Cahaya bulan menerobos genteng rumah. Bayangnya memantul di tatakan
kandelar perak. Ayah biasa duduk bertelut di dekat situ, di sebelah lilin yang menyala, khusuk dan khidmat. Kedua tangannya mengatup rapat, dengan ujung jari menunjuk ke atas. Sebuah patung wanita, dengan tinggi tidak lebih dari satu kilan, persis di hadapan ayah seolah memperhatikan polah tingkahnya dengan senyum. Tentu saja, ayah tak pernah tahu akan hal itu.Â
KEMBALI KE ARTIKEL