Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa

Rumah Aspirasi

6 Agustus 2010   14:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15 161 0
Kali ini  wakil rakyat agak "berhati-hati" dalam mencipta istilah. Setelah "dana aspirasi", kini DPR memunculkan istilah baru: "rumah aspirasi". Sebenarnya istilah ini bukan baru muncul kemarin-kemarin. Dalam konsep yang berbeda,  frasa "rumah aspirasi"  telah diperkenalkan  oleh  beberapa fraksi di DPR untuk mendekatkan diri pada konstituennya. Beberapa tahun yang lalu (2005), misalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pernah memperkenalkan istilah sejenis, yakni 'rumah aspirasi rakyat" yang beralamat di sekitar Jakarta Selatan. Demikian pula pada awal tahun Partai Demokrasi Indonesia Pembaruan (PDIP) telah memperkenalkan istilah serupa: "rumah aspirasi rakyat" dengan meresmikan pemakaiannya di daerah Sumatera Utara. bahkan PDIP  mengklaim "rumah" itu sebagai "rumah aspirasi rakyat pertama" di Indonesia. Ada pengeksplisitan dengan kata "rakyat" dalam kasus PKS dan PDIP, karena mereka memang berusaha lebih gamblang kepada konstituennya dan secara kebahasaan ingin sampai pesannya secara tepat di konstituennya.

Agaknya bahasa sebagai alat komunikasi bisa pula difungsikan secara implisit oleh si pemakainya. Ada fungsi-fungsi tertentu yang tidak tampak eksplisit dalam bentuk ujarannya dengan maksud dan tujuan tertentu, tapi terkadang terasa secara intralingual. Fenomen inilah yang membuat bahasa, dalam konteks ini, ujarannya, sering berkorelasi tidak sesuai dengan referennya. Sebuah pemanfaatan atau eksploitasi bahasakah perilaku ini? Jawabannya tentu bergantung pada sudut pandang yang dipakai.

Istilah yang dilemparkan kali ini oleh  kalangan DPR terasa lebih netral dan tulus walau masih mengambang. Mungkin, mereka takmau terjadi kontroversi lagi di masyarakat atas istilah yang diajukan, sebagaimana istiah "dana aspirasi". Padahal, dari sisi  pencipta, istilah "bana aspirasi" justru lebih jantan dan jelas. Bisa jadi bukan itu yang ingin dicapai..

Kata "rumah" jelas berkonotasi berbeda dengan kata "dana", yang terlalu polos merujuk pada 'uang, modal, kapital, anggaran', dll.  Dengan kekata lain,  "rumah" lebih tersirat ketimbang "dana" walau ujung-ujungnya bermuara ke sana. Terpilihlah kata itu mendampingi (tetap)  kata "aspirasi", yang memang bermakna positif: 'dambaan, keidealan, yang dicita-citakan, idaman, dst'.

Kembali pada istilah "rumah aspirasi" yang baru didengungkan oleh sebagian anggota DPR.  Pada konstruksi tersebut, yang gamblang berbeda dengan pemakaian istilah PKS dan PDIP adalah kata "rakyat". Frasa "rumah aspirasi" membiaskan penafsiran di awang-awang. Dalam bahasa, konstruksi demikian akan menimbulkan ketaksaan (keambiguan).  Biasanya, bahasawan sangat menghindari bentuk-bentuk taksa tersebut karena khawatir pesan  yang sampai di komunikan berbeda dengan yang dimaksudkan. "Rumah aspirasi" setipe dengan, antara lain,  "rumah dambaan", "rumah masa depan",  dan "rumah idaman".  Konstituen "dambaan", "masa depan", dan "idaman" menyiratkan kepemilikian: dambaan siapa? Demikian pula kata "aspirasi". Aspirasi siapa? Sebenarnya, dengan pemakaian kata "rakyat" ketaksaan akan hilang. Kenyataan itu agaknya disadari betul oleh PKS dan PDIP, hingga yang digunakan mereka adalah "rumah aspirasi rakyat".  Ada benang merah yang jelas antara pemakaian ujaran dan referennya di situ. Pertanyaannya, dalam frasa "rumah aspirasi", milik siapakah aspirasi itu? Kalangan DPR pastilah cerdas-cerdas. Mereka bukan tidak tahu istilah "rumah aspirasi" mengambang. Mereka pasti memiliki pertimbangan tersirat dalam pemakaian "rumah aspirasi". Jangan berprasangka buruk dulu kita. Bisa jadi argumentasi mereka sangat mulia, yakni khawatir menimbulkan kontroversi istilah lagi dimasyarakat.  Bukankah yang penting esensinya? Demikian mungkin pertimbangan mereka. Sebaliknya, bukankah jika dieksplisitkan dengan "rumah aspirasi rakyat",  kita akan bertanya, rakyat yang mana? Kan kita tidak menyuruh mereka mengusulkan atau meminta dana  untuk "rumah aspirasi rakyat". Akh, mengapa ujung-unjungnya "dana" juga. Jadi, apa bedanya dengan "dana aspirasi"? Boleh jadi, yang terakhir ini mungkin yang dikhawatirkan pengusung usul "rumah aspirasi".

Secara psikologis, pemakaian kata "rakyat" juga akan mendekatkan "topik" yang diangkat pada konstituen "rakyat". Rakyat pun, yang semula tidak terlalu peduli pada topik "rumah aspirasi",  menjadi  "engeh" dan kritis. Bisa dibayangkan konstroversi dan  berbagai komentar akan lebih besar dan berdampak pada tujuan tersirat dalam "rumah aspirasi".

Akan halnya secara kebahasaan,  istilah "rumah aspirasi" bisa menjadi bumerang bagi pengusul isitlah. Sebabnya adalah "rumah aspirasi" bersinonim dengan 'rumah idaman" dan "rumah impian".  Jadi,  "rumah aspirasi" sah saja ditafsirkan 'rumah yang diidamkan' atau 'rumah yang didambakan'.  Masalahnya, jika tanpa kata "rakyat', rujukan pemilik "rumah" itu siapa?  Jadilah, multitafsir atau ambigu.  Penafsiran yang paling logis dari sisi kebahasaan atas frasa "rumah aspirasi" (baca 'rumah idaman' atau 'rumah 'impian')   adalah   "pembicara (pengusung usul) yang empunya "rumah aspirasi". Agaknya, para pengusung berpikiran, makna yang terakhir ini tidak terlalu kentara dan berekses sehingga mereka tetap memilih istilah "rumah aspirasi" ketimbang "rumah aspirasi rakyat", misalnya.

Dalam kasus "rumah aspirasi",   pemakaian secara cerdas coba dilakukan oleh pencipta istilah itu. Bahasa, seperti fenomen alam lainnya, ada sisi negatif dan positif. Keduanya bergantung pada kita yang memakainya. Namun, bahasa terlalu polos hingga penelaahan secara kebahasaan selalu menghasilkan kemurnian yang tersirat di sisi ekstralingualnya. Apa yang tersurat secara ekstralingual terkadang tidak selalu tersurat pada  bentuk bahasanya, melainkan tersirat.  Sama dengan gejala "rumah aspirasi",  yang tersurat di luar bahasa hanya si pengusung istilah yang mengetahui. Sebaliknya,  bahasa hanya menyiratkan perilaku pengusungnya. Sekali lagi, pemanfaatan bahasa ataukah eksploitasi bahasa?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun