Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Muak dan Perubahan Radikal

13 Mei 2012   02:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:22 172 0
Tony Blair sempat geleng-geleng kepala ketika dalam sebuah pertemuan dengan Sarkozy -- waktu itu masih dalam kapasitas sebagai menteri -- membisikkan kepadanya, "Saya akan segera memimpin Perancis." Ucapan itu pun terbukti, Sarkozy segera memulai kariernya di kancah politik Perancis dari sayap Kanan-Tengah (nasionalis moderat), dan menjadikan Perancis terlena oleh ambisi dan retorikanya.

Pemilu berikutnya pun datang, orang sperti Sarkozy akhirnya takluk, sesuatu yang agak mustahil, karena dari retorika, kepercayaan diri, bahkan ambisi, dia seakan tidak punya tandingan di Perancis, bahkan Eropa. Singkat cerita, hampir tidak ada yang menduga dia akan terhempas dari Hollande, tak terkecuali kekalahannya di Paris, sebuah kota yang diprediksi akan menjadi lumbung suara Sarkozy. Belum lagi melihat peran Sarkozy yang sudah berjanji kepada Uni Eropa dan tentu saja Jerman sehingga keduanya jelas menjadi tulang punggung utama bersama proyek penyelamatan Uni Eropa dari krisis, dan untuk itulah duet dua pemimpin kedua negara ini disebut Merkozy (Merkel-Sarkozy). Namun apa daya, Sarkozy terjungkal, rakyat Perancis ternyata tidak sedermawan yand diduga, tidak pula bangsa yang suka berhemat, dengan demikian, kebijakan penghematan anggaran yang dijual Sarkozy menjadi blunder yang signifikan. Rakyat Perancis butuh lebih dari sekedar penghematan, mereka butuh perubahan, dan sayap kirilah yang menjanjikannya.

Serupa tapi tak sama, Vladimir Putin pun menjadi sebuah ikon fenomena yang mirip dengan Perancis tersebut. Pasca runtuhnya Uni Sovyet oleh karena keinginan mereka akan perombakan total dalam tatanan bernegara (dari Sosialis, digerus oleh Perestroika dan Glasnost), satu dekade berikutnya, mereka justru kembali dan sedang gandrung menikmati masa-masa sosialis (dengan istilah Demokrasi Terpimpin), yang kali ini digenggam oleh hegemoni Vladimir Putin untuk ketiga kalinya.

Namun ada sesuatu yang bisa dipelajari dari situasi dan kecenderungan ini. Mirip dengan Indonesia yang dulu sangat benci dengan Soeharto dalam gaya otoriter pemerintahannya (32 tahun) -- yang akhirnya menuntut sebuah perubahan total, reformasi, -- malah dirindukan kembali oleh banyak kaum, dan mulai berpikir bahwa gaya Soeharto inilah yang menjadi solusi tunggal atas permasalahan bangsa, sebuah implikasi logis dari kaum yang frustrasi mengharap-harapkan perubahan oleh karena pemerintahan yang gagal!

Bukan, bukan gagal di ranah yang terhormat seperti yang Sarkozy alami. Kegagalan bernegara kita tidak lebih dari sebuah kegagalan pemerintah untuk menjadi pemerintah sebagaimana mestinya, tidak ada martabat, tidak ada lagi wibawa, bahkan menjadi pemerintah yang paling terhina sepanjang sejarah republik ini berdiri.

Untuk dalil atas fenomena di Rusia dan Perancis, mungkin ini valid, sejarah membenarkannya. Namun, bagaimana dengan Indonesia? Benarkah Demokrasi Konstitusional yang telah "dinikmati" sejak 2002 benar-benar sudah sedemikian memuakkan bangsa ini sehingga kita merindukan kembali masa-masa terkungkung oleh tirani ala Soeharto?

Demokrasinyakah yang salah? Atau hanya hanya bagian darinya -- pemerintah -- yang sedemikian tak berwibawanya sehingga rakyat justru merindukan tatanan kehidupan lama?

Menarik untuk melihat sejauh mana titik jenuh berdemokrasi bangsa ini...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun