Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Artikel Utama

Menguak Borok Cargo Incoming Garuda Bandara Soeta Jakarta

28 Januari 2014   03:42 Diperbarui: 4 April 2017   18:12 5817 0

Pertama-tama saya ingin memberi tulisan ini dengan judul “Memuntahkan Borok Praktek Percaloan Cargo Incoming Garuda di Bandara Soekarno-Hatta (Soeta) Jakarta”. Memuntahkan bermaksud, segala bentuk makanan yang tak bisa diproses melalui metabolisme normal, terpaksa ditolak oleh organ cerna dan dimuntahkan ke luar saja. Demikian pun praktek percaloan yang momok dan menggelikan di Cargo Incoming Garuda bandara Soeta, sebaiknya dimuntahkan saja ke publik, agar ke depan, masyarakat lebih waspada. Saya ingatkan lagi, perilaku percaloan di institusi layanan publik mana pun, adalah momok yang menjijikkan.

Dulunya, praktek percaloan di cargo bandara Soeta ini berhembus kencang di media. Saya pun beberapa kali membaca tentang ini. Mulai dari kolom surat pembaca, hingga liputan khusus tentang praktek percaloan di beberapa armada penerbangan Soeta. Baik Cargo pengiriman dan pengambilan barang.

Kali ini, saya mengalaminya langsung praktek percaloan itu. Senin, (27/01/2014), saya kebetulan ditugaskan pimpinan kantor di tempat saya bekerja menjemput titipan via cargo Garuda dari Denpasar-Jakarta. Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 419.

Pesawat GA 419 ini terbang dari Denpasar pukul 07.00 WITA dan mendarat di Bandara Soeta ± pukul 20.00 WIB lebih sedikit. Barang titipan itu berupa surat penting yang beratnya tak lebih dari ½ kg dengan nomor Surat Muatan Udara (SMU) : 126-2181-0902 GA.

Kalaupun dihitung 1 kg, maka Tarif Cargo Port To Port ± Rp. 24.000. (Jika berat per-Coli 250 kg, maka harga NORMAL(N) ditambah 100% (Sch100%). Contoh: Harga Normal 12,000 + 100%= Rp 24,000/kg)

Karena tempat cargo Garuda ini berada di arah terminal tiga (3), dan saya pun baru pertama ke tempat ini, maka terpaksa saya tumpangi taksi (TAKSIKU) dengan nomor polisi B 1197 agar tak terlalu sulit menemukan tempat tujuan. Maksud saya, sopir taksi biasanya mahir dan hafal tempat seperti bandara dan terminal. Setelah singgah dan bertanya di beberapa tempat, akhirnya saya tiba juga di Cargo Incoming Garuda.

Sesuai dengan petunjuk beberapa staf di Cargo Incoming, tempat pertama yang saya datangi adalah, pusat informasi dan pelayanan terpadu. Letaknya tak jauh dari pintu masuk Cargo Incoming. Saya harus mengisi nama, nomor SMU dan pas untuk kendaraan yang saya tumpangi. Anehnya, yang melayani saya adalah orang luar (bukan staf cargo). Ia tanpa seragam dan Id card. Namanya Sumardi. Sementara staf cargo asyik main game komputer tanpa menghiraukan aksi calo yang duduk di depannya.

Entah ini persekongkolan mafia atau apa, saya pun biarkan saja. Memang maksud saya ingin menyelam lebih jauh (investigasi), geliat percaloan cargo Bandara Soeta seperti yang diumbar media. Ternyata betul, calo yang bernama Sumardi, entah nama asli atau palsu, pria berkumis, dengan peci hijau dan rambutnya sedikit gondrong ini langsung menyambar masuk ke dalam taksi yang saya tumpangi. Padahal saya tak memintanya masuk.

Di pos masuk Cargo Incoming Garuda, sang calo Sumardi sudah memintah saya uang Rp 10.000. Saya tanya, "Ini untuk apa Pak?" Jawabnya, "Biar aman Pak urusan kita ke dalam." Saya pun mengambil uang Rp 10.000 yang kebetulan sudah saya siapkan di saku baju depan. Tiba di depan loket cargo incoming, mas calo ini lantas minta nomor SMU barang kiriman. Saya pun menyebut angka SMU yang tersimpan di handphone.

Yang saya pantau dari gelagat calo Sumardi, ia begitu lincah dan mondar-mandir ke dalam hingga tembus meliuk ke tempat pembongkaran cargo. Anehnya, tak satu pun staf cargo yang menegurnya. Padahal, ini sangat berisiko bagi barang kiriman. Apalagi calo ini masuk ke dalam gudang cargo tanpa identitas apa pun.

Di saat yang sama, semua sistem komputer yang ada di Cargo Incoming Garuda tak berfungsi. Dengan begitu, praktek percaloan ini semakin liar dan beringas. Karena para pengambil barang terpaksa harus membayar lebih untuk meminta calo, staf cargo dan porter mencari barang titipannya.

Semakin berat barang, semakin besar pula bayaran tagihannya. Beberapa orang yang duduk di ruang tunggu pun saya tanya ihwal pungutan janggal ini. Pengakuan mereka, memang harus bayar berlapis hingga ke porter dan orang gudang, agar proses mengambil barang bisa lebih cepat. Belum lagi sistem komputer yang biasa mengidentifikasi barang kiriman rusak total, sehingga nilai penawaran jasa percaloan pun semakin menemukan bargaining-nya.

Hampir satu jam saya menunggu, akhirnya calo Sumardi datang dan membawa barang kiriman saya. Kami pun (saya dan calo) terlibat diskusi kecil

Kata calo ini, "Pak bayar uang gudangnya Rp 50.000."

Tanpa protes berbusa saya langsung memberi Rp 50.000 kepadanya.

Namun saya memberinya sambil sedikit tanya, "Rp 50.000 ini sekalian untuk Bapak kan?"

Jawab calo Sumardi, "Kalau saya uang jasa aja Pak Rp50.000." Saya sebenarnya maki-maki, tapi pake Bahasa kupang-NTT, "Cukki mai!"

Jadi malam itu, untuk mengambil kiriman dukumen yang berat tak lebih dari ½, saya bocor Rp 100.000.

Saya memang tahu permainan liar seperti yang dilakoni calo Sumardi yang berjejaring dengan staf cargo. Di depan ruang loket tertulis jelas SOP pelayanan dan berapa biaya administrasi. Di situ, tak ada satu pun poin yang mencantumkan pungutan sejumlah Rp 100. 000 seperti yang dilakoni Sumardi dan orang dalam cargo. Biaya administrasi sebenarnya cuma Rp 20.000,-

Maksud saya menyampaikan tulisan ini, agar ke depan para pembaca, masyarakat luas dan khususnya sahabat-sahabat kompasioner, lebih hati-hati bila berurusan dengan praktek percaloan di cargo Garuda, ataupun di armada penerbangan lainnya, seperti yang saya alami. []

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun