Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Artikel Utama

Baksos: Dari Pidada ke Sungai Segala Ada

22 Maret 2010   09:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16 169 0
Seperti telah diinformasikan sebelumnya, bahwa sabtu tanggal 13 Maret 2010 lalu para kompasioner telah mendatangi kawasan suaka margasatwa Muara Angke ( SMMA ) dalam rangka baksos. Berikut sepenggal catatan versi saya mengenai aksi kami pada saat itu. 1. Tak ada loket ( ? ) [caption id="attachment_99698" align="alignright" width="300" caption="Plang SMMA ( dok. Firman Seponanda )"][/caption] Ketika memasuki area SMMA, saya keheranan. Tadinya saya pikir ruang tempat saya masuk sebelum memasuki area SMMA adalah tempat penjualan tiket. Ternyata ruang itu kosong dan hanya diisi oleh gambar-gambar satwa serta sebatang pohon. Bila tak ada loket lalu bagaimana caranya masuk ? Gratiskah? Ternyata untuk dapat masuk ke SMMA, kita harus mengurus ijin dulu ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA ) DKI Jakarta di Jalan Salemba Raya ( info wikipedia ). Setelah surat ijin ditangan dan kita telah melakukan pembayaran sesuai tarif yang berlaku maka kita baru bisa memasuki area SMMA. Menurut saya, semestinya tata cara perijinan ini dibuat dengan lebih sederhana dan praktis. Karena sedikit yang tahu mengenai info perijinan ini. Kasihan sekali orang-orang yang sudah tiba disana tetapi ternyata tidak boleh masuk karena tak memegang surat ijin. Mengenai pengurusan ijin inipun tak di diinfokan secara tertulis di SMMA. Mungkin ke depannya bisa disediakan loket seperti layaknya tempat wisata yang lain. 2. Bakau [caption id="attachment_99739" align="alignright" width="300" caption="tanam bakau ( dok. Syam )"][/caption] Saya tak pernah melihat bakau sebelumnya. Karena di lingkungan saya hanya ada tembok dan tembok saja. Kalau mau melihat hijau hijauan ya ke taman yang ada. Itupun bukan bakau. Jadi menginjakkan kaki ke SMMA mata saya langsung jelalatan melihat bakau. Untuk ini saya diam saja, kalau teman yang lain tahu pasti saya dianggap ndeso... hehehehe. Kawasan SMMA teduh luar biasa. Apalagi berjalan diatas jembatan kayu melewati pepohonan membuat saya tak sadar bahwa ini masih di Jakarta. Bakau adalah tanaman yang kuat untuk menghalangi kerasnya ombak yang bisa membuat pantai menjadi abrasi. Seandainya semua pantai di negara kita di tanami bakau, tak ada kekhawatiran bahwa pantai akan terjadi abrasi. Perjalanan kami akhirnya sampai pada sisi laut lepas. Indah sekali. Dan panas juga membuat saya sadar lagi bahwa ini masih di Jakarta.  Sayangnya acara menanam bakau tak bisa saya ikuti, sehingga saya tak punya kesempatan memegang pohon bakau. Kondisi kaki setelah bebek saya demo membuat saya mengurungkan niat bersama sama nyebur lumpur menancapkan bakau. Saya yakin teman-teman kompasioner tak lupa menancapkan bakau saya. 3. Buah Pidada [caption id="attachment_99703" align="alignright" width="230" caption="pidada ( dok. wikipedia )"][/caption] Sambil berjalan di jembatan kayu di area SMMA, saya mendapati buah aneh yang jatuh di jembatan. Buah itu seperti terong yang biasa dimakan untuk lalap. Saya baru melihat buah semacam ini. Rasa penasaran saya terjawab kemudian. Buah itu namanya buah pidada. Buah ini berasal dari salah satu jenis bakau yang ada di area SMMA. Di inggris disebut sebagai Mangrove Apple. Buah pidada bisa dimakan. Di kawasan pesisir buah ini biasa digunakan orang sebagai bahan pembuatan dodol dan campuran rujak. Di SMMA sendiri, monyet penghuni SMMA suka buah pidada, tadinya. Cuma seiring pemberian makanan oleh manusia kepada monyet dan juga tingkat pencemaran yang tinggi di area SMMA membuat monyet tak lagi menyukainya. Jadi kita disarankan untuk tidak memakan buah pidada disitu. Jadi jangan makan yang monyet tidak suka. Padahal belum tentu manusia tidak suka apa yang monyet tidak suka ( ? ). 4. Burung [caption id="attachment_99720" align="alignright" width="300" caption="Bubut jawa (ilustrasi google)"][/caption] Selama ini burung yang sering saya lihat hanyalah burung gereja. Tapi di SMMA saya melihat beberapa burung yang jarang saya temui. Diantaranya burung kuntul. Sayang disini saya tak melihat burung bubut jawa. Saya penasaran dengan burung ini, karena burung ini hampir punah. Di SMMA sendiri burung bubut jawa tak lebih dari 6 ekor jumlahnya. Burung bubut jawa adalah burung yang hanya ada di pulau jawa. Nah, bila di pulau jawa sendiri keberadaannya nyaris punah, maka bersiaplah kita melihat burung ini hanya dalam gambar semata. Pemerintah harusnya segera turun tangan untuk melestarikan keberadaannya. Burung bubut jawa termasuk burung yang sensitif. Bila melihat manusia dia akan pergi. Dan bila tempatnya bising dia juga akan pergi. Jadi memang agak susah untuk melihatnya. 5. Pemukiman kumuh [caption id="attachment_99699" align="alignright" width="300" caption="rumah nelayan (dok. Firman Seponanda)"][/caption] Kondisi di SMMA yang teduh berbanding terbalik dengan kehidupan di sepanjang kali. Penuh dengan rumah-rumah nelayan yang kumuh. Melihat kondisi itu membuat saya sangat bersyukur tinggal di rumah yang terbilang nyaman. Kondisi nelayan itu terbuat dari papan yang sangat memprihatinkan. Bila ada gelombang pasang dari laut yang mengamuk, maka rumah mereka akan tersapu dengan mudah. Lalu habislah harta mereka satu-satunya. Di depan rumah-rumah itu terparkir perahu milik para nelayan yang biasa dipakai mencari ikan di laut. Kondisi perahunya juga tak kalah kumuh. Kehidupan Jakarta yang tak ramah bagi sebagian besar kita membuat hidup kadang tak ada pilihan. Ikut irama kerasnya jakarta atau hilang tersapu gelombang. Kehidupan keras macam itu sering membuat para nelayan menjadi kreatif dengan pendapatan mereka. Kreatif disini dalam hal yang negatif. Kecurangan dalam mengolah ikan salah satunya. Hati-hati bila membeli ikan atau kerang hasil laut ya. Salah-salah ikan dan kerang adalah buah kreativitas nelayan yang bisa membuat kita masuk rumah sakit sebagai pasien. 6. Sungai seperti kopi [caption id="attachment_99722" align="alignright" width="300" caption="pulau sampah (dok. Ike Mayasari)"][/caption] Adalah hal yang biasa melihat kondisi sungai di Jakarta memprihatinkan. Warnanya tak bening, tetapi coklat seperti kopi yang biasa saya minum. Selain itu sampah mengambang di atasnya. Orang-orang yang hidup di jakarta kebanyakan memang maunya serba praktis saja. Pun berlaku soal sampah. Tinggal lempar ke selokan atau ke kali. Akibatnya sungai di jakarta warnanya coklat dan menumpuk sampah diatasnya. Salah satunya sungai angke yang kami susuri siang itu. Di penghujung kali yang bermuara ke laut, saya lihat tumpukan sampah yang membentuk pulau kecil. Penghargaan saya sampaikan kepada relawan Jakarta Green Monster yang secara teratur membersihkan wilayah SMMA dari sampah. Katanya mereka sering menemukan kulkas atau kasur disitu. Bisa bayangkan separah apa sampah disini ? Dari atas boat yang membawa saya dan teman-teman saya sempat melihat bangkai ayam mengambang, ngeri membayangkan bila ada mayat manusia segala disitu. Mungkinkah? mungkin saja.... sebab tanah pekuburan di Jakarta mahal sekali harganya sekarang ini. 7. Narsis Di semua tempat yang indah selalu tak bisa dipisah dari sifat manusia yang disebut narsis. Di sela sela saya berjalan menyusuri jembatan, ada beberapa kali saya bertemu dengan sekumpulan orang yang sedang berfoto ria. Bukan sembarang klik klik saja. Orang-orang ini membawa perlengkapan lengkap dengan foto modelnya segala. Area SMMA memang terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi semoga orang yang berfoto ria itu tak sekedar mengabadikan keindahan tempatnya saja, tapi juga mengetahui tentang apa itu SMMA. [caption id="attachment_99794" align="aligncenter" width="300" caption="Harus narsis ( dok. Syam )"][/caption] Sekian dulu catatan saya ya. Tak usah protes kenapa catatannya cuma sedikit, kan diatas tadi saya bilang "sepenggal" hehehehe. Masih banyak yang ingin saya sampaikan sebenarnya, tapi nanti ya....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun