Menanamkan syair lagu anak-anak era Ibu Soed, Pak AT Mahmud, Bu Kasur dkk kepada anak-anak jaman sekarang jauh lebih sulit daripada mengajarkan cara mencongak. Ambil contoh lagu "Aku Seorang Kapiten". Lagu itu menjadi populer seiring cita-cita anak menjadi seorang kap(i)ten ketika dewasa. Tapi sekarang lagu itu -- bisa dibilang-- sangat tidak relevan dengan cita-cita anak. Suka atau tidak, sekarang mereka memilih pangkat jenderal tanpa mau tahu untuk ke sana harus menjadi kap(i)ten lebih dahulu. Contoh lain adalah lagu" Kring Kring Ada Sepeda". Meskipun si sulung menginginkan sepeda baru dia tidak perlu rajin bekerja membantu ayah (saya) untuk mendapatkannya, kalaupun dia harus membantu imbalannya sudah dipatoknya di depan: PlayStation3! Sulit dipenuhi mengingatt tipi di rumah kami saja masih harus digedor-gedor terlebih dahulu untuk menyelaraskan gambar.
Kembali ke perayaan HAN 2009 yang baru lalu. Dibalik semua kemeriahan perayaan tersebut ternyata tersisa cerita miris tentang seremonial kenegaraan . Entah benar atau tidak, cerita yang tersisa itu seharusnya hanya menjadi rahasia di antara mereka saja. Kalaupun harus terpapar keluar sebaiknya dikemas sedemikian rupa sehingga tampak anggun dan berwibawa. Tanpa memihak apalagi memvonis, selayaknya mereka sebagai guru bangsa dapat memberi contoh yang baik kepada anak-anak Indonesia tentang bagaimana seharusnya menyikapi sebuah pertemanan. Baku bombe (Makassar = tidak bertegur sapa) -- kalau memang itu yang terjadi -- bukanlah sesuatu yang harus di-gugu dan di-tiru. Jika saja, sekali lagi jika saja, anak-anak yang hadir di perayaan tersebut memahami mengapa peresmian acara tidak dilakukan oleh guru bangsa yang disebut-sebut sebelumnya, mungkin mereka akan menambahkan sebuah operete penutup dari sebuah lagu ciptaan Pak AT. Mahmud lainnya:
pelangi-pelangi, alangkah indahmu
merah kuning hijau, di langit yang biru
pelukismu agung, siapa gerangan ?
pelangi, pelangi
ciptaan Tuhan