Telah terbentuk sikap antipati pada kata tidak lulus. Kata tidak lulus sedapat mungkin dihindari, seakan kata tersebut merupakan kunci atas putusnya harapan, seakan-akan kata tidak lulus berasosiasi dengan sebuah penderitaan. Amatilah reaksi ketika seseorang dinyatakan tidak lulus. Betapa depresi dan marahnya siswa maupun orang murid ketika mendapatkan hasil tidak lulus ujian. Bahkan ketidaklulusan guru-guru dari sertifikasi guru 2011 telah menimbulkan polemik tersendiri, media mencatat berbagai usaha yang dilakukan guru-guru tersebut untuk menabrak dan mengubah aturan demi memuluskan usahanya mengeliminasi hasil tidak lulus yang diperolehnya menjadi lulus.
Tidak lulus memang seakan suatu momok bagi masyarakat kita, sebaliknya kata lulus lebih dipuja-puja. Entah kewenangan ada di tangan negara maupun sekolah, tetap saja sekolah berlomba-lomba meluluskan sebanyak mungkin. Lihat saja betapa luar biasanya siswa-siswa Indonesia dalam persentase kelulusan yang secara nasional lebih dari 90%. Bahkan tanpa terduga beberapa daerah mencatatkan prestasi luar biasa, 100% lulus. Rata-rata nilai siswa dalam ujian nasional tinggi, demikian pula rata-rata nilai siswa yang diberikan sekolah. Anda akan takjub dengan bertebarannya nilai dalam rentang 8 - 10 dalam tabel nilai sekolah yang dikirim ke dinas pendidikan untuk menghitung nilai akhir.
Dengan tingginya angka kelulusan, apakah hal tersebut bermakna bahwa kualitas lulusan sangat tinggi? Dengan tingginya perolehan nilai harian siswa, apakah hal tersebut menunjukkan bahwa mutu pendidikan sudah sangat baik? Suatu pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban karena kita semua sudah tahu jawabannya.