Tak terbantahkan, hingga hari ini, selain partai Hanura, belum ada partai besar lain yang berani menetapkan siapa capresnya di pemilu 2014. Ketidakberanian partai lain mengumumkan capresnya, dikarenakan masih menunggu siapa capres jagoan PDIP. Keputusan Jokowi atau Mega, menjadi titik episentrum politik yang menarik, sekaligus menjadi penentu peta politik menjelang pemilu 2014.
Selain Hanura, partai Demokrat (PD) pun sudah ancang-ancang menetapkan capres 2014 melalui konvensi. Memperhadapkan Jokowi dan capres PD, mengingatkan kita pada episode lalu pertarungan Mega Vs SBY. Tapi semoga pemilu kali ini, Mega mengatakan, SBY ini capres jagoan saya (Jokowi), mana jagoan sampean?
Dua kali pemilu, Mega dan partainya kalah telak dipecundangi SBY dan partai demokratnya, yang kala itu popularitasnya meledak-ledak. Di pemilu 2004 silam, Mega yang tampil sebagai petahana, tereliminasi dengan mudah oleh SBY yang kala itu menjelang pemilu menghambur kenestapaan lalu memetik simpatik dan buah kemenagan politik.
Demikian pun di pemilu 2009, lagi-lagi setelah spekulasi menaikan lalu menurunkan harga BBM dan kompensasinya (BLT), SBY meraup keuntungan elektoral luar biasa dahsyatnya. Dan kali ini SBY mencobanya lagi, dengan menaikan lalu menurunkan harga gas elpiji 12 kg, tapi gagal dan ketahuan terik lama mangatrol simpatik. Rame-rame kebijakan gas elpiji itu dihantam media.
Namun kali ini, konfigurasi politik sudah berbeda cita rasanya. Diberbagai survei, elektabilitas PD terus terjungkal dan susah bangkit. Sekian argumen pun dijadikan alasan, terutama terlibatnya kader partai dalam beberapa skandal korupsi. Meskipun faktor rendahnya elektabilitas itu sangat dipengaruhi oleh kinerja pemerintahan SBY di mata rakyat.
Terutama saya, sangat percaya bahwa persepsi publik terhadap PD bukanlah suatu cara pandang "yang tunggal" tapi ragam. Dan tentu rendahnya perolehan elektabilitas PD, sangat dipengaruhi persepsi yang ragam terhadap PD dan kinerja pemerintah yang berkuasa.
Apalagi presiden sebagai kepala pemerintahan juga sekaligus merangkap sebagai Ketua partai. Artinya melihat performa pemerintahan hari ini, sama saja melihat kinerja PD dan partai pendukung pemerintah lainnya. Tapi lagi-lagi, publik lebih suka menyimpulkan sendiri, bahwa kinerja pemerintah adalah kinerja PD.
Fakta inilah yang tengah kita lihat. Alhasil, hingga hari ini, seluruh peserta konvensi capres PD tak mampu meraup perolehan elektoral yang mumpuni. Keberadaan konvensi juga tak menjadi magnet elektoral yang bisa memompa elektabilitas PD, hingga melampaui beberapa partai besar pesaingnya. Buktinya, beberapa survei belakangan, PD masih saja tertinggal jauh dari PDIP dan Golkar. Bahkan Nasdem sudah mulai menyerempet dan menyalip elektabilitas PD. Berulang-ulang, rasanya PD kini susah mengalami ereksi politik.
Dengan demikian, memperlihatkan pertarungan Mega vs SBY dan episode pertarungan berikutnya Jokowi vs capres demokrat, adalah cara yang kita perlu, untuk mengetahui siapa sesungguhnya capres potensial kita. Alhasil, hingga hari ini, dari kesebelas nama peserta konvensi itu, satu pun elektabilitasnya tak bisa menandingi Jokowi. Jokowi masih unggul tak terkalahkan.
Jangankan mereka (peserta konvensi), SBY sekalipun popularitasnya bisa tertinggal jauh di belakang Jokowi. Kasarnya kita boleh bilang, biarkan saja formalitas pemilu itu berlanjut, toh kemenangan sudah di tangan Jokowi. Tapi ini asumsi yang tak saja gila, tapi memantik emosi politisi yang ingin nyapres. Mau nyapres tapi sudah ketahuan kalah. Kira-kira begitu. []