Dari Kamp Kara Tepe, kami ke Kamp Moria. Ini kamp yang dihuni pengungsi dari berbagai negara, antara lain dari Afghanistan, Bangladesh (di sini mayoritas), Eritrea, dan lainnya. Nampak kurang rapi pengelolaannya. Kami tiba di Moria saat hari mulai gelap. Berbeda sekali dengan kamp Kara Tepe yang berdiri di tepi jalan, Moria letaknya lebih ke dalam, menjauh dari jalan utama. Keriuhan kamp mengundang aktivitas ekonomi di dekat kamp. Sejumlah pedagang dari Rumania berdagang di Kamp ini. Di kamp ini pula Perdana Menteri Yunani terpilih, baru saja berkunjung. Sama saja dengan persiapan seremoni pejabat di Indonesia, di beberapa sudut kamp nampak lebih bersih dari sebelumnya, dan ada beberapa fasilitas sengaja disiapkan menjelang kunjungan sang pejabat.
Masuk kamp yang juga harus melewati pos penjagaan, kami lolos berkat Kevin yang sudah biasa keliling kamp. Di sini, saya berhadapan dengan kejutan yang lebih besar: sekelompok polisi lengkap dengan senapan gas. Masalahnya bukan pada kami, tapi karena pengungsi susah diatur. Petugasnya memang siaga 24 jam, namun kali ini pengungsi yang ingin melakukan registrasi, jumlahnya lebih besar dan para petugas juga sudah keletihan berjaga.
Polisi anti huru-hara sudh bersiap dengan tameng dan senapannya. Saya ‘terselip’ di tengah kerumunan pengungsi yang memang enggan mengantri. Salah seorang polisi mendatangi Kevin, minta dokter ini mengatakan kepada para pengungsi untuk tertib mengantri dan membuat dua baris antrian.
“Jika mereka tidak bisa diatur, kami terpaksa akan menembakkan senjata kami, seperti beberapa waktu lalu,” kata polisi itu. Mendengar itu, saya ngeri membayangkan di antara pengungsi, ada perempuan menggendong bayi, sejumlah anak berwajah letih ikut berdiri entah sudah berapa lamanya. Keletihan mereka, juga petugas yang berjaga, membuat suasana jadi menegangkan. Kevin meresponnya dan berupaya membantu mengatur pengungsi. Dalam situasi tertentu, identitas tenaga medis bisa lebih didengar dibanding petugas keamanan. Seperti kejadian di Moria hari itu.
Kamp Moria, menyedihkan. Tak tersedia cukup tenda untuk menampung para pengungsi. Mereka sebagian tidur di luar tenda atau di jalanan. Tanpa selimut bahkan tanpa alas. Sangat tak manusiawi terutama kalau yang mengalaminya para ibu dengan bayinya, dan anak-anak. Di Mytilini ini banyak NGO yang hadir. Bayangan saya, mereka datang dengan kekuatan pendanaan sehingga bisa berbuat sesuatu meringankan beban pengungsi. Nyata, tidak terlihat banyak aktivitas sosial di pengungsian, kecuali kehadiran mereka menambah ramai kamp saja.
Melihat fneomena ‘multi-brands’ lembaga sosial di kamp, mengingatkan saya saat kamp warga Padang menghadapi bencana gempa. Saat itu, tahun 2009, di Padang saya menyaksikan banyak NGO asing tapi kami sebagai korban tak merasakan bantuan apapun dari mereka, kecuali melihat mereka sibuk lalu-lalang, memotret dan melakukan rapat-rapat dengan dalih koordinasi. Nyatanya, antarmereka masih kerap terjadi miskoordinasi, gap informasi seputar bantuan yang harus mereka salurkan.
Sekilas saya saksikan, kondisi di dua kamp yang saya kunjungi pengungsi kurang air, makanan dan selimut. Selain itu, mobil ambulans tak kalah urgent agar pekerja kemanusiaan setiap saat siaga membawa pasien yang memerlukan layanan lebih dari sekadar layanan dasar di kamp. Pulau Lesvos memang tidak siap menghadapi kondisi darurat masif seperti saat ini. Di pulau ini hanya ada tiga ambulans!
“Kondisi pengungsi di sini, amat memilukan,” ujar dokter Kevin. Saya sangat sependapat. Untuk bisa melakukan aktivitas sosial, saya harus intens melapor dan sering-sering jumpa petugas di Kamp. Apalagi hampir semua bantuan, akan datang dalam paket besar dan memerlukan dukungan tenaga membawa masuk, mengamankan proses pelayanannya dan akhirnya menjamin bantuan yang mungkin tidak bisa menjangkau seluruh pengungsi, diterima sesuai skala prioritas.
Sehari sebelumnya, saya bisa menyaksikan sejumlah pengungsi tergeletak kesakitan, berdarah, ada yang patah tulang setelah berebut untuk bisa teregistrasi. Perjuangan mendaftarkan diri saja ditempuh dengan memanjat pagar berduri, di tengah beratus-ratus orang berkepentingan sama. Kondisi kamps, fluktuatif. Kadang amat riuh, pengungsi susah diatur, berebut bisa didaftarkan untuk segera dipindahkan ke ‘negara tujuan’. Kadang lengang, karena sejumlah besar pengungsi yang sudah terdaftar, sudah naik kapal – entah dipindah ke mana.
Semua, kontras dengan pengalaman saya di Aceh, di mana warga desa nelayan sigap menyambut, bahkan menjemput pengungsi Rohingya laksana menyambut saudara yang telah lama tak bersua. Lalu pemerintah lokal, khususnya kabupaten Aceh Utara, menyediakan lahan mengizinkan NGO mendirikan hunian sementara tapi layak huni, ada taman, rumah ibadah, klinik dan area bermain anak-anak. Kontras, benar-benar kontras. Di sini, pengungsi sekadar ditampung, didaftar dan secepatnya digeser entah kemana!
Saya juga perlu melakukan layanan spesial di Kati, satu tempat di Kamp Moria ini yang hanya menampung anak-anak tanpa orangtua. Bagi kita yang menghayati makna kehadiran orangtua, tentu bergetar melihat anak-anak pengungsi ini. Dalam usia belia, tak sangup mendiamkan mereka, keceriaan masa kanak-kanak direnggut keadaan seburuk ini. Nuraniku bicara,”Adik-adikku, dunia tak buta akan deritamu hari ini. Sabar ya.”