pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.
- Asrul Sani, “Surat dari Ibu”
MERANTAU itu beresiko. Tapi, sama saja sebenarnya dengan tangisan kita yang pertama. Kita lahir, menangis sekerasnya, karena berpindah dari suatu kondisi aman (dalam rahim) menuju kehidupan yang penuh dengan resiko.
Berawal dari keinginan untuk mencari penghidupan, keluarga saya pun mulai keluar dari bumi Andalas. “Pergi ke dunia luas”, ke “laut lepas”, ke “alam bebas” seperti titah Asrul Sani dalam puisinya, menemukan korelasi di sini. Maluku, sebuah tempat yang jauh, adalah kota yang dituju. Kenapa Maluku? Alasannya beragam. Salah satunya adalah karena di sana sumber daya alamnya masih luas dan nyaris belum tergarap. Hal ini juga yang membuat Colombus berpayah-payah membuat proposal ekspedisinya ke tanah yang kaya rempah-rempah seperti Maluku demi mendapatkan gold (emas/kekayaan), penyebaran ajaran gereja (gospel) dan kejayaan (glory) bagi negerinya di Spanyol.
Kalau sekarang perjalanan dari Sumatera Barat ke Maluku tak sampai satu hari sudah tiba, maka di masa leluhur saya, “ekspedisi” itu bisa memakan satu bulan, atau lebih. Kapal Pelni belum juga ada waktu itu. Maka satu-satunya jalan yang relatif cepat dan aman adalah dengan menumpang pada kapal barang dari Padang menuju Jakarta, transit ke Surabaya dan terus sampai ke pelabuhan Gamalama di pulau rempah-rempah (the spice island): Ternate.
“Mereka itu disebut rantau mati,“ demikian kata nenek saya beberapa tahun lalu. Dalam bukunya Merantau: Pola Migrasi Suku Bangsa Minangkabau yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press (1979), fenomena itu disebut oleh Muchtar Naim dengan nama “Marantau Cino.” Kenapa harus Cino? Cino atau Cina adalah sebuah negeri yang jauh dari Padang. Orang Cina yang merantau biasanya sudah tidak kembali lagi ke negeri asalnya. Kalaupun mereka kembali, tampaknya hanya sekedar untuk memperkuat sejarahnya bahwa ia berasal dari tanah sana. Namun, tanah dimana mereka menghirup udara dan dibesarkan oleh alam adalah di rantau.
Kata rantau di atas bisa kita pahami sebagai perjalanan, atau pencarian sumber-sumber agar kita bisa survive dalam hidup. Hidup memang penuh dengan cabaran, kata orang Melayu. Dan agar tetap eksis, maka segenap cabaran yang datang perlulah dihadapi dengan perjuangan, walaupun kita harus berpisah dari sanak famili yang kita cintai.
“Rantau mati” atau “Marantau Cino” adalah sebuah konsepsi yang dipahami oleh kakek-kakek saya yang tinggal di pinggiran danau itu. Dalam merantau, mereka tidak hanya dilepaskan begitu saja. Sebelumnya di kampung mereka telah belajar ilmu agama dari akidah hingga muamalah. Hal ini akan menemukan peranannya kelak ketika kita seseorang berada di tanah rantau. Kalau ditanya, kamu orang mana? Kita menjawab, “Minang.” Maka biasanya imaji Minang itu langsung merujuk pada sebuah keyakinan bernama Islam.
Selain itu, mereka juga telah dilatih dalam bela diri. “Kita tidak boleh mencari musuh,” begitu kata pepatah, “tapi kalau musuh datang menghadang, kita tidak boleh lari.” Kata yang baik ini bermakna sebuah persiapan kalau-kalau di tengah perjalanan ada saja halangan yang datang menerjang. Hal ini juga senada dengan ucapan “Kalau kamu ingin damai, bersiaplah untuk perang”. Kita tidak disuruh untuk mencari-cari musuh memang, tapi kita perlu berjaga-jaga dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang suatu saat bisa datang.
Mereka yang telah merantau itu, seperti apa yang dituturkan nenek saya, boleh juga disebut “tidak diharapkan lagi kepulangannya.” Maksudnya adalah, kalau seseorang telah merantau ke negeri yang jauh, sanak famili hanya berdoa agar sang perantau itu menemukan titik kesuksesan di sana. Namun, berharap sangat atas kepulangan mereka, tidak juga menjadi sangat ditekankan. Ini memang sudah konsekuensi perantau. Kalau kita merantau, rasanya hanya dua yang bisa kita tunjukkan pada dunia: taraf hidup kita meningkat, atau malah amblas ditelan masa.
Dulu, kalau para perantau itu pulang kampung dalam “baju” yang sama dengan yang dikenakannya ketika pergi, maka itu akan menjadi celaan tersendiri. Masyarakat, bahkan pada tingkat tertentu, ada yang mencemooh atas hal itu. Dalam bayangan masyarakat, kalau seseorang keluar merantau, maka ia setidaknya harus sukses, selangkah lebih baik dari ketika dia pergi.
Tapi, belakangan, “penolakan” kepada perantau yang masih sama kondisi hidupnya—atau masih sama “baju”-nya—menjadi lebih lunak. Mereka yang tidak berhasil di rantau, kalaupun mereka pulang kampung, mereka tidak dicemooh. Pada kondisi ini, telah terjadi pelunakan dalam melihat kesuksesan seorang perantau. Kewajiban sukses lebih dipandang sebagai sebuah proses yang tiap orang memiliki tahapan yang berbeda. Ada yang sekali merantau langsung berjaya di rantau, namun ada juga karakter orang tertentu yang perlu berkali-kali merantau, harus jatuh-bangun dulu, baru mendapatkan predikat sukses.
Dari pengalaman dua generasi sebelum saya itu, saya merasa jiwa rantau ini memang perlu untuk dimiliki oleh anak muda kita. Maka pada 1993, bersama ayah, saya mengarungi laut dua hari dua malam. Muntah-muntah sudah tidak ketahuan berapa banyak. Olengnya kapal Ternate Star dalam perjalanan dari kota kecil bernama Tobelo yang berada di sebelah utara pulau Halmahera menuju Morotai dan Ternate, membuat saya merasa lebih siap untuk menjadikan alam semesta yang terkembang luas ini menjadi guru bagi kehidupan.
Di ibukota Jakarta, pada minggu-minggu pertama kami bersekolah, tak jarang isak tangis menggelegar dari kawan yang sebentar lagi akan ditinggalkan oleh orang tuanya. Bayangan hidup yang jauh dari orang tua, kesepian yang menggelayuti hati, dan kesulitan di rantau bisa saja akan menjadi momok yang menghantui jiwa seorang perantau. Berpisah dengan “zona nyaman”, pada tahapan awal memang begitu. Sedih, pilu dan—perasaan seperti terjebak di dalam ruangan kosong yang entah—begitu membuat hati kita tidaklah nyaman. Dari isak tangis teman-teman, saya hanya menatap biasa saja kepada ayah saya yang sebentar lagi akan beranjak kembali kampung halaman rantau—sebuah tempat dimana aku dibesarkan.
Dalam merantau, memang akan banyak saja godaan, cobaan yang akan datang menerpa kita. Kesulitan dalam ekonomi, bingung kita mau mencari pinjaman uang dari siapa. Sedih kita, kita merasa tidak enak kalau-kalau harus meminta “suntikan” dana segar dari kampung. Orang di kampung juga susah, maka otomatis tidak ada lagi harapan kita dalam merantau kecuali pada kekuatan kemauan dalam diri kita. “Kalau kita bersungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu yang kita impikan,” maka sebuah intisari penting bolehlah kita kutip dari Sang Alkemis-nya Paulo Coelho, “alam semesta akan membantu kita!”
Ya! Alam akan membantu kita, kalau kita sungguh-sungguh untuk mencapai yang kita inginkan. Dan, anehnya, “bantuan” semesta itu bisa terjadi pada pekerjaan yang dikategorikan baik, bahkan pada tindakan yang oleh masyarakat disebut tercela. Seperti menjadi pencuri. Tak jarang, orang yang merantau dari daerah malah terjebak dalam situasi yang dilematis. Daripada lapar, sementara itu teman-teman juga berprofesi sebagai pencuri, maka bisa saja seseorang terpengaruh dengan itu. Motif mereka menjadi pencuri juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Kenapa?
Hal ini menarik. Saya jadi teringat tentang konsepsi potong tangan dalam Islam. Dalam Islam, kalau seseorang mencuri, maka ia harus dipotong tangannya. Kalau hal ini dipahami secara biasa, maka akan banyak orang yang akan kehilangan tangannya. Tapi, dalam Islam, seorang pencuri perlu dilihat konteksnya. Ketika terjadi ketimpangan yang sangat antara di kaya dan si miskin, sementara itu ia tidak punya apa-apa untuk menyambung hidup, maka apakah ia perlu dipotong tangannya?
Nah, ini juga kita lihat dari kondisi para perantau itu. Mereka yang sukses, nyaris tidak bermasalah apa-apa dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sementara mereka yang “merantau mati” di negeri orang, bisa-bisa terjebak dalam kematian dalam arti sebenarnya karena susahnya mencari makan, atau karena begitu kerasnya jalan kehidupan. Namun bagi orang Minang, agar tetap eksis, maka sosialisasi dengan masyarakat setempat menjadi niscaya. “Dimano bumi dipijak,” demikian kata ajaran adat Minang, “disitu langik dijunjuang.” Di bumi manapun kita tinggal, maka di situlah kita perlu bersosialisasi dengan kultur setempat.
Dalam realita, ada saja masalah dalam dunia rantau. Termasuk dalam hal ini, adalah kecemburuan sosial. Kerusuhan antara Madura perantau dan suku asli Dayak di Kalimantan, salah satu sebabnya adalah karena kecemburuan ini. Namun di tanah Betawi yang notabene warga asli kota Batavia atau Jakarta saat ini, tidak terjadi kerusuhan antar etnis yang berarti. Kerusuhan dan penjarahan pada Mei 1998 yang juga mengakibatkan kerugian bagi warga Cina, tidaklah semata terjadi karena masalah kecemburuan antara penduduk asli dan pendatang. Para penjarah waktu itu, jelaslah tidak hanya warga Betawi, akan tetapi masyarakat Jakarta yang di dalamnya telah bercampur dengan suku-suku pendatang lainnya.
Mereka yang merantau juga akan mendapatkan sebuah pengganti, imbalan, atau balasan bagi apa yang telah ditinggalkannya. Pengganti itu bisa berbentuk ilmu, pengetahuan, jaringan kerjasama, bahkan hikmah-hikmah kehidupan yang diperlihatkan Tuhan kepada umat-Nya. Mungkin, ini juga yang berada dalam rekam pikiran para perantau itu. Perkara mereka berhasil dalam memanfaatkan hal itu, sangatlah kembali kepada sang perantau. Kalau ia berusaha untuk memandang jaringan kerjasama dan peluang hidup di kota itu secara kreatif maka sukses bisa menjadi miliknya.
“Saafir, tajid ‘iwadhan ‘amman tufaariquhu!” Kata pepatah Arab, “Bermusafirlah! Maka maka engkau akan temukan pengganti apa yang telah engkau tinggalkan.” Dan, selain bermusafir, demikian kata pepatah yang pernah saya pelajarim, kita juga perlu berusaha keras mendapatkan apa yang hendak kita citakan. “Fanshab” (Berusahalah!), bermakna kalau di rantau orang, “don’t be lazy!” (jangan malas!). Mereka yang malas menggunakan potensinya baik berupa akal pikiran atau fisiknya akan membuahkan kerugian saja. Mengutip pepatah Arab, sesungguhnya ladzizal ‘aisyi (nikmatnya hidup) itu finnashab (berada pada usaha).
Sampai di titik ini, rasanya yang menjadi penting bagi seorang perantau adalah apa visi hidup yang hendak dicapainya. Kalau semata untuk mendapatkan harta, maka apa kurangnya kolonialis Belanda yang mengeruk sumber rempah-rempah kaum pribumi untuk kemudian menjual hasil alam itu ke pasaran Eropa dengan harga yang lebih mahal. Atau, lihatlah perantau-perantau dari negeri Barat sana yang membuat gunung-gunung emas kita menjadi kawah, gangguan ekologis melanda, yang dari situ kemudian hasilnya mereka olah sedemikian rupa dan ujung-ujungnya hasil olahan itu dijual juga kepada kita.
Kita semua, dalam arti yang lebih luas sejatinya adalah perantau. Ada yang merantau dari satu negeri ke negeri lainnya. Namun di sudut lain, ada yang merantau dari sebuah kehidupan yang sulit menuju kehidupan yang lebih baik. Ber-“hijrah” dalam bahasa agamanya. Dalam proses “perantauan” itu, memang selalu akan muncul resiko godaan dan tantangan yang kerap datang silih berganti. Namun, para perantau yang kuat jiwanya, ia akan tetaplah tegar. Di rantau orang, ia bisa diibaratkan seperti sebuah pohon besar, kuat, yang tak lapuk dihujan, dan tak lekang dipanas. ***
Bogor, 07/08/2009