Kalimat –kalimat yang kuronce untuk memulai catatan impresiku tentang Kedai Kopi Apek, terkatung menggantung. Berkali-kali. Tak puas aku, rasanya tak cukup bobot untuk menggambarkan tempat yang sudah hampir menjadi institusi di kalangan masyarakat Medan, a legend.
Bahwa Kedai Kopi Apek ini sudah jadi legenda, baru kuketahui belakangan lewat riset kecil di internet dan koran-koran. (Diperkirakan berdiri sejak awal 1900-an, dikelola oleh ayah sang Apek, the patriach, bernama Thia A Kee dan istrinya Khi Lang Kiao, yang datang dari daratan Tiongkok. Dan karena ini berada di daerah perniagaan Kesawan, maka pengunjungnya kebanyakan para pegawai perkebunan zaman Belanda. Salah dua di antaranya adalah perusahaan perkebunan dan perdagangan karet Harisson Crosfield yang sudah berkiprah di Sumatera bahkan di penghujung abad 19, dan London Sumatera yg akhirnya mengakuisisi aset Harrison Crosfield hampir seratus tahun kemudian. Konon tempat ini juga banyak didatangi oleh wisatawan dari negeri tetangga. Begitu bekennya tempat ini, Kompas menulis tentang Apek tanggal 8 Juni 2008. Saat itu Thaia Tjo Lie, begitu nama aslinya, berusia 86 tahun. Begitu kurang lebih hasilku meriset kedai ini.)
Namun ketika kusamperi pertama kali, susah kubayangkan kelegendarisaannya. Bangunan yang terletak di perpotongan jalan Hindu dan Perdana, serta di seberang Pasar Hindu ini, terkesan tak terawat dan terlupakan.