Bicara soal naluri, hewan yang jelas stratanya digolongkan lebih rendah dari umat manusia masih tergolong konsisten kalaupun tidak bisa dikatagorikan tinggi. Yang membedakan atau yang membuatnya menjadi demikian adalah 'tingkat kesempurnaan' dari golongan manusia. Di suatu televisi swasta pernah menyiarkan seekor induk hewan beruang yang berusaha menyelamatkan anaknya dari jeratan jala. Kalo diliat dari golongannya sebagai kelompok hewani yang sering dijadikan kiasan berkonotasi miring naluri hewan itu tidak mengenal kata malu, dia akan terus berusaha sampai anaknya selamat. Tapi kalau manusia (baca wanita) disamping naluri yang dimilikinya rasa malu kadang mengalahkan naluri tersebut. Buktinya banyak yang membuang anaknya sendiri bahkan dengan cara yang lebih kejam dari hewan.
Ketika seekor hewan menginjak dewasa, maka hukum alam yang berlaku. Siapa yang mampu bertahan maka dialah yang eksis. Sebetulnya itu hal yang sepadan, bahkan hal demikianpun terjadi di dalam kehidupan manusia. Yang membedakannya adalah saat hewan harus eksis di dunianya maka dia benar-benar harus mengerahkan daya upaya dan kemampuannya tanpa lagi dibantu induknya. Sedangkan manusia, saat dewasa saat harus eksis di dunianya pun bahkan masih harus didukung atau disokong keluarganya.
Selanjutnya ketika hewan memasuki masa kawin, maka yang terjadi adalah proses alamiah dimana pejantan hanya mencari betina untuk melancarkan siklus habitatnya tanpa bantuan induknya lagi. Sementara manusia tidak se-simple itu. Mata rantai hubungan induk dan anak bagi hewan putus setelah anak dianggap mandiri,sedangkan mata rantai manusia berlanjut sampai akhir hayat. Mungkin karena mata rantai sang anak dan induk telah terputus masalah rumah tangga mereka pun tidak njilimet.
(to be continued ... sangat mengantuk)