Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Artikel Utama

JKN & BPJS Kedodoran?

13 Januari 2014   12:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 1425 6

JKN & BPJS Kedodoran?

Yaslis Ilyas

Ketua Umum: Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia ( LAFAI)

Sepekan sudah Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diresmikan oleh pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai beroperasi tanggal 1 Januari 2014. Sebelumnya, pemerintah (Kemenkes dan BPJS) mengklaim program sudah siap 98%, tinggal 2 % (hal-hal yang kecil saja) yang perlu dilengkapi menjelang tahun baru 2014.

Pemerintah begitu yakin bahwa program jaminan akan berjalan lancar tanpa kendala berarti, walaupun hampir semua media massa melaporkan tentang kurang efektifnya sosialisasi JKN, baik kepada Pemberi Pelayanan kesehatan (PPK) maupun kepada masyarakat yang akan menjadi peserta.

Warga negara, perusahaan negara, dan swasta dituntut untuk memenuhi kewajibannya untuk mendaftar sebagai peserta program Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan. Namun, implementasinya banyak menemui berbagai macam kendala antara lain persyaratan yang tidak jelas, minimnya gerai pendaftaran BPJS, kurangnya jumlah SDM BPJS, dan terbatas waktu jam kerja. Walaupun BPJS sudah kerja sama dengan BANK MANDIRI, BNI dan BRI, namun pada prosesi implementasinya tidak berjalan dengan baik.

Diterapkannya kebijakan SJSN dan BPJS, merupakan suatu lompatan besar pada sistem kesehatan nasional kita. Hal ini, akan menimbulkan banyak masalah baik pada PPK maupun kepada peserta. Oleh karena itu, kebijakan ini mempunyai konsekuensi logis untuk siap dikritisi dan diperbaiki secara berkelanjutan. Sebagai pengamat asuransi kesehatan penulis akan menyampaikan implementasi JKN dan BPJS yang kedodoran, sebagai berikut:

1. Sosialisasi rinci tentang JKN dan BPJS belum dilaksanakan dengan baik, sebagai contoh: bagaimana, di mana, dan persyaratan para calon peserta? Apakah diperlukan foto copy kartu keluarga (KK) dan KTP atau dokumen lainnya. Berapa dan di mana bayar premi? Di mana lokasi puskesmas, klinik dan RS yang bisa melayani peserta? Belum lagi, bagaimana kalau calon peserta tidak mempunyai KK dan KTP? Apakah mereka berhak jadi peserta? Banyak lagi pertanyaan yang berkaitan dengan administrasi kepersertaan JKN.

2. Jumlah dan mutu SDM yang sangat kurang. Dapat dipastikan BPJS hanya untuk memberikan pelayanan kepersertaan saja tidak akan mampu. Untuk dapat menjalankan bisnis BPJS dengan baik dibutuhkan SDM yang kompeten dengan rasio 1:25.000 peserta. Saat ini, diperkirakan rasio SDM dengan peserta 1 : 50.000; itu pun dengan mutu terbatas dan distribusi yang tidak baik. Bisa dipastikan dengan kondisi SDM seperti ini BPJS akan kedodoran untuk menjalankan fungsinya. Mestinya, BPJS sudah melakukan rekruitmen dan pelatihan minimal 1 tahun sebelum BPJS diresmikan.

3. Pelayanan kepesertaan akan membeludak tidak dapat dilayani dengan keterbatasan jumlah dan mutu SDM serta gerai yang ada. Di samping itu, keterbatasan faslitas dan alat kerja akan memperparah masalah ini. Hal ini telah diberitakan baik pada media cetak maupun elektronik di Indonesia.

4. Masalah Call Center? Apakah beroperasi 24 jam? Berapa jumlah linenya? Berapa jumlah operator? Apakah Toll Free? Saya mendapat informasi dari pimpinan BPJS bahwa Call Center Kantor Pusat BPJS Jakarta hanya gratis kalau menggunakan telpon statis. Mestinya Call center adalah toll free, berkerja 24 jam dan karena Indonesia sangat luas seharusnya Call Center harus tersedia di setiap kota dan kabupaten sehingga memudahkan warganegara mengakses informasi yang dibutuhkan dari BPJS. Call center harus dibangun setahun sebelumnya dan sebenarnya call center bukanlah untuk dipertontonkan kepada Presiden dan Wakil Presiden serta para menteri, tetapi yang paling penting berfungsi untuk seluruh peserta Nusantara secara gratis.

5. Masalah Coordination of Benefit (COB) yang sampai sekarang belum jelas. Bagaimana kalau peserta mempunyai 2 paket asuransi kesehatan? Bagaimana kalau peserta mau naik kelas perawatan? Bagaimana kalau peserta mau menggunakan PPK nonjaringan BPJS? Apakah hak mereka setelah membayar premi BPJS diabaikan? Kejelasan instrumen COB harus segera dikeluarkan oleh BPJS, karena peserta akan dirugikan ratusan miliar bahkan triliunan rupiah kalau hak mereka yang telah membayar premi diabaikan. Jangan sampai pandangan teman-teman Hizbut Tahrir Indonesiayang menyatakan bahwa BPJS memalak uang rakyat jadi suatu kebenaran. Kejelasan COB juga ditunggu oleh industri Asuransi Kesehatan Swasta, sehingga mereka dapat mengembangkan produk dan premi yang pas untuk kebutuhan konsumen.

Tentunya masih banyak masalah implementasi JKN oleh BPJS yang tercecer atau kedodoran pelaksanaannya yang belum tertangkap oleh penulis. Kewajiban semua pemangku kepentingan untuk terus mengamati dan mempelajari masalah konsep dan teknis yang akan timbul pada operasional JKN. Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI) akan terus mengumpulkan informasi dan data untuk ikut memberikan saran dan koreksi pada pelaksanaan program JKN oleh BPJS.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun