Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Lelaki yang Tidur di Jalanan

18 April 2011   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 122 0



bagiku,,malam bukanlah ketika matahari mulai terbenam dan suasana berangsur gelap...

bagiku,,,

malam bukanlah ketika lampu-lampu jalanan mulai dihidupkan,

bukan ketika gadis-gadis muda berdandan menor dengan hotpants mulai berkeliaran di lokasari..

bukan ketika para tukang nasi goreng mulai bersiap dengan gerobak dagangannya..

sudah sejak seratus hari yang lalu malam menyergapku,,

menelanku bulat-bulat dalam keputus asaan...

bagiku,,

sejak seratus hari yang lalu, hari-hariku selalu malam..

bagiku, malam adalah ketika dunia mengusir orang yang sangat kucintai dari pelukanku..

apakah aku tidak akan pernah melihat siang lagi?

apakah sampai aku mati , dunia ini akan selalu gelap?

pada siapa aku harus bertanya??

bahkan orang yang tidak waras pun akan tertawa apabila aku bertanya seperti ini..

lalu,, dimana aku bisa menemukan jawabannya???

***

tanggal x bulan x tahun x

kakiku terasa gatal sekali. ketika aku memeriksanya kotoran yang sudah menjadi daki tampak menyatu dengan borok-borok yang sudah sekian lama menjadi penghias cekerku ini. Aku menggaruknya hingga tak terasa menjadi lecet.

matahari sudah hampir di atas kepala, namun aku meneruskan tidurku di pinggiran trotoar di kawasan kota tua, jakarta barat. Aku sudah lupa sejak kapan aku hanya tidur, bangun, mengorek sampah untuk mencari makan, lalu tidur lagi.

Aku tidak terikat waktu, aku tidak terikat tanggung jawab,aku tidak terikat apa-apa di dunia ini. Bisa tetap hidup saja rasanya seperti mimpi.

ketika terbangun menjelang sore harinya, mulutku terasa sangat kelat. perutku juga lapar. Entah dari mana di sebelahku teronggok beberapa koin recehan dan beberapa lembar uang dua ribuan.

hanya dengan tampang dekil dan kurus begini, orang-orang sudah kasihan dan memberiku uang. Ternyata masih ada juga orang-orang dengan hati yang mudah tersentuh. Padahal, sungguh... aku tidak pernah bermaksud untuk mengemis. Dulunya aku mencari uang dengan memungut botol-botol plastik, kaleng, dan kardus. Tetapi semenjak kedua matahariku meninggalkan aku,, pria yang tidur di jalanan,, aku tidak punya hasrat lagi untuk mengumpulkan barang bekas dan mencari uang.

yang ada di pikiranku hanya satu...

menyusul matahariku yang satunya....

matahariku yang mungil.

Aku terdiam. Kupandangi langit sore yang berwarna keemasan. Tanganku yang dekil kuusapkan pada pipiku yang berair.

***

Aku tersenyum pada wanita paruh baya yang penjaga kamar mandi umum di sebelah masjid yang biasa kudatangi. Disana selain menjaga kamar mandi umum, dia juga membuka warung kecil-kecilan.

Kutaruh uang dua ribu di atas etalasenya tanpa bicara apa-apa. Ketika aku hendak masuk ke kamar mandi suaminya menegurku.

"Mas," panggilnya. Aku menoleh sedikit, tetap tidak bicara apa-apa.

"Saya dengar Mitha meninggal.... saya turut berduka cita," katanya lagi.

Aku hanya mengangguk. Kulangkahkan kaki menuju ke bilik-bilik kamar mandi. Aku tidak butuh simpati dari siapapun, kataku dalam hati.

berjuta-juta simpati dari siapapun, tidak akan pernah menghidupkan Mitha kembali.

Setelah air dan sabun bekas yang kutemukan di kamar mandi umum mengikis kotoran di kulit dan rambutku, aku merasa lebih segar.

Wanita paruh baya dan suaminya yang menunggui kamar mandi umum sempat menegurku lagi ketika aku mau pergi, tapi aku tetap tidak menggubrisnya, padahal dulunya kami adalah teman baik. AKu bahkan sering berjam-jam menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama mereka.

Tapi sekarang....

aku hanya ingin sendiri.. Aku tidak butuh siapapun.

"Cih,, miskin aja sombong." Aku sempat mendengar perkataan wanita paruh baya itu, tapi buat apa aku pedulikan??

Tanpa tujuan aku berjalan menyusuri jalanan di kawasan kota tua. Anak-anak muda dengan kamera yang tampak bagus tampak bersemangat sekali memotret gedung-gedung peninggalan jaman kolonial. Beberapa tampak asyik naik sepeda sewaan. Ada pula pasangan-pasangan yang tampak asyik mojok di pinggiran sungai yang dilihat dari sisi manapun tidak indah. Melulu sampah yang berlalu lalang di airnya yang kotor.

Kuludahkan air liurku ke tanah. Asyik sekali mereka. Menyebalkan.

Dulu pun aku punya seseorang yang bisa kuajak bermesraan. Namanya.... ah....sudahlah, jangan ingatkan aku pada nama itu lagi. Kalau mengingatnya hanya akan membuatku seperti di neraka.

Aku akan menyebutnya sebagai bintang. Ya, bintang. MAtahari itu sebenarnya juga sebuah bintang kan?

Waktu itu aku bertemu bintang ketika aku sedang memulung di stasiun kota. Saat itu Aku sedang istirahat di sebuah sudut sambil menghisap rokok kretek.

"Hei.." katanya sambil menatapku dengan pandangan aneh. Kenapa aku sebut aneh? Karena dalam fisik yang masih seperti anak umur belasan,tatapan matanya tampak dalam. Seperti orang dewasa.

"Hei....denger tidak? Apa kamu tidak mau memungut ini?" katanya sambil menunjuk gelas plastik kosong yang ada di depanku dengan besi panjang yang biasa digunakan untuk memulung. Di jakarta tidak sulit menemukan sampah, beribu-ribu orang melempar begitu saja sampah mereka di sembarang tempat.

"Ambil saja kalau mau," kataku sambil menghembuskan asap rokok melalui hidung.

"Sombong sekali," ujarnya sambil mengambil gelas plastik dengan besi pengait dan pergi.

"Apa urusanmu?" kataku tidak terlalu kencang. Bintang tidak bicara apa-apa dan pergi. Karung tempat sampah di punggungnya tampak penuh.

Beberapa hari kemudian aku berjumpa kembali dengannya di tempat pengepul barang bekas. Dia sudah selesai dan sudah menerima uangnya, sementara aku baru mau menimbang barang yang sudah kupungut. Mata kami sempat bersirobok ketika berdekatan, tapi itu tidak lama.

aku menyerahkan karungku pada pengepul. Kutengok ke belakang, punggung Bintang mulai menjauh.

"Uangnya besok saja, besok aku kembali lagi kesini," kataku pada tukang pengepul. Aku langsung lari mengejar Bintang.

Ketika sudah dekat dengannya aku langsung memperlambat langkahku. Tapi tetap saja dia menyadari kalau aku mengikutinya.

"Mau apa?" tanyanya sambil menghentikan langkah dan menatapku kembali dengan mata tajam.

"Kagak.." hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Kau mengikutiku,,, mau apa?"

"Tidak."

"Pulanglah ke tempatmu!"

"Ini jalan pulang ke tempat tinggalku."

"Bohong, bukankah kau biasa naik kereta terakhir ke Manggarai? Tempat tinggalmu disana,kan?"

"Kenapa kamu bisa tahu?"

"Aku pernah tidur di stasiun Manggarai juga sekali."

"Memangnya sekarang kau tinggal dimana?"

"Dekat stasiun kampung bandan."

"Hmm...... aku belum pernah kesana... mungkin malam ini aku akan coba kesana."

Sejenak Bintang tampak mengamatiku. Mukanya coreng moreng. Namun kecantikan yang misterius tampak terpancar disana.

"Kau...naksir padaku?"

Aku hanya tertawa. Malu juga ditanya seperti itu.

"Kau sudah kawin?"tanyaku.

"Belum."

"Kalau begitu..tidak apa-apa kan kalau aku naksir kamu?"

"Kau jelek, aku tidak suka," katanya. Kami mulai berjalan bersama di sepanjang jalan.

"Memangnya kau cantik?"

"Kalau tidak cantik, ibuku tidak mungkin menyuruhku menjadi pelacur."

"Memangnya ada ibu yang tega seperti itu?"

"Kau pikir tidak ada? Memang begitu kenyataannya."

"Apa dia benar ibu kandungmu?"

"Aku tidak tahu... untuk orang yang sejak lahir di jalanan.. Yang mana  ayah, dan yang mana ibu kandung memangnya bisa ketahuan?"

"hmm..Benar juga.. Aku pun tidak ingat..Ingatan pertamaku pun.. Aku merasa aku sudah hidup di jalanan." ujarku sambil melangkah pendek-pendek untuk menyesuaikan dengannya.

"Umurmu berapa?" tanya Bintang.

"Aku tidak tahu."

"Kenapa?"

"Tidak ada yang memberitahuku kapan aku lahir. Memangnya kamu tahu?"

"Aku juga tidak tahu.. Tapi kakak-kakak mahasiswa yang mengajarku membaca bilang kalau sepertinya aku masih berumur tujuh belas."

"Kalau begitu ...aku dua puluh saja," kataku.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa.. rasanya aku memang sudah hidup lama kok."

"Tapi wajahmu itu tidak seperti dua puluh tahun," katanya sambil tertawa.

"Enak saja..memang kelihatan umur berapa?"

"Tiga puluh lima..hahaha."

Untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku tertawa bersama seorang wanita.

Aku yang hanya seorang pria yang tidur di jalanan ini, ternyata bisa juga memperoleh kebahagiaan.

***

Semenjak itu aku sering tertawa. Aku tidak butuh waktu lama untuk menyukai Bintang. Aku mencintainya dan ingin dicintai olehnya juga.

"Mulai sekarang... jangan pulang ke kampung bandan lagi," kataku suatu sore di saat kami duduk bersama di pinggiran sungai kota tua.

"Kenapa?"

"Masih tidak jelas juga?"

"Bagaimana mungkin jelas kalau hanya seperti itu?"

"Aku ingin selalu bersamamu, sampai mati, bersama anak-anak kita."

"Kalau begitu kawini aku.. maksudku.. nikahi aku.."

"Untuk apa? Orang seperti kita yang hidup sebagai gelandangan ini tidak ada bedanya antara nikah dengan tidak nikah.. toh tidak ada bedanya. Kita juga tidak akan disertakan dalam pemilu kalaupun kita punya surat nikah.. Bagaimana mau punya surat nikah,, ktp aja nggak punya."ujarku.

"Paling tidak nikahi aku seperti wanita lain.. di depan penghulu.. Aku tidak mau jadi seperti binatang.. kawin dan punya anak sembarangan."

"Memang kamu belum pernah?"

"Kau pikir aku wanita macam apa?"

"bukankah ibumu pernah menyuruhmu jadi pelacur?"

"Aku tidak pernah melakukannya, semenjak ibu berkata seperti itu aku kabur dan hidup sendiri.." katanya. Matanya tampak menerawang. Tangannya memainkan besi pengait."Memangnya kamu sudah pernah?" tanya Bintang.

"Apa?"

"Itu..."

"Maksudnya itu tuh apa?"

"itu...laki-laki dan perempuan..begitu-begitu.."

"Maksudmu kawin? Seks? bersetubuh?"

Bintang tidak menjawab.

"Pernah beberapa kali...buat laki-laki.. itu hal yang sulit ditahan.."

"Aku tidak mengerti," kata Bintang.

"Tidak usah dimengerti.. Apa kamu masih ingin kunikahi setelah tahu aku pernah melakukan hal seperti itu?"

Bintang mengangguk.

***

tidak lama setelah sebulan semenjak perkenalan kami, aku pun menikahinya secara siri. Penjaga kamar mandi umumlah yang mengenalkanku pada pemuka agama yang dikenalnya. Aku menikah dengan mahar uang seratus ribu.

kami bahagia. Apalagi semenjak kehadiran anak kami, kami menjadi lebih bahagia. Tapi ada yang sedikit membuatnya sedih.. Anak kami lahir tidak normal. Matahariku, tuli..

Ya.. matahariku tidak bisa mendengar hingar bingar dunia.

"Kenapa...kenapa aku tidak bisa melahirkan anak gadis yang sempurna..Kenapa untuk makan saja begini susah.. kenapa aku harus dilahirkan menjadi aku yang sekarang ini??"

"Bisakah kamu tidak menyalahkan diri sendiri? Ini semua sudah kehendak Tuhan.."

"Andai aku tidak menikah denganmu...andai aku.." Bintang menangis. Aku juga menangis dalam hati. Aku tidak bisa memberi kebahagiaan padanya. Bahkan membuatnya menyesal.

Kemudian suatu malam. Bukan malam yang aneh. Malahan cuaca cerah dan menyenangkan, Bintang menghilang entah kemana.

Anakku pun, Matahari yang cantik itu.. tertabrak kereta ketika sedang bermain-main di pinggiran rel kereta.

Sempurna.. sempurna bukan???

***

Aku memesan tiga bungkus nasi goreng. Yang satu kumakan sendiri dan yang dua bungkus aku berikan pada anak-anak jalanan yang suka mengamen di bus.

Setelah kenyang aku menuju ke stasiun kota. Aku terus berjalan menyusuri rel kereta api hingga hampir mencapai stasiun jayakarta.

Malam itu pun masih seperti malam sebelumnya. Cerah.

DAri kejauhan terlihat lampu kereta yang cemerlang.

Mirip seperti mata Bintang yang cemerlang, dan mirip seperti senyum Matahari yang terang..

kutatap lampu kereta api. Beberapa ratus meter lagi mungkin kereta itu akan sampai ke tempatku.

Sebentar lagi mungkin aku akan menyusul Matahari ,, bahkan dengan cara yang sama..

Aku benci cerita yang berakhir menyedihkan,,, tapi dunia ini memang bukan hanya berisi hal yang menyenangkan,bukan??

Lampu makin terlihat terang. Aku bersiap melangkah ke tengah rel.

Kemarin dan hari ini tidak ada bedanya.

Tapi besok,, apabila ada berita tentang gelandangan yang tertabrak kereta..

mungkin itu aku..

Aku...

laki-laki yang tidur di jalanan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun