.” Edellia menyapa Bapaknya yang sedang mengasah parang di belakang rumah. Hari masih sangat muda. Pukul 5.30 pagi. Dagangan Edellia sudah sudah siap, tinggal menunggu dijual saja.

“Kenapa memangnya?”

“Mau reuni, Pak.. udah lama nggak ngumpul sama teman-teman.”

“Oh, yo uwis ..sing ngati-ati wae yo, Nduk. Jangan malem-malem pulangnya,” kata Bapak. Bapak mengusap parangnya yang sudah kelihatan tajam. Edellia menatap ke arah Bapaknya sebentar. Bapaknya yang sudah mulai berkepala lima itu tampak kokoh meskipun hampir tiap hari bekerja di sawah. Apabila tidak ada yang membutuhkan tenaganya, Bapak mencari rumput kolonjono untuk dijual pada pemilik hewan ternak di kampung.

Tiba-tiba terbersit perasaan bersalah pada hati Edellia. Dia rela berbohong pada Bapak karena besok dia sudah berjanji untuk bertemu dengan kekasihnya, Irfan. Akhirnya hari-hari yang dinantikannya selama berbulan-bulan tiba juga. Dan tidak mungkin Edell melewatkannya.

Edellia merasa benar-benar nelangsa waktu itu. Dia merasa sangat tersiksa karena harus berbohong pada dua orang yang sangat disayanginya. Pertama kebohongan yang sudah disimpannya sejak lama terhadap Irfan, dan kedua adalah kebohongan pada bapaknya itu.

“Kamu kenapa, Nduk?” tanya Bapak saat melihat air muka Edellia yang lain dari biasanya. Edellia hanya menggeleng, lalu masuk ke rumah. Dia harus segera mandi dan bersiap jualan jamu.

***

“Jamuuu-jamuuuuuuuuuuuuu!! Jamuuuuuuuuuu!” seruan Edellia memenuhi jalanan. Matahari bersinar hangat seperti biasa.

“Mbak.. jamu dong!” seorang pembantu rumah tangga memanggil dari balik teralis pintu gerbang.

“Eh.. iya Mbak..” kata Edellia sambil tersenyum manis. Pembantu tumah tangga yang bernama Fransisca itu membuka pintu pagar agar Edellia masuk. Penghuni rumah itu memang sudah menjadi langganannya.

“Biasa tho Mbak? Kunyit asam..?” tanya Edellia.

“Iyo Mbak, jangan lupa juga jamunya buat Bapak sama Ibu.. Mbak sudah tahu, tho?” kata Fransisca sambil duduk di pinggiran teras.

“Yo  jelas.. heheh.” Mereka berdua tertawa bersama.

Edellia tengah menuang kunyit asam ke dalam gelas ketika Fransisca berkata, “Mas.. . mau jamu ndak?”

Tanpa firasat apapun Edellia mendongak ke pintu masuk. Seseorang yang ada di depan pintu masuk pun menatap pada tukang jamu remaja yang sedang duduk di teras dengan kebaya warna hijaunya. Irfan tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terkatup rapat. Edellia pun kaget bukan main melihat kekasihnya ternyata adalah penghuni rumah itu. Dia tidak pernah tahu kalau rumah besar itu adalah rumah orang tua Irfan. Gelas yang dipegangnya hampir jatuh, kalau Fransisca tidak segera mengambilnya sendiri dari tangan Edellia. Setelah beberapa detik berpandangan Edell yang lebih dahulu mengalihkan matanya.

“Ada apa tho? Kok Mas Irfan sampe terpesona gitu,” canda Fransisca. Irfan tidak menanggapi. “Mau jamu ndak, Mas?”

Irfan tetap  tidak menangapi dan masuk ke dalam rumah. Sebelum pintu rumah ditutup satu orang lagi keluar. Rambutnya beruban dengan setelan kaos oblong dan celana sedikit di bawah lutut.

“Oh.. ternyata ndak salah dengar tho.. Jamu ne segelas Cah ayu,” kata orang tua itu.

“Lho… simbah… kok …” Ternyata yang keluar adalah kakek tua yang bisa ngobrol dengannya di bawah pohon beringin.

“Lha ini rumah anak saya Nduk.. apa aneh tho kalau saya menginap di rumah anak saya?”

“Enggak Mbah,” kata Edellia sambil tersenyum kecut. Ternyata kakek teman ngobrolnya selama ini adalah kakek dari pacarnya sendiri. “Biasa tho, Mbah?” Dengan cekatan Edell menuang jamu pada gelas. Rasanya gadis itu ingin menangis, tapi ditahannya dengan sekuat tenaga.

Segera setelah urusannya di rumah besar itu selesai, Edellia langsung membenahi dagangannya dan melangkahkan kaki tanpa menoleh ke belakang. Rasanya dia sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan Irfan. Apa yang harus dikatakannya nanti? Pikirnya dengan perasaan yang kalut.

Ketika berjalan di sekitar rumah itu, tidak ada teriakan khas tukang jamu yang dikeluarkan dari mulutnya. Dia hanya bisa membisu. Edellia tidak tahu kalau dari lantai dua rumahnya, Irfan memandanginya dengan tatapan sedih.

Malam itu Edellia tidak bisa tidur. Irfan tidak kunjung menelponnya meski sudah lewat tengah malam. Hari itu juga dia sudah bisa merasakan bahwa hubungan mereka akan berakhir. Besok tidak aka nada pertemuan apapun, seperti yang sudah pernah mereka rencakan berdua.

Namun, dibalik semua rasa sedih yang dihadapinya hari ini, sebuah beban besar seperti sudah diambil dari pundaknya. Kebohongannya sudah terbongkar, maka tidak ada yang perlu ditutupi lagi.

“Seorang tukang jamu… mana pantas pacaran sama anak dokter…” gumamnya pada diri sendiri. Air asin memasuki sela-sela bibirnya. Edellia menangis dalam diam.

***

Edellia dan Irfan terdiam. Sudah lima menit mereka berdua duduk diam di pembatas jalan di bawah pohon beringin. Itu adalah tempat Edellia biasa bertemu dengan Kakek tua. Awalnya mereka berencana bertemu di warung steak Amazone, tapi tidak disangka ketika Edell memutuskan untuk tidak menemui Irfan dan berjualan, malahan mereka dipertemukan di bawah pohon beringin. Mungkin Kakek tua yang memberi tahu Irfan bahwa Edellia tiap hari lewat sana.

“Aku tahu kamu nggak bakalan mau ketemuan sama Aku, Dell. Makannya aku kesini.” Suara Irfan berlomba dengan suara kendaraan yang baru saja melintas di depan mereka.

“Harusnya aku yang ngomong gitu, Mas.. Aku tahu Mas Irfan yang nggak mau ketemu lagi sama aku.”

“Ini buktinya ketemu.”

“Untuk memutuskan hubungan kita kan?”

“Kenapa kamu langsung menyerang begitu? Dengar dulu dong omongan Mas.” Irfan berkata tegas namun tidak kasar.

“Dengar apa lagi? Kemarin bahkan Mas Irfan nggak ngomong apa-apa, begitu ngeliat aku, Mas langsung masuk ke rumah. Telpon,  sms atau apa juga nggak.” Suara Edellia bergetar karena emosi.

“Maaf… Mas masih syok.”

“Aku yang harus minta maaf karena selama ini sudah menyembunyikan keadaan aku sama Mas.. Edell Cuma tukang jamu Mas.. Orang tua Edell Cuma buruh tani. Kalau memang Mas mau putus.. Edell rela.”

“Dell, Mas nggak bilang kayak gitu..”

“Iya, Edell tahu Mas!” potong Edellia tanpa mempedulikan Irfan yang ingin mengatakan sesuatu. “Edell tahu diri.. Sudahlah Mas.. kemarin itu Mas sudah membuat Edell mengambil keputusan untuk…”

“Bisa denger dulu nggak sih?” Untuk pertama kalinya Irfan menyela dengan suara agak keras. “Del.. Mas nggak akan memutuskan hubungan kita... Aku sayang sama kamu Dell.. tapi… Mas minta satu syarat.”

“Syarat?”

“Mas sudah mendengar dari Eyang… bahwa.. bahwa beliau mau membiayai kuliah kamu.. Mas mau kamu menerima tawaran itu. Kamu bisa jadi ahli pertanian sesuai harapan kamu. Itu bagus kan? Kalau kamu menyanggupinya… Mas akan tetap mempertahankan hubungan kita.”

“Kalau Edell nggak mau Mas?”

“Del… tolong jangan kecewakan Mas.. Mas harap kamu mau menerima bantuan dari Eyang.. atau Mas akan bilang sama orang tua Mas bahwa ada seorang junior Mas yang..”

“Cukup Mas…” potong Edellia lagi. “Aku nggak mau ngrepotin orang lain.”

“Del.. kenapa sih kamu nggak mau ngikutin saran Mas.. ini demi kebaikan kamu..”

“Masak?”

“Kok gitu sih ngomongnya.. Jadi kamu nggak mau nerima bantuan dari siapapun?”

Edellia menggeleng.

“Terakhir kali Mas nanya… kamu nggak mau nerima bantuan dari siapapun?”

“Mas malu punya pacar lulusan SMA?” Edellia malah balas bertanya.

“Del…please.. Mas nggak bilang kayak gitu kan?”

“Mas nggak berani bilang karena takut melukai hati Edell.. Sudahlah Mas.. Mas bisa cari pasangan lain yang nanti punya gelar juga seperti Mas..” Edellia mengemasi lagi jamunya. Dia bersiap meninggalkan Irfan.

“Aku keliling dulu Mas..” pamit Edell sambil tersenyum lesu.

“Kita belum selesai Del..”

“Terimakasih ya Mas.. Edell senang Mas nggak mutusin Edell…. Tapi Edell yang harus tahu diri. Sampaikan salam saya buat Eyangnya Mas Irfan,” kata Edellia.

“Dell…!” Irfan berdiri dan memanggil Edellia yang berjalan menjauhinya. Tapi seperti kemarin, Edellia tidak menoleh sedikitpun ke belakang. Kali ini air mata sudah tidak tertahankan lagi, mengalir deras seperti air terjun.

Edellia mempercepat langkahnya. Dalam hati dia berharap orang yang disayanginya itu memanggil namanya, mengejarnya dan menarik lengannya kemudian mengajaknya untuk kembali. Tapi harapan itu tidak terjadi.

Tidak ada panggilan, tidak ada derap langkah yang mengejar, tidak ada yang mengajaknya kembali. Dan semuanya kini sudah tidak bisa kembali.

***

Lima bulan telah berlalu. Musim penghujan mulai mendatangi kota kecil yang sejuk bernama Boyolali itu. Desa-desa di pinggiran kota tetap demikian adanya meski sudah menjelang tahun 2018. Memang masih jauh kalau harus mengejar Negara-negara yang lebih maju seperti China atau Jepang. Tapi gejolak kemajuan di tahun itu sudah mulai tampak.

Edellia tetap mejadi tumpuan terakhir bagi keberlangsungan minuman tradisional bernama Jamu gendong. Meskipun jamu bikinannya sudah sejak lama disaingin oleh produk jamu keluaran pabrik, Edellia tetap tidak berhenti berjuang.

Seperti hari-hari kemarin, Edellia tetap berkeliling atau duduk di pangkalannya di Pasar Boyolali. Hari itu juga Edellia tetap berbincang dengan teman akrabnya, Kakek tua yang tidak pernah dia ketahui namanya, dan tidak pernah ingin diketahui namanya. Yang dia tahu Kakek itu adalah kakek dari mantan kekasihnya, Irfan. Meskipun bisa dibilang mantan, sebenarnya tidak pernah ada pernyataan resmi dari mereka berdua. Dan Edellia sudah bisa menerima itu.

“Yank… ada tukang jamu tuch.” Seorang gadis cantik yang rambutnya dicat pirang berkata pada kekasihnya yang sedang menyetir di sebelahnya. Beberapa ratus meter dari mereka Edell dan kakek tua sedang berbincang.

“Jamu?? Ih… ngapain kamu minum gituan?” Irfan yang ada di jok sebelah langsung teringat pada gadis manis berkebaya hijau. Hatinya mendadak perih.

“Emang kenapa? Kebetulan aku lagi datang bulan nich… perut aku sakit.. beli yah.. berenti sebentar dech.”

“Aduh Yank.. besok aja deh…”

“Nggak mau… pliss…” Cewek pirang itu bergaya manja.

“Iya…iya…” Irfan berusaha untuk mengesampingkan perasaannya. Di samping itu dia juga sudah lama tidak berjumpa dengan Edellia. Diam-diam dia sedikit penasaran seperti apa Edell sekarang.

Kakek tua yang melihat mobil cucunya mendekat dan berhenti segera membayar dan pergi dengan buru-buru sehingga membuat Edell sedikit heran. Tapi melihat Irfan turun bersama seorang cewek, Edell langsung mengerti.

“Mbak… jamu kunyit asam dunk!” kata pacar Irfan.

“Iya Mbak.. Mas nya nggak sekalian?” kata Edell. Irfan terperangah sebentar. Dia hanya bisa menggeleng sambil kembali ke dalam mobilnya.

“Yank… napa ke mobil.. temenin aku dunk..” kata Meta, pacar Irfan.

“Ntar dulu..” hanya itu yang diucapkan Irfan. Cowok itu tidak menyangka Edell tampak tenang, bahkan terlalu tenang dibandingkan dengannya yang agak gugup. Dari dalam mobil Irfan bisa mendengar percakapan Meta dan Edellia.

“Mbak… kayaknya Mbaknya masih kecil ya..” kata Meta sambil menerima gelas yang berisi jamu.

“Saya 19 tahun Mbak, bulan depan.”

“Lho.. muda banget. Lebih muda setahun daripada saya.”

“Begitu ya, Mbak.. Mbak nya kuliah ya? Dimana?”

“Iya kuliah di Jogja.” Meta meminum jamunya pelan-pelan. “Enak ya Mbak jamunya.. sudah berapa tahun ya saya nggak minum jamu,’ komentar Meta.

“Syukur Mbak kalau enak. Kuliah apa Mbak?”

“Kedokteran.”

“Ooo… keren ya.. nanti bisa seperti orang tuanya pacar Mbak itu ya..” kata Edellia.

“Lho kok kamu tahu kalau orang tua pacar saya itu dokter?”

“Siapa sih yang nggak tahu Mbak.. dokter spesialis handal begitu siapapun juga tahu. Apalagi saya tukang jamu yang sering ngobrol sama pembantu-pembantu. Hehehe.”

“mbaknya lulusan apa?”

“SMA, Mbak.”

“Ooo..” Hanya itu yang keluar dari mulut Meta. Karena jamunya sudah habis Meta memberikan gelasnya pada Edellia.

“Berapa, Mbak?”

“Gratis aja, Mbak..”

“Lho.. jangan dunk!”

“Beneran Mbak.. ini gratis.. hari ini hari terakhir saya jualan.. Besok sudah bukan saya lagi yang berkeliling di Boyolali, tapi tetangga-tetangga saya..Saya berniat untuk melanjutkan studi.”

Irfan yang ada di dalam mobil kaget. Dia tidak tahu kalau Edellia mengubah niatnya dan menerima bantuan dari kakeknya. Padahal dulu Edellia ngotot tidak mau.

“OO… begitu yah? Tapi…Bener nih nggak apa-apa?”

“Iya.. bener dech..”

Tepat saat itu ponsel Meta bordering karena ada sms. Meta merogoh ponselnya di tas sehingga tidak bisa melihat wajah Edellia saat gadis itu berkata, “semoga bahagia….”

Yang dilihat bukanlah Meta melainkan seseorang di dalam mobil yang kacanya dalam keadaan terbuka.

“Semoga bahagia..” Mata Edellia dan Irfan bertatapan selama tiga detik.

“Apa Mbak?”

“Semoga bahagia Mbak..”

“Eh.. apa’an sih?” Meta tidak mengerti.

“Udah Mbak.. lupain aja.. hehehe..”

Dari dalam mobil Irfan berkata ,”Yank…udah belum..?”

“Makasih ya Mbak,,” kata Meta untuk terakhir kali. Yang dijawab dengan senyuman kecil dari Edellia. Mobil BMW hitam itu berlalu dari hadapannya. Kemudian dirasakannya sebuah tepukan kecil di punggung.

“Nduk… kamu hebat.. Meskipun Mbah pengen kamu nggak putus dari Irfan.. Tapi semuanya sudah terlanjur.. Berbahagialah dengan seseorang yang akan mencintaimu apa adanya.” Kakek tua tiba-tiba muncul di belakangnya.

“Terima kasih, Mbah..”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun