Kalau ditelaah lebih luas, kisah "PEMBERIAN" ini pada hakikatnya merupakan suatu lingkaran setan yang saling mengaitkan banyak pihak!
Rakyat, sebagai pemilik suara terbesar, saat ini sudah semakin pintar dalam memanfaatkan suara sebagai suatu komoditas ekonomis yang mempunyai nilai jual tinggi. Sebagaimana prinsip "terima saja duitnya, urusan coblos urusan pribadi" benar-benar dimaksimalkan untuk bisa memberi keuntungan ekonomi maksimal. Tidak hanya saat momentum Pemilu hal ini terjadi, pasca Pemilu pun banyak rakyat yang menuntut lebih karena sudah "membantu nyata".
Perilaku dasar ini pun tetap ada ketika menjadi suatu organisasi. Dengan bekal klaim anggota yang banyak, menjadikan alat tawar untuk "diberi jatah lebih". Tak heran, begitu banyak proposal menumpuk, baik tertulis maupun terucap.
Tentu hal ini menuntut para pejabat, baik struktural atau politik, mengalokasikan sesuatu, entah hanya berupa pemikiran atau anggaran khusus. Jika hal itu tidak direspon positif, tidak heran stereotip "PELIT" akan melekat.
Dari sinilah kemudian karena adanya tuntutan lebih ini, memaksa pejabat mencari "solusi alternatif" sehingga memunculkan opsi "meminta bantuan" perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar. Tentu tidak mudah menembus permintaan itu ketika para perusahaan tidak punya kepentingan berarti. Inilah sebagaimana perilaku rakyat sederhana, mencoba menukarnya dengan iming-iming "kemudahan urusan".
Bagi perusahaan, adanya "kemudahan urusan" ini dianggap sebagai solusi alternatif praktis menghindari panjangnya proses birokrasi administratif yang terkadang dianggap bukan sesuatu yang profitable. Tak heran pos akuntansi hal ini masuk sebagai "biaya entertainment".
Karena adanya tambahan pos biaya lain itu, memaksa perusahaan harus menutupnya dari pendapatan. Bisa banyak opsi untuk itu, yang mungkin salah satunya adalah mengharapkan pembayaran upah pekerja seminimal mungkin, sebagaimana komplain atas pentapan UMP terbaru.
Inilah lingkaran setan yang akan terus terjadi sebagai sebuah sistem kehidupan nyata.
Lalu, apa solusi nyatanya? Pada akhirnya solusinya adalah jujur pada diri masing-masing. Ketika memang berlebihan dan mampu memberi, maka berikanlah. Namun, ketika memang tidak ada alokasinya, tidak memaksa dan bersedia menerima dengan lapang dada.
Naif? Tapi mungkin ada pembaca Kompasiana yang bisa memberi solusi lain?