Bangunan Casa Italia terdiri dari empat lantai, ada lift , ada lapangan tenis dan lengkap dengan pendingin dan pemanas, tergantung selera penghuni.. Aku memutuskan tinggal di sana selama beberapa bulan, mengingat kampus tempat aku mendapat pelatihan selama enam bulan dari kantorku, tidak jauh dari tempat itu.
Ketika aku tiba, udara dingin menyambutku seolah memberi kesempatan aku untuk membuktikan negeri salju ini. Konon, saljunya bisa menutup sampai atap rumah. Saat itu masih bulan Oktober namun salju sudah berhamburan dimana-mana.
Sepuluh tahun yang lalu , aku pernah pergi ke Jepang, dan karena kami - waktu itu aku mengikuti program pertukaran Mahasiswa-penasaran ingin melihat salju, kami dibawa oleh pembimbing kami ke pegunungan Tateyama di daerah Toyama. Ajaib, di musim panas bulan Juni, kami bisa bermain ski-skian karena sebenarnya kami tidak ada yang bisa bermain ski. Kini salju yang ada didepanku benar-benar menggigit , kakiku mulai terrasa sakit karena kaus kakiku kurang tebal.
Siang itu aku dijemput Tetsu-san sahabat lamaku yang paling "Indonesia sekali". Tetsu berbicara bahasa Inggris paling lancar dibanding teman Jepangku yang lain. Keramahannya jauh melebihi orang Jawa bahkan dan sifat penolongnya mengingatkanku penduduk desa di Indonesia , dan yang paling kukagumi, aku tahu benar ia bukan tipe orang yang mempunyai pamrih .
Tetsu san akan mengajakku ke Jusco, sebuah pasar swalayan di daerah Muikamachi, Aku memang memerlukan beberapa bahan makanan untuk persediaan di Casa Italia . Rasanya bosan juga jika nantinya setiap hari makan mie instan dan abon yang kubawa dari Indonesia.
Aku teringat pertemuanku yang pertama dengannya yaitu dalam sebuah acara pertukaran mahasiswa yang tadi kuceritakan. . Pada malam kesenian, saat rombongan mahasiswa Indonesia selesai tampil, ia sangat antusias sekali mencoba mengajak kami berkomunikasi. Ternyata dia sudah beberapa kali ke Indonesia. Beberapa patah kata, "Selamat pagi ", " Apa kabar " dan " Terima Kasih " sangat lancar diucapkan. Malamnya kami dalam sebuah kelompok kecil berjalan-jalan bersama. .
Dalam semalam , aku merasa lebih akrab dengan Tetsu-san . Paginya kami janjian lagi untuk mencari omiyage. oleh-oleh . Hebatnya, Tetsu tidak membawa kami ke toko souvenir, melainkan ke Risaikuru shop alias toko barang antik. Lumayan, kami bisa dapat yang khas Jepang tapi murah meriah. Sebuah kartu nama di berikannya di bandara. Ketika kubaca, ia tinggal di Urasa, ya ditempat ini. Bisa terbayang bagaimana girangnya aku ketika kantor mengirimku ke Universitas yang letaknya sekampung dengan rumah Tetsu san !.
Tetsu sesekali mengecek pemanas mobil, meyakinkan kami tidak akan kedinginan. Seusai belanja kami berputar-putar, menuju Koide, sebuah wilayah terdekat dari Urasa. Akhirnya kami makan malam di sebuah warung sate kecil. Diatasnya tertulis Yakitori : diatas kain biru , dengan tulisan Hiragana. Pembelinya kebanyakan kaum pria sepulang kerja sambil diselingi minum bir. Aku memesan ocha dan yakitori. Kulihat Tetsu minum sedikit bir seolah ingin menghormatiku yang tidak minum bir. Begitu lurusnya aku dimata Tetsu : Tidak merokok, tidak minim bir. Entahlah apa memang aku seperti yang dipikirkannya.
"Iro-iro o sewa ni narimashita, " ucapku sambil membungkukkan badan
" Iee.. doitashimashite" balasnya juga membungkuk
"Oyasuminasai ", kuucapkan selamat tidur , sebelum kami berpisah
" Have a nice sleep " Tetsu san membalas dengan bahasa Inggris
Ketika mobilnya berlalu, aku bergegas naik lift. Pikiranku menerawang. Badan terasa lelah setelah kemarin menempuh perjalanan dengan kereta Shinkansen dari Bandara Narita ke Niigata. Aku bahkan nyaris tidak memperhatikan seorang wanita muda yang turun bersamaan denganku dilantai dua dan masuk ke kamar tepat di depanku. Aku bahkan tidak akan pernah tahu, wanita yang berpapasan itu nantinya akan ada di sebagian rahasia hidupku.
Tepuk tangan meriah bergema ketika acara pelatihan dibuka oleh Prof. Yamashita. Aku semakin mengenal, betapa detilnya setiap orang Jepang mengemas acara, sehingga nyaris tidak ada kesalahan. Sususnan acara berlangsung tanpa bergeser satu menitpun ! Mereka juga dalam posisinya--yang cenderung menjaga jarak kepada orang asing-- tetap berusaha ramah dan meyenangkan orang lain. Sesi awal cukup menyegarkan. Kami datang dari beberapa negara yang mayoritas Asia .
Kami di bagi beberapa kelompok .Aku masuk dalam sebuah kelompok kecil enam orang. Kami berdiskusi bersama, saling menimba ilmu dangan pengalaman masing-masing. Kemampuanku sedikit berbahasa Jepang membuatku dipilih menjadi ketua kelompok tersebut. Sebagai ketua , aku butuh seorang sekretaris yang mencatat semua hasil diskusi yang akan diperesentasikan kelompok kami. Gracia, wanita asal Philipina yang ternyata tinggal berseberangan kamar denganku, dipilih menjadi juru catatku alias sekretaris.
Sebagaimana kelompok , kami berusaha mengakrabkan diri, tentu saja , dalam enam bulan ke depan kami akan berjuang bersama untuk pulang membawa laporan dan sertifikat., sebuah bukti tertulis. Sepanjang kami menjaga pembicaraan , kami terlihat akrab dan tanpa masalah. Walau kulihat Siti sebenarnya menahan diri untuk tidak mennunjukkan wataknya. Kulihat ia tipe wanita mandiri, yang cenderung kurang bisa mndengar pendapat orang lain. Rajiv dan Kumaar, sang dominan, ternyata memang sudah akrab sebelum mereka masuk di kelompok kami. Mereka bertetangga kantor di New Delhi. Kadang-kadang mereka asyik berbincang sendiri yang kami tak jelas , asal usul topik yang mereka bicarakan. Lee. orangnya pendiam, cenderung tertutup tapi penuh dengan strategi.
Aku harus mengakui, aku jadi lebih akrab dengan Gracia. Gracia kulihat berusaha bersikap netral kepada siapapun. Tapi dia tak bisa menolak sinyal -sinyal " ketertarikan " yang terpancar dariku. Wajahnya agak tersipu setiap aku mencuri pandang ke wajah cantiknya. Bagiku, Gracia bukan cuma sosok yang membuatku nyaman berbincang dengannya. Ia benar-benar wanita yang biasa-biasa saja. Dan kebetulan kedua adalah kami memilih penginapan yang sama : Casa Italia.
Hari minggu pagi itu kami libur. The Indians pergi reuni ke Tokyo . Lee, sibuk mendekati Prof. Yamashita untuk rencana program doktoralnya. Siti, kedatangan teman-teman Malaysianya. Aku ? bosan rasanya berbincang tanpa kontak langsung, misalnya seperti lewat internet. Pergi berbelanja juga tak nyaman , udara dingin menusuk.
" Selamat pagi " Entah sengaja, ingin atau coba-coba aku iseng mengetuk kamar Gracia. Kami berkomunikasi dengan bahasa Inggris .
" Ya, sebentar .. ! .siapa ?."
" Aku, Jay......."
" Hai, selamat pagi juga " kulihat wajahnya segar walau aku tahu ia pasti belum mandi dengan suhu sedingin ini di pagi hari.
" Emh..kebetulan aku tidak ada kegiatan ,aku tak tahu mau pergi kemana.. bisa kasih ide ? " tanyaku, terdengar jujur, tapi seperti orang yang ingin diundang masuk
" Masuklah,...tapi kamarku berantakan. Aku baru saja mengirim laporan ke kantorku, aku harap mereka bisa segera mendapatkan penggantiku. Sebentar lagi aku dipindah ke kantor pusat di Amerika " Gracia bekerja sebagai seorang akuntan di Manila Kemampuannya akan membawanya ke kantor pusatnya di New York.
Dalam sekejap kami terlibat pembucaraan hangat, yang terpisah dari kelompok kecilku yang penuh formalitas itu. Aku terkejut melihatnya membawa gitar. Ah, ia pandai bermain musik . Gracia begitu beda, apakah karena aku berada seorang diri, disini, dan hanya dia yang ada . Aku teringat guyonan temanku semasa mahasiswa ketika kami melaksanakan program KKN disebuah desa di Wonogiri. " Jay, di desa ini, kambingpun lama-lama cantik...lha kita terpencil begini " waktu itu aku tertawa terkekeh. Sekarang, apa aku sedang KKN juga.? Tentu saja tidak . Gracia memang cukup cantik dan menyenangkan sebagai teman, Pakaiannya yang dikenakan juga biasa, ia tidak mengumbar tubuhnya.
Siangnya kami makan siang bersama di stasiun Urasa, menikmati Ramen. Bukan hanya ramennya yang sedap tapi kencan kami, ya kencan kami.
Kami sebenarmnya tidak ingin menutupi hubungan kami karena memang kami bersikap biasa di kampus, tak ada yang istimewa . Hanya kulihat Siti mulai mendeteksi keakrabanku dengan Gracia. Ia mulai menilai aku terlalu menyetujui setiap usulan Gracia. Padahal, kadang-kadang memang Gracia beride cemerlang. Bagaimana mungkin aku memilih pendapat Lee yang terlalu rumit dan orang enggan mendengarnya ? atau dua India yang lebih sering berbincang sendiri ?
Malam ini ada Matsuri di Urasa. Suasananya seperti acara Sekaten kecil-kecilan . Ada Penjual makanan khas seperti Okanomiyaki, Yakitori, ada mainan memancing dengan hadiah yang juga bohong, karena isisnya hanya permen dan bukan uang seribu Yen seperti yang dijanjikan. . Kelompok kami berencana kumpul-kumpul. Kami janji bertemu di kampus jam tujuh malam.
Kali ini aku sudah tak malu lagi menyelimuti overcoatku ke tubuh Gracia, dan aku sendiri cukup memakai sweater yang tersisa di tubuhku saja. Aku mulai ketakutan dan tersiksa jika waktu akan berlalu cepat tanpa bisa berada didekatnya. Tiba-tiba aku teringat Tetsu-san. Aku ingin membagi kebahagiaanku dan mengenalkan mereka kepadanya. Sayangnya , Tetsu harus menjemput kekasihnya ke Osaka. Entah , kenapa aku justru lega , aku tak bisa membayangkan apa komentar Tetsu nantinya tentang ketertarikanku kepada Gracia.
Kami makan bersama berenam, mendengar cerita lucu Rajiv yang hampir tersesat di Tokyo. Untunglah ia bertemu dengan seorang kakek yang pandai bahasa Inggris. Mereka diantar oleh kakek yang ternyata mantan Tentara Perang Dunia II, ke tempat reuni. Imbalannya, sepanjang jalan mereka harus sabar mendengar cerita tentang perang. Malam itu Siti cukup bijaksana, kulihat ia mulai akrab dengan Lee namun dalam batas teman.
Jam sembilan kami bubar dan tentu saja aku pulang bersama Gracia. Ah, dua bulan lagi...kenapa kau tak berani mengandenganya. Kamu tolol Jay. Tolol sekali. Terdengar umpatan ditelingaku. Turun dari taxi, aku meraih tanganya, pura-pura membantunya berdiri. Tak kusangka , ia membalas hangat tanganku. Kami saling meremas tangan , menghilangkan dingin. Aku tak peduli lagi dengan kehebohan Yuki Guni yang saljunya sedikit-sedikit sudah mulai menghilang dari atap Casa Italia. Kami berpandangan, tersenyum, berharap pintu lift masih jauh sekali. Didepan kamarnya, akhirnya kami berhadapan'
" Bolehkah ? ...?" tanyaku perlahan. Ia memejamkan matanya, kukecup keningnya beberapa saat, begitu indah malam itu. Sampai disitu, aku berpamitan,
" Selamat tidur "...........
Malam itu mungkin hanya kami berdua yang tidur sambil tersenyum......
Seperti getar-getar tak terkendali , aku maksudku kami, aku dan Gracia seperti menunggu setiap akhir pekan agar kami bisa berkencan. Hari-hari biasa kami harus berkutat dengan sejumlah makalah yang menjadi tugas akhir pelatihan ini. Suatu malam ketika aku mencuri kesempatan mencium pipinya sebelum berpamitan, ia tampak tertegun
" Aku menyesal " ucapnya lirih
" Maaf, aku tak bisa menahan untuk tidak melakukannya " jawabku cepat
" Bukan itu , aku menyesal baru saat ini aku mengenalmu " secepat kilat ia menutup pintu, kudengar tangisnya tercekat. Aku bingung. Cinta, bimbang atau benci yang dirasakannya ? Aku tertegun didepan kamarnya , sambil mengharap masih ada waktu, untuk dapat terus memeluk, atau sekedar mengusap rambut indahnya, entah esok atau minggu depan , ebelum aku kembali ke Indonesia. .
Malam itu aku gelisah sekali. Kenapa hanya begini saja. Apakah nanti sepuluh tahun lagi kami bertemu hanya ini kenangan kami. Mungkin di New York nanti ia juga akan bertemu laki-laki dalam kesepiannya dan aku hanya ada di album masa lalunya . Aku sendiri rasanya sulit melupakan dia.
Malam ini memang malam terakhir kami di Urasa, besok kami kembali ke rutinitas kami. Good bye Urasa. Mata ai masyo. Aku harus bertemu Gracia. Kudengar sura gaduh dikamarnya, berarti dia masih mengepak barang. Aku ketuk kamarnya keras-keras seperti orang kesetanan. Ia membukanya dengan segera seperti menanti ketukanku !
" Aku mau masuk " ucapku langsung menerobos. Ia tidak sempat menjawab .Kami berpelukan . Erat sekali, memastikan besok kami tak akan jumpa lagi. Setelah itu kurenggangkan pelukanku. Kutatap wajahnya, cantik ala Gracia, sukar kujelaskan . Dikupingku ia berbisik ,
" Jay, aku seorang istri baik-baik Jay...kamu tahu itu "
aku tersenyum
" Aku juga, aku tak pernah bertengkar dengan istriku "
jawabku nakal
" Suamiku baik sekali Jay ......... "
" Istriku sempurna , Gracia ............. "
" Jadi...." tatapnya menggoda.
" Kita akan tetap menjadi pasangan mereka yang baik." jawabku lembut tapi pasti,. Kukecup keningnya, sebagai tanda perpisahan. Hanya sampai sebatas itu. Tak lebih. Tak kurang. Kemudian kubantu ia mengepak sebuah biola , oleh-oleh untuk suami tercintanya dan tak lupa kuucapkan salam kenal untuk sang suami . Di kamarku sendiri , aku sudah selesai mengepak oleh-oleh untuk Nadia, istri tercintaku , juga untuk Rafi dan Caca, buah hatiku. Casa Italia akan selalu menjadi bagian dari rahasia kami: aku dan Gracia.
Bintaro, Feb 2009
Catatan :
Iro-iro osewa ni narimashita : Terima kasih untuk segala-galanya
Iie Doitasimashita : Terima kasih kembali
Oyasuminasai : Selamat Tidur
Omiyage ; Oleh-oleh