Mengamati sepakbola tanah air, entah berapa kali sudah liga kita berganti nama, format, sistem, serta pengelolaan. Namun entah mengapa selalu kita gagal membentuk sebuah liga yang baik, setidaknya enak dipandang mata. Fanatisme suporter kita boleh jadi merupakan salah satu yang paling loyal di dunia. Banyak yang rela mati untuk klub kesayangannya. Sekali lagi, hanya sampai di situ saja. Tidak ada perkembangan signifikan dari masa ke masa, terutama tentang profesionalitas, janganlah berbicara tentang prasyarat AFC.
Saat liga kita jalan di tempat, jika tidak boleh saya sebutkan mundur teratur, maka ada satu liga di Asia yang boleh jadi sarana untuk kita (lagi-lagi) belajar. Thai Premier League (TPL) adalah liga yang saya maksud. Sebagai pengetahuan untuk kita bersama sekaligus dalam rangka menyambut musim terbarunya pekan ini.
Liga Inggris mungkin telah memonopoli pasar dan mayoritas pendukung sepak bola di Thailand, tetapi sepak bola Thailand kini menantang supremasi liga eropa tersebut dengan peningkatan pesat dalam popularitas selama dua tahun terakhir. Kebangkitan liga lokal di mata penggemar sepakbola telah menyebabkan pertanyaan. Bagaimana liga sepak bola Thailand bangkit mampu mencuri atensi fans sepakbolanya sendiri? Apakah industri ini mampu membangun sebuah liga berkualitas seperti di negara-negara Eropa atau setidaknya Jepang dan Korea? Apakah keterlibatan politisi dapat menjadi faktor dorongan atau kehancuran olahraga? Setidaknya poin kedua dan ketiga adalah masalah juga di negeri kita.
"Ball Nork Kae Sa Jai, Ball Thai Eu Nai Sai Loed," adalah motto yang diciptakan oleh Cheerthai Power Group, sebuah organisasi supporter yang didedikasikan untuk mempromosikan sepak bola Thailand kembali pada tahun 2004. Secara harfiah diterjemahkan sebagai, 'sepak bola internasional hanya untuk kesenangan, sepak bola Thailand ada dalam darah,' menyebar motto tersebut secara cepat di kalangan pecinta sepakbola Inggris di Thailand, tetapi popularitas sepakbola Thailand tidak muncul juga ke permukaan dengan baik sampai akhir 2008 ketika Konfederasi Sepakbola Asia (AFC ) memerintahkan perbaikan mutu dari liga lokal, termasuk Thailand.
Bertujuan untuk meningkatkan potensi bisnis industri sepakbola yang sejalan dengan strategi yang ditempuh oleh liga profesional Eropa, AFC mengadopsi sejumlah pedoman bagi anggotanya untuk diikuti dalam mempromosikan klub dan liga sepakbola mereka. Beberapa diantaranya adalah rekomendasi bahwa paradigma pengelolaan sepakbola diubah dari asosiasi dan klub menjadi bentuk badan usaha. Di Thailand, petunjuk itu mendapatkan sambutan hangat dan ketika musim 2009 dimulai Asosiasi Sepakbola Thailand (FAT) telah membentuk Thailand Premier League Company Ltd (TPLC), bertindak sebagai badan penyelenggara di bawah FAT dengan menciptakan klub partisipan dituntut untuk berjalan sebagai perusahaan.
Dengan beralih dari klub menjadi entitas bisnis, modal dalam pemasaran klub seperti logo klub yang lebih modern, merchandising dan style pemain yang segera dibuat dan diperkenalkan ke kalangan supporter. Bahkan klub yang relatif tidak dikenal sebelumnya, seperti Muang Thong United, Chonburi FC, dan Bangkok Glass FC, menerima sambutan hangat dan dapat berekspansi cepat dalam hal basis penggemar mereka. Perubahan tersebut menajdi awal eksplorasi potensi industri yang memberikan harapan tinggi penggemar agar liga lokal dapat menarik seperti halnya liga besar Eropa. Dapat meningkat pesat pada kemunculan awalnya, Liga Thailand akhirnya diyakini memasuki era sepakbola profesional sejati.
Seperti yang akan diharapkan dari sebuah industri global besar-besaran, Thailand tidak harus melihat jauh untuk menemukan contoh usaha bisnis yang sukses seperti Liga Inggris yang telah memanfaatkan sepak bola menjadi garda depan. Thailand sadar mereka bisa belajar dari negara Asia lainnya, yaitu Jepang. Peluncuran Liga Jepang, atau yang disebut J-League, pada tahun 1993 mencuri perhatian dunia sepak bola. Perusahaan-perusahaan besar dengan cepat bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam pengembangan klub sepakbola dan pada puncaknya, tahun 2008 otoritas liga melaporkan pendapatan bisnis tahunan J-League sebesar USD 160,4 juta/Rp. 1,5 trilliun.
Pada tahun yang sama, berbicara sebagai tamu FAT, CEO Liga Primer, Sir David Richard, berkomentar, "bisnis sepak bola harus dijalankan dan dikembangkan terutama oleh sektor swasta. Peran pemerintah harus dibatasi hanya untuk memberikan kebijakan atau peraturan yang mendukung."
Mengikuti peluncuran J-League pada masa lalu, perusahaan ikut berinvestasi dan mulai menyediakan dukungan dana dengan praktek bisnis mereka sendiri, sementara pemerintah lokal mendukung tim dengan dukungan dan pemberian sewa jangka panjang untuk stadion. Secara bersamaan, nama besar pemain dan pelatih yang telah/akan pensiun dari seluruh dunia menatap J-League sebagai sebuah peluang. Liga, pada gilirannya, menyambut pesepakbola profesional veteran yang membantu untuk meletakkan dasar-dasar liga yang masih terasa hingga hari ini. Pendukung Kashima Antlers tentunya masih merasakan sentuhan Zico, hingga sekarang, meskipun dulu hanya bermain dua musim di J-League.
Di Thailand, pedoman AFC menyarankan bahwa sepak bola dijauhkan dari pengaruh politik untuk kepentingan pengembangan jangka panjang, mencatat bahwa keterlibatan politik dapat mempengaruhi sebuah tim. Bisnis dan politik memang sulit untuk terpisahkan di Thailand. Takeover klub Provincial Electrical Authority (PEA) FC oleh politisi asal Buriram Newin Chidchob menjadi sebuah catatan penting perkembangan TPL di tahun 2010. PEA merupakan perusahaan negara di bawah Kementerian Dalam Negeri. Pertanyaan apakah Newin telah menggunakan pengaruh politiknya dalam proses take over tersebut merupakan suatu hal yang dapat dipahami.
Namun, meskipun berasal dari latar belakang politik, Newin jelas memiliki gambaran yang lebih jelas dari bisnis sepak bola. Setelah pengambilalihan, PEA FC memindahkan homeground dari Ayudhya ke Buriram, 410 km timur laut Bangkok. Berganti nama menjadi Buriram PEA, klub ini telah berhasil mengumpulkan basis penggemar yang berkembang di kota tersebut dan telah mampu menarik sponsor termasuk Samart Group, i-Mobile, King Power dan Phillips, yang menjadi salah satu sumber dukungan finansial untuk mendukung operasional klub. Newin juga telah membantu untuk membangun tim yang kuat dengan mendatangkan pemain papan atas dan dengan menggunakan beberapa skema pemasaran cerdas yang dapat meningkatkan ekspansi basis penggemar. Terakhir, Buriram PEA membangun stadion modern 'i-Mobile Stadium' yang sekarang telah selesai di Buriram dengan kapasitas 25.000 penonton.
Mengikuti langkah Newin itu, musim 2010 di sepakbola Thailand mencatat keterlibatan politisi lebih besar di Thai Premier League dan Divisi 1 dan 2. Pembagian divisi 2menjadi 5 liga regional - utara, timur laut, selatan, tengah, dan Bangkok Metropolitan - dengan partisipan sebanyak 70 klub. Di Thailand, politisi dalam sepakbola bekerja dua arah yang saling menguntungkan. Selain Buriram PEA, beberapa klub lain sedang berkembang mengikuti garis panduan platform bisnis sepakbola, meskipun secara aktif dekat dengan para politisi atau keluarga mereka. Chiang Rai United dipimpin oleh Mr Mati Tiyapairatch (anak dari Yongyut Tiyapairatch, mantan Ketua DPR yang mengundurkan diri tahun 2008 atas kecurangan pemilu), dan Sisaket FC oleh keluarga Kiatsuranont (Somsak Kiatsuranont adalah mantan Wakil Ketua DPR). Namun dengan semua fakta yang ada, keterlibatan politisi dapat memberikan manfaat dan telah memberikan sebuah aliansi yang menguntungkan yang menarik investor lebih jauh dan tidak menunjukkan ekses negatif bagi klub maupun sepakbola Thailand itu sendiri.
Dalam liga Thailand sendiri terdapat aturan bahwa bangku cadangan hanya untuk pemain pengganti, 3-4 staf pelatih, pelatih kepala dan manajer tim. Ketua atau presiden klub harus duduk di kotak VIP. Pada prinsipnya ini adalah mendorong mereka untuk fokus pada bisnis, tamu VIP mereka, sponsor, investor, dan rekan-rekan mereka, tetapi juga untuk mencegah mereka mempengaruhi tim mereka sendiri dan wasit.
Di Thai Premier League, biaya operasional tetap minimal (gaji dan transportasi, misalnya) adalah sekitar THB 40 juta (Rp. 13 M) setahun. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari investasi yang diperlukan untuk menutupi biaya pengembangan bisnis, seperti renovasi dan pemeliharaan stadion, merchandising dan pengembangan brand. Biaya operasional untuk klub liga lebih rendah dapat 50 persen lebih atau sekitar THB 20 juta (Rp. 6,5 M) setahun.
Kurang dari 10 klub di Thai Premier League memiliki basis penggemar yang cukup besar dan terlihat seperti memiliki potensi bisnis yang nyata. Klub-klub ini diantaranya klub milik taipan media olahraga Ravi Lohthong Muang Thong United, Chonburi FC yang dimiliki oleh Wittaya Khunpluem, Bangkok Glass FC dimiliki oleh Presiden Singha Corporation Praveen Bhirompakdi, Buriram PEA milik Newin Chidchob, dan Thai Port FC dimiliki oleh otoritas pelabuhan Thailand. Meskipun demikian, sponsor sudah cukup banyak. Pandangan sekilas di website TPL menginformasikan bahwa perusahaan utama Thailand dan nama besar internasional seperti THAI, CAT, AIS, LG, Nike, Chang, Coca-Cola, Leo, Red Bull dan Toyota merupakan sponsor liga dan juga banyak mendukung klub-klub lokal. Nilai sponsorship TPL tahun ini cukup besar, mencapai Rp. 45 M/tahun dengan minuman kesehatan Sponser atau juga dikenal secara luas sebagai Red bull atau Kratingdaeng.
Sementara di tingkat klub, sponsor utama klub sangat banyak dan cukup memberikan harapan yang besar bagi penggemar sepakbola. Betapa tidak, di setiap klub TPL setidaknya minimal ada 1 sponsor utama dan 4 sampai 8 sponsor resmi, menjadikan sponsorship merupakan salah satu andalan utama klub lokal dalam mengarungi liga. Setiap klub juga memiliki divisi merchandise yang sangat profesional dan mencari pernak-pernik klub bukan hal yang sulit di Thailand karena setiap klub memiliki toko resmi bagi pemasaran produk mereka.
Penonton mungkin merupakan salah satu tantanan liga ke depannya. TPL musim 2011, rata-rata penonton mencapai 5.600 penonton per pertandingan, jumlah yang masih rendah tentunya bila dibandingkan dengan liga regional lain seperti Indonesia atau Vietnam. Setidaknya Indonesia unggul di poin ini. 17 Maret 2012 ini, TPL akan memulai musim terbarunya. Peningkatan liga dalam 4 musim terakhir diharapkan akan terus melejit dan bisa jadi sejajar dengan liga asia lain, minimal seperti klub lokalnya Buriram United yang mampu mengalahkan Juara J-League Kashiwa Reysol pekan lalu di Liga Champions Asia.
sumber:
http://thaileaguefootball.com/