Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial Pilihan

Tantangan Kelas Menengah: Di Tengah Dua Generasi, Terjebak Dilema

21 September 2024   05:59 Diperbarui: 21 September 2024   08:34 110 7
Generasi sandwich---sebutan yang tepat untuk mereka yang terjepit antara dua kutub kehidupan: orang tua yang menua dan anak-anak yang masih membutuhkan perhatian. Namun, apakah itu saja tantangan yang mereka hadapi? Ternyata tidak sesederhana itu. Beban mereka melampaui sekadar memikirkan biaya pendidikan anak atau perawatan orang tua. Mari kita selami lebih dalam---apakah ada cara untuk keluar dari jeratan ini tanpa terluka terlalu parah?

Jika kita kaitkan dengan realitas kelas menengah di Indonesia, banyak yang melihat kelompok ini sebagai golongan yang "cukup." Namun, kenyataannya, mereka sering terjebak dalam berbagai paradoks. Pendapatan mereka mungkin lebih tinggi dari kelas bawah, tetapi tekanan untuk menjaga standar hidup, seperti cicilan rumah, pendidikan anak, dan memenuhi ekspektasi sosial, menempatkan mereka dalam "gelembung ilusi kemapanan."

Generasi sandwich lahir dari tekanan yang dialami kelas menengah ini. Mereka menjadi tulang punggung keluarga, memikul tanggung jawab tidak hanya untuk kehidupan pribadi tetapi juga bagi generasi di atas dan di bawah mereka. Orang tua mereka membutuhkan perhatian ekstra seiring bertambahnya usia, sementara di sisi lain, anak-anak mereka juga memerlukan dukungan, terutama dalam pendidikan, semuanya dalam situasi keuangan yang kerap rapuh.

Tantangan yang mereka hadapi tidak hanya satu, melainkan dua sekaligus: orang tua yang semakin bergantung dan anak-anak yang belum mandiri. Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 2022, sebanyak 67% responden merasa terjebak dalam posisi ini, yang setara dengan sekitar 56 juta orang Indonesia. Ini menunjukkan bahwa fenomena ini bukan masalah individu semata, melainkan gejala sosial yang lebih luas.

Dari sisi finansial, penghasilan generasi ini terbagi ke berbagai kebutuhan. Pendapatan yang seharusnya bisa digunakan untuk menabung atau berinvestasi malah terkuras untuk kebutuhan sehari-hari, cicilan rumah, pendidikan anak, hingga biaya perawatan orang tua. Banyak yang akhirnya harus mengambil jalan pintas---seperti menjual aset atau berutang---untuk memenuhi semua tanggung jawab tersebut, sambil tetap berusaha terlihat "mapan" di mata masyarakat. Padahal, kenyataannya, posisi finansial mereka jauh lebih rapuh daripada yang terlihat.

Dampak dari situasi ini tidak hanya terasa di aspek keuangan, tetapi juga kesehatan mental. Sebuah survei lain menunjukkan bahwa 39,13% responden merasa tekanan sebagai generasi sandwich mempengaruhi kondisi mental mereka, dan 19,89% di antaranya mengakui dampaknya sangat besar. Tekanan ini bukan hanya tentang angka, tetapi juga bagaimana mereka menghadapi realitas hidup yang terus menghimpit, tanpa jalan keluar yang jelas.

Jika keuangan adalah satu sisi koin, tekanan emosional adalah sisi lainnya. Generasi ini bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga penopang emosi bagi dua generasi lainnya. Mereka harus mendukung orang tua yang kondisinya menurun, sementara juga menjadi pembimbing bagi anak-anak yang sangat membutuhkan perhatian. Di tengah semua itu, mereka kerap merasa terjebak, terus memberi tanpa banyak mendapatkan dukungan.

Komunikasi dalam keluarga sering kali menjadi tegang. Orang tua mungkin enggan menerima bantuan karena tidak ingin dianggap sebagai beban, sementara anak-anak, terutama di masa remaja, bisa sangat menuntut tanpa memahami kondisi sebenarnya. Hal ini menyebabkan komunikasi dalam keluarga terganggu. Alih-alih membicarakan masalahnya, banyak dari generasi sandwich memilih diam, merasa bahwa tanggung jawab ini harus mereka pikul sendiri.

Ironisnya, kondisi ini sangat akrab bagi kelas menengah Indonesia. Mereka tumbuh dalam budaya yang mengutamakan harmoni keluarga, meskipun harus mengorbankan perasaan pribadi. Namun, tekanan yang terus-menerus seperti ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Para psikolog menyatakan bahwa beban semacam ini bisa memicu masalah kesehatan mental serius, seperti kecemasan dan depresi. Akibatnya, produktivitas kerja menurun, kualitas hidup terganggu, dan hubungan dalam keluarga semakin rumit.

Adakah solusi bagi mereka yang terjebak di antara dua generasi ini? Sebagai bagian dari kelas menengah, solusi yang ditawarkan sering berkaitan dengan pengelolaan keuangan. Perencanaan keuangan jangka panjang, seperti investasi dan asuransi, dapat meringankan beban finansial. Memisahkan kebutuhan primer dari sekunder, mengurangi gaya hidup konsumtif, dan mencari pendapatan pasif dari investasi juga bisa membantu.

Namun, persoalan generasi sandwich bukan hanya soal keuangan. Dukungan dari pemerintah dan perusahaan juga diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang lebih mendukung, seperti program cuti keluarga atau bantuan finansial untuk perawatan orang tua. Edukasi tentang pengelolaan keuangan dan kesehatan mental juga menjadi semakin krusial.

Lebih penting lagi, komunikasi yang jujur dan terbuka antara anggota keluarga harus dibangun. Generasi sandwich perlu berbicara dengan orang tua dan anak-anak tentang batasan yang ada, serta ekspektasi yang realistis dari masing-masing pihak. Konselor atau terapis keluarga bisa membantu menjembatani komunikasi yang sulit ini. Kesadaran bahwa mereka tidak bisa memikul semuanya sendiri mungkin adalah langkah pertama menuju solusi.

Pertanyaan yang lebih besar adalah: apakah generasi sandwich ini akan terus berulang? Melihat kondisi ekonomi yang semakin sulit, terutama bagi kelas menengah, tidak mustahil generasi berikutnya---anak-anak dari generasi sandwich---akan menghadapi tantangan yang sama. Mereka mungkin tumbuh dengan harapan yang lebih besar, namun kenyataan yang tetap menghimpit.

Keluarga modern di Indonesia semakin kompleks, dengan harapan tinggi dari kedua belah pihak, tetapi sumber daya yang terbatas. Tanpa perubahan struktural di bidang kebijakan sosial maupun ekonomi, generasi sandwich tampaknya akan terus menjadi fenomena yang berulang. Kelas menengah mungkin terus berada dalam lingkaran ini, menjadi penopang bagi generasi di atas dan di bawah mereka, dengan sedikit kesempatan untuk keluar dari pusaran tersebut.

Namun, satu hal yang tak bisa disangkal adalah ketangguhan generasi ini. Mereka terus bertahan, mencari solusi, baik dengan mengelola keuangan, mencari dukungan emosional, atau sekadar mencoba untuk tetap bertahan. Di tengah beban berat yang mereka pikul, mereka mungkin masih bisa tersenyum, sadar bahwa mereka adalah jembatan kuat yang menghubungkan dua generasi, dengan harapan generasi berikutnya dapat menghadapi tantangan ini dengan cara yang lebih baik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun