Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Kebahagiaan Sisyphus

7 Februari 2015   22:51 Diperbarui: 4 April 2017   17:21 1026 1
Tahun 2013 yang lalu, tanggal 7 November tepatnya, seandainya masih hidup, Albert Camus mencapai usia seratus tahun. Lahir dari keluarga miskin, lagi yatim (ayahnya wafat dalam tugas wajib militer), tumbuh bersama penyakit tuberculosis yang kala itu belum ada obatnya, mengalami sendiri hiruk-pikuk Perang Dunia II, Perang Dingin, dan Perang Kemerdekaan Aljazair, lahirlah dari tangannya sejumlah esai, cerita pendek, dan novel yang membentangkan suatu peziarahan mencari makna hidup. Barangkali itu sebabnya, banyak orang muda menggemari sastrawan Prancis kelahiran Aljazair yang memenangkan Hadiah Nobel Sastra tahun 1957 itu.

Di antara karya-karyanya, Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisyphus, 1947) pantas mendapat tempat khusus. Buku itu bagaikan pintu gerbang: tanpanya, kita tak mungkin memahami Camus. Ditulis pada masa pendudukan Jerman (Nazi) atas Prancis, Mitos Sisyphus sarat dengan renungan-renungan tentang sisi-sisi kehidupan yang tragis. Goresan paragraf-paragraf awalnya tak terlupakan: “Hanya ada satu masalah filosofis yang serius benar-benar, yakni bunuh diri. Menilai apakah hidup layak dijalani atau tidak sama dengan menjawab pertanyaan mendasar filsafat. Sisanya ... belakangan” (Il n’y a qu’un problème philosophique vraiment sérieux: c’est le suicide. Juger que la vie vaut ou ne vaut pas la peine d’être vécue, c’est répondre à la question fondamentale de la philosophie. Le reste ... vient ensuite).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun