Sebuah perjalan ke Pulau Enggano, 90 mil dari Bengkulu ke arah Selatan di Samudera Hindia, memberiku banyak pengalaman yang sulit untuk digambarkan. Aku galau! Aku memang hanya seminggu berada di antara mereka, berbicara, dan mencoba melihat dunia dari sudut pandang mereka. Aku melihat betapa kayanya hidup mereka walaupun aku tau, lewat perspektifku yang materialis dan numeris (khas masyarakat peradaban maju) mereka sama sekali "tidak layak" untuk disebut sejahtera.
Aku pun belajar untuk menikmati hidup yang seperti ini. Hidup yang sangat bergantung pada alam: badai, angin, matahari, dan ombak di pantai, dan mencoba bersyukur walau hanya punya ikan asin, tahu tempe, dan sayur dari halaman untuk dijadikan santapan sehari-hari. Namun mereka tidak mengeluh, mereka menjalani hidup tak wajar di tengah isolasi samudera, dan ketidak-pastian menuai hasil ladang oleh kondisi alam yang ekstrim.
Awalnya aku bingung dan tidak habis pikir bagaimana hidup dengan mengandalkan matahari dan tanpa komunikasi? Jangankan untuk internet, untuk menjalani malam pun mereka harus terbiasa dengan gelap gulita yang mengisi semua ruangan. Aku pun sadar, dengan cara inilah aku bisa menikmati sepenuh betapa banyaknya bintang yang bertaburan di langit sana. Kekuatan mereka menjalani hidup seperti cambukan bagiku untuk lebih kuat dan bersyukur atas hidupku sekarang, sambil berjuang untuk menempa diri menjadi "sesuatu" yang berguna bagi hidup banyak orang seperti ini. Yap...ini pulalah yang memampukanku untuk bertahan selama 12 jam sepanjang malam terombang-ambing badai dan ombak di tengah Samudera Hindia.
Aku pun punya kesempatan untuk bertugas lagi ke Utara, kali ini ke dekat negara tentangga, Bintan. Memang benar akses komunikasi dan barang-barang mewah tidak sulit ditemukan di sana. Tapi, dua minggu di sana dan berada di tengah-tengah mereka memberiku kesimpulan yang mungkin kurang enak untuk dipikirkan. Anda tidak mungkin bisa loyal dan mengagungkan negara tempat tinggal ketika hampir semua fasilitas dan kenikmatan yang mereka terima bersumber dari investasi negara lain di sekitar mereka. Aku akhirnya terbiasa melihat mereka lebih nyaman dengan $ Singapore, karena dengan inilah mereka menemukan cara hidup, bukan dari pemerintah negara mereka. Pemerintah malah jadi benalu dengan seabrek pungutan di luar pajak, alih-alih menjadi tempat mengadu akan kerasnya hidup di perbatasan.
Kegalauan pun mencapai puncak ketika seorang nelayan tua yang melihatku sibuk meneliti laut, tiba-tiba datang dan menarik tangan kami hanya untuk mengajak melihat kondisi tempat tinggal mereka. Dia tampak depresi, tak tahu harus ke mana untuk mengadu. Dia haus untuk didengar dan dilihat. Dia menaruh harapan akan kami untuk memperbaiki kondisi sanitasi, sampah, dan kesehatan di daerah tempat tinggalnya. Dia pikir aku adalah sarjana yang siap untuk menyelesaikan semua permasalahan mereka--orang-orang yang berjuang hidup demi sesuap nasi--dengan penelitian yang kukerjakan ini (walaupun aku tahu, masalahnya bukanlah sesuatu yang diajarkan dalam disiplin ilmuku). Dia ingin aku melihat betapa mengerikannya hidup mereka bersama timbunan sampah dan kerasnya hidup di laut, hanya karena mereka tahu pemerintah tidak akan memperhatikan hidup mereka. Mereka hidup atau mati hari ini, merekalah yang menentukannya. Mereka Tuhan atas diri sendiri. Dan mereka pemerintah atas tatanan keberlangsungan danĀ hidup mereka sendiri.
Lalu aku pun pulang ke kota tempatku menimba ilmu, Bandung. Hatiku hancur melihat saudara-saudaraku. Ketika di ujung nusantara (menjadi gerbang bangsa di perbatasan) sesamaku berjuang untuk hidup dengan mengandalkan matahari, hidup untuk sesuap nasi dan menjadi korban ketidak-adilan, saudara-saudaraku di sini malah mengeluh dan mengutuki kondisinya hanya ketika mengantri untuk bisa membeli tiket konser artis dan antrian sajian makanan fast food yang ratusan kali lipat lebih mahal daripada kebutuhan makan satu keluarga di sana.
Hatiku pun hancur melihat saudara-saudaraku mengutuki dosen, teman, dan apapun yang ada di sekitarnya oleh karena ketidak-nyamanan kecil yang mereka rasakan, dan membiarkan keluhan dan kutukan itu terpaparkan secara sengaja di dunia maya.
Ini selalu terngiang, ketika sesamaku tertawa bersama dalam kegelapan malam hanya ditemani lilin dan sayur serta ikan asin untuk makan malam (sambil berharap pasokan beras akan datang dari seberang samudera jika tidak badai), saudaraku di sini malah menghimpun massa untuk menghabiskan waktu dan uangnya di tempat-tempat hiburan mahal demi memuaskan hasrat diri yang ingin menikmati hidup.
Lalu aku pun tertawa dan memantapkan langkah. Aku tahu di luar sana ada banyak orang melakukan sesuatu untuk membuat lingkungan sekitar lebih baik. Aku tau aku tidak sendiri! Banyak pun kaum yang apatis dengan lingkungan sekitar, banyak pula mereka yang menghabiskan hidupnya untuk kepentingan dan kesejahteraan orang banyak.
Siapapun Anda, yang merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi negeri ini, ketahuilah, Anda tidak sendiri. Mulailah dengan membangun diri Anda, mulailah peduli dunia sekitar Anda, dan lakukan sesuatu bagi mereka, mulai dari hal yang paling kecil sampai nantinya TUHAN mempercayakan hal-hal yang besar padamu, untuk sesamamu.
Jika permasalahan bangsa/negeri ini adalah seekor gajah, dan Anda hanyalah seekor semut merah, maka Anda HANYA bertanggung jawab untuk "menggigit" satu bagian kecil gajah tersebut dan memastikan setelah Anda menggigitnya, gajah itu bukan gajah sama lagi. Dia hanyalah gajah 99,99% oleh karena Anda telah memakan 0,01% dari bagian tubuhnya. Dia bukan gajah yang utuh lagi dan Anda punya bagian di dalamnya.
Lakukan sesuatu, teman!
Lakukan sesuatu demi perubahan...