Menjadi pemimpin, sejatinya, tidaklah mudah. Setiap gerak-gerik akan selalu diamati publik. Pun dalam konteks Indonesia yang tengah membangun demokrasi, siapapun pemimpin harus siap menghadapi kritisisme. Kasus ‘jari tengah’ Foke tak terlepas dari kritisisme tersebut. Reportase jalur dunia maya telah menyebar begitu deras. Publik akhirnya beranggapan Foke tak berlaku pantas dengan keluguannya. Sang Gubernur berdalih. “Tak paham, tak mengerti bahasa anak muda,” adalah dalihannya. Namun publik tentu tidak ‘sesederhana’ itu. Karenanya wajar jika sang Gubernur mendapat hujatan di dunia maya. Ia seharusnya tidak ‘sesederhana’ (sengaja diberi tanda ‘petik’ agar tak terdengar sarkastis) itu. Terlebih dengan tingginya jabatan publik dan topi intelektual doktor diraih dari salah satu negara maju di Eropa. Kasus Foke layak menjadi pelajaran. Seorang pemimpin, lebih-lebih dalam konteks Indonesia, kerap dianggap lebih dari rakyat biasa. Ia harus lebih pintar, bijak, dan ‘lebih-lebih’ lainnya. Karenanya kesalahan yang tak perlu seharusnya tak perlu terjadi. Tak usah berkelit. Sampaikan saja permintaan maaf yang tulus. Siapa tahu, sekali lagi siapa tahu, publik berkenan memaafkan. Menjadi pemimpin itu, untuk kesekian kalinya disebutkan, tidaklah mudah. Namun bukan berarti Anda, para pembaca yang budiman, mengurungkan diri dalam berniat memimpin bangsa. Apapun skalanya. Indonesia akan selalu memerlukan pemimpin. Indonesia akan selalu memerlukan insan yang memiliki kelebihan. Kelebihan yang memadukan kecerdasan, kepelayanan. dan kebijaksanaan. *** (Sumber foto: leadershippost.com; kompas.com)
http://yasmiadriansyah.com/
KEMBALI KE ARTIKEL