Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Makelar Politik (Bagian Keempat)

11 Januari 2010   12:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:31 74 0

Sebagian makelar politik yang saya kenal memanfaatkan momentum Pemilu 2009, dengan mengadu nasib menjadi calon legislatif (caleg). Bagi mereka, ini adalah upaya untuk naik kasta, dan sekaligus upaya untuk memperbesar kemungkinan mendapatkan proyek politik yang lebih besar. Mereka sebagaimana para pemacing ikan yang berfilosofi: kalau ikan besar yang ingin kita dapat, maka umpannya pun harus semakin besar. Menjadi anggota legislatif dianggapnya umpan besar.

Dengan sekuat tenaga, mereka merapat ke berbagai partai. Sebagian gagal, sebagian berhasil. Yang gagal, segera membuat gerakan politik untuk menghadang pemilu. Yang berhasil segera memasuki pusaran kesibukan untuk mengumpulkan uang, membiayai kampanye dan kunjungan-kunjungan ke daerah pemilihan (dapil).

Tetapi tidak semua yang menjadi caleg, bertujuan duduk di kursi parlemen. Sebab mereka mempunyai ruang yang terbuka semakin lebar untuk mendapatkan uang, dan uang itu belum tentu dipakai untuk biaya kampanye dan tetek-bengek merebut suara. Bagi para makelar jenis ini, mendapatkan uang yang diikrarkannya untuk membiayai kampanye, dialihkan ke kantong pribadi. Menjadi anggota legislatif bukan tujuan utama, tetapi akes mendapatkan banyak uang, itulah yang menjadi agenda paling penting mereka.

Tetapi ada pula makelar politik yang saya kenal tidak mau masuk ke bursa caleg. Alasannya beragam. Ada yang berargumen, dengan menjadi caleg justru ruang gerak makelar politik mereka terbatas. Ada pula yang memberi alasan dengan tidak menjadi caleg, maka mereka bisa mendapatkan uang dari berbagai pihak.

Tetapi setiap pemilu adalah momentum emas bagi para caleg. Di saat-saat seperti itulah, seluruh energi dan kreativitas mereka ada pada titik tertinggi.

Dengan pengalaman yang saya paparkan di atas, sejak jauh hari ketika kaum muda dipromosikan oleh berbagai pihak, saya berada di kubu pesimistis. Siapa bilang orang muda tidak lebih korup dibanding yang lebih tua? Siapa yang bisa menjamin jika kursi-kursi parlemen dipenuhi oleh orang-orang muda maka kondisi bangsa kita lebih baik? Apalagi jika kelak yang duduk di sana adalah para anak muda yang mempunyai rekaman panjang dalam dunia makelar politik. Kalau kemarin mereka jual diri mereka sendiri, teman-teman mereka sendiri, siapa yang bisa memberikan jaminan jika kelak mereka berada di kursi parlemen tidak akan menjual bangsa ini?

Untuk ikut dalam proses pemilu, mereka butuh biaya banyak. Dari mana biaya itu mereka dapat? Tentu dari hasil makelar politik. Tempel sana tempel sini, membuat kesepakatan di mana-mana, dan tidak ada makan siang gratis di bumi ini, bukan?

Saya tentu saja tidak gebyah uyah padha asine, menganggap semua caleg muda seperti itu. Tulisan ini, menyoroti pada para makelar politik yang saya kenal, yang mencoba bertarung di pemilu, dan yang mencoba tidak masuk gelanggang pemilu. Keduanya sama saja: melulu pertimbangan keuntungan finansial.

Peta semakin rumit ketika muncul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyetujui suara terbanyak. Bagi para makelar yang percaya diri karena nomor di atas, kembali kelimpungan. Sebaliknya, yang mendapatkan nomor buntut, kepercayaan diri mereka terpompa, harapan mulai meletup lagi. Lepas dari kontroversi soal putusan MK, para caleg akan semakin membutuhkan uang banyak, termasuk para caleg yang meniti karir sebagai makelar politik.

Sedangkan yang memilih untuk tidak mencari keuntungan di momentum pemilu, dan juga mereka yang gagal masuk bursa caleg, konsentrasi proyek mereka beralih ke persoalan penggagalan pemilu. Mereka akan bersatu dengan para elit-elit politik yang tersingkir dari proses demokrasi liberal. Tiap saat, yang dibahas adalah bagaimana pemilu gagal. Hal ini, nyaris tidak masuk akal. Tetapi dunia makelar politik tidak menyoal masuk akal atau tidak, melainkan tertuju pada kemungkinan mendapatkan uang dari sana.

Ada yang setiap hari menyebarkan pesan pendek ke banyak orang soal mengapa pemilu harus digagalkan. Ada pula yang berusaha membelejeti para caleg dan juga kinerja anggota legislatif terdahulu untuk mendeligitimasi proses pemilu. Pendek kata, kalau kotoran sapi bisa jadi alasan, mereka akan angkut itu kotoran menjadi bahan agar pemilu gagal.

Di saat seperti itulah, pertempuran para makelar politik muda semakin mengeras. Gosip panas menggelinding ke mana-mana. Provokasi disebar di berbagai tempat. Mereka sadar betul bahwa pemilu bukan hanya sekedar momentum untuk mengocok oligarki, tetapi juga peredaran uang yang nyaris tanpa batas. Apalagi pemilu nasional diikuti oleh pemilu capres-cawapres, itu artinya, waktu untuk bermain begitu panjang.

Kail dan jala politik disebar, kalau perlu pukat harimau dipasang. Program-program disusun, rapat-rapat diintensifkan. Dari mulai rapat kelas bir dan kopi di warung murahan sampai rapat kelas anggur yang mahal. Setiap peristiwa politik kecil maupun besar, menjadi basis analisa, terutama tentu saja yang laku adalah analisa konspirasi.

Jika seorang pejabat mengumumkan soal kelangkaan gas dan minyak tanah akan segera diselesaikan, tetapi pada kenyataannya tidak dapat diselesaikan, analisa konspirasi bergentanyangan. Mereka membangun imajinasi tentang kelompok-kelompok siluman yang mulai bermain. Ketika premium langka di ibukota seusai tahun baru kemarin, mereka dengan bangga dan puas mengatakan bahwa tangan-tangan siluman telah bekerja. Rasionalitas tidak penting bagi makelar politik. Rasionalitas tidak bisa dijual, hanya gosip yang laku.

Saat mahasiswa melakukan demonstrasi, pikiran para makelar politik selalu tertuju pada tokoh siapa di belakang itu yang menggerakkan mahasiswa. Seakan-akan mahasiswa itu sekelompok bodoh manusia, yang bisa dimanfaatkan begitu saja, dan seakan mereka tidak punya kekuatan dan pikiran yang independen.

Bahkan, tidak jarang banyak makelar politik yang datang ke para dukun dan tokoh yang mengklaim sebagai ahli spiritual. Apapun yang dikatakan oleh para dukun dan spiritualis gadungan, dianggap sebagai sabda yang layak dipercayai.

Politik di saat seperti itu, sudah bukan hanya berdasarkan gosip, analisa serampangan, pikiran konspiratif, tetapi juga disentuh oleh magisme. Jadi jangan heran kalau dupa dan kembang tujuh warna akan laku keras, selain cek dan uang tunai.

Puthut EA

3 Januari 2009

Terimakasih Mas Puthut, telah mengizinkan saya untuk menyebarluaskan bagian dari bukunya yang menggemaskan.

AYP

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun