Musuh bebuyutannya kini adalah malam. Burung hantu dan lolongan serigala geram menghujam. Jarum langit menusuk dalam jiwa yang merajam. Mukanya suram, berusaha mengentas gundah kalbu terdalam.
Namun dia tetap melangkah tanpa goyah. Ratap dan pikirannya tertuju pada sebuah rumah. Tak peduli si penghuni ada atau entah. Matanya nanar, menatap gusar pada malam yang enggan berpendar. Disibaknya rerumputan liar, menggemakan kesumat yang mengakar. Amarahnya berkobar, batinnya berkoar pertanda sudah tak sabar menanti akhir yang terakbar.
Sesuatu yang berkilau masih digenggamnya. Dia biarkan kilaunya tetap ada. Mengerikan bila berbias cahaya. Tak luput ia acungkan serta tatkala ada mata melata dan menganga curiga terhadapnya. Jam dua. Masih saja ada yang terjaga. Persetan dengan mereka!
Dia tak pernah takut pada semua mantera yang telah diramut untuk membuat nyalinya lenyap dalam kabut. Malam bukanlah kawan. Bulan bukanlah teman. Karena keduanya tak pernah memberi dukungan. Jadi dia tak perlu sungkan membelah takdir yang telah digariskan.
Dia jadi teringat pada nasib yang tak membelanya. Kenapa pula lelaki itu merobeknya, merusak masa depannya. Memukuli Ibunya, menendang adik lelakinya yang baru delapan tahun menapak di dunia. Dia tak gentar, meski Ibunya pernah berkata bahwa lelaki itu telah menjadi ayah pengganti ayah yang dikenalnya sejak subuh merekah di awal dunianya yang indah.
"Ayah tiri?"
Dia bergumam sendiri. Bukan itu yang dia ingini. Lelaki itu harus diadili atas kelakuannya yang bejat tak berperi.
Dia mengibaratkannya setan, setelah dipaksa serahkan keperawanan. Padahal baru berumur belasan. Tak ada yang tahu. Bahkan juga Ibu. Dia pasti malu. Dadanya penuh amarah bersembilu. Dengan luka dan rajam di telinga bertalu-talu.
Kini, pada malam yang sunyi dia menanti saat yang tepat untuk mengakhiri. Tak peduli jika setelahnya harus terkurung dalam terali besi. Sungguh malam gelap sempurna. Gemericik air sepanjang tepi sungai melecutkan semangatnya. Makin menggebu dia.
Samar, terlihat dalam langkah yang tertahan. Rumah itu telah berada dalam jangkauan. Dilihatnya lelaki itu tertidur di bangku taman. Dia seolah menanti saat kematian. Apakah ini sebuah kebetulan?
Akh, gadis itu tak ambil peduli. Jantungnya mencengkeram setajam duri.
"Dia harus mati," ucapnya dalam hati.
Perlahan, dia mendekat. Langkahnya merapat menunggu saat yang tepat. Wajah terlelap itu kian terlihat. Sejenak diam dalam gelap, tetapi malang. Lelaki itu terhenyak terperanjat. Gadis berlesung pipit itu tak takut. Meski lelaki berwajah parut itu menatapnya dengan kebencian akut.
Tak ada sapa untuk memulai karena dia bukan lagi gadis yang gemulai. Segalanya telah sampai. Dia tak akan membiarkan lelaki itu sejenak berandai-andai.
Dia berharap malam ini tanpa Tuhan. Agar tak ada dosa Dia ganjarkan. Agar niatnya sempurna menggemakan rajam. Tatkala dia setan, segera acungkan belati berkilau dalam genggaman. Meski lemah, satu sabetan sanggup dia kebaskan. Lelaki itu pun terkapar tak karuan. Nyawanya dirampas dengan beringas.
Di semak liar dia terhempas, lunglai tersengal napas. Menertawai lelaki itu yang kini sekarat nyaris tewas.
Darah merambah, bercecer bersimbah, larutkan semua luka yang membuncah. Satu nyawa telah musnah. Dia tahu dosanya bertambah. Bahh! Pedulikah?
Ayahnya akan bangga. Meski Tuhan murka. Dia tetap berharap tak terima siksa. Belati dalam genggaman kini merah berkilau. Ditatapnya parau dengan mata silau. Sejenak kemudian dibuangnya ke tepian sungai yang dia jangkau. Dia pergi dengan langkah terseok dan pikiran yang kacau.
Gadis yang merapal mantera di pagi buta. Dengan bercak darah di telapak tangannya, dan raut kemenangan di wajahnya, mungkinkah ia?