Menurut hemat saya, sejatinya saat ini perdebatan mengenai theologi siapa dan kepercayaan siapa yang akan membawa jalan keselamatan di akhirata kelang telah usang untuk dibicarakan dan diperdebatkan, apalagi dibumbui dengan teror-teror terhadap Liyan. Ditengah kondisi rakyat yang saat ini sedang dilanda kelaparan di mana-mana dan tidak terpenuhinya hak-hak dasar mereka, seharusnya yang menjadi perhatian kita bersama adalah bagaimana agama dapat berperan dan memberi jalan bagi pemenuhan hak-hak dasar mereka, sebab hampir mustahil menjalankan ibadah dengan tenang ditengah deraan rasa lapar yang sangat.
Dalam konteks ini, akan tampak bahwa sebenarnya secara garis besar theologi terbelah dalam dua kelompok yang saling berlawanan. Pertama, theologi akomodatif,dan kedua adalah theologi progresif.
Sementara theologi akomodatif berfokus pada pada masalah domestik perpindahan agama dan keselamatan pribadi, sembari mengabaikan dan menyangkal bahwa strultur sosio-ekonomi ikut andil dalam membentuk nilai-nilai pribadi. Implikasinya, theologi yang bercorak seperti ini cenderung ikut memberi jalan dan melanggengkan status quo, dengan rasisme, kapitalisme, dan totalirianisme. Ia memberkahi ketidakadilan, mendukung kehendak penguasa dan mereduksi kemelaratan menjadi kepasifan, kepatuhan, dan apatisme.
Berbeda dengan theologi akomodatif, theologi progresif lebih menekankan pada usaha praksis bagi terwujudnya keadilan yang komrehensif. Refleksi theologis yang muncul darinya adalah persamaan dan kesatuan umat-Nya. Theologi progresif terwujud dalam diri sejumlah tokoh agama dan organisasi keagamaan yang merasa berdosa bila berdiam diri di hadapan penindasan, mengangguk di pdepan wajah eksploitasi, serta memamerkan kekuasaan di depan orang yang lemah dan tak berdaya. Mereka berusaha menghayati kebertuhanannya dengan memepersepsi Tuhan yang aktif dalam sejarah, yang menghendaki kemerdekaan bagi semua orang dan perubahan yang simultan pada jiwa dan struktur sosial yang berkeadilan di sekitrnya. Sosok Tuhan yang ke-Esaan-Nya terpantul pada kesetaraan dan kesatuan umat-Nya.
Ada sebuah tuliasan menarik yang terpampang di depan sebuah gereja di Offenbach, sebuah daerah pinggiran Frankfurt.
“Pizza yang kau makan berasal dari Italia, sistem bilangan yang kau pakai berasal dari Arab, huruf yang kau gunakan berasal dari Roma, mainan yang kau miliki berasal dari Hong Kong, perangkat elektronikmu berasal dari Jepang, bajumu dari Taiwan, kekayaanmu adalah hasil dari perdaganganmu dengan yang lainnya. Jadi, apakah kemudian engaku masih juga berteriak, “Keluar kau, wahai orang asing!”.
Sebuah papan yang berisi tulisan;
“Wenehono teken marang wong kang wuto.
Wenehono pangan marang wong kang luwe.
wenehono sandang marang wong kang mudho.”
juga terpampang dengan jelas di atas pusara makam Sunan Drajad di Lamongan.
Sekarang, masihkah kita egois dengan ingin mengangkangi surga sendirian?.