PERTAMA, kekuasaan cenderung akan menciderai kepercayaan publik ketika kekuasaan mengabdi kepada kepentingan keuntungan. Pengejaran keuntungan tidak berarti menjadi pelanggaran hukum. Melainkan ketika keuntungan yang diperoleh diluar batas kewajaran, apalagi dilakukan dengan memanipulasi. Kekuasaan yang berkoalisi dengan pelaku usaha dapat membahayakan keseimbangan politik. Dimana kekuasaan yang sudah terjebak pada transaksi politik akan mengabdikan dirinya memulihkan kehilangan keuntungan yang dikeluarkan untuk mencapai kekuasaan.
Kekuasaan yang diperoleh dengan mengandalkan keutamaan dukungan finansial akan ditagih di kemudian hari untuk mengembalikan segala biaya yang dikeluarkan. Kekuasaan yang tidak ditransformasi dari dukungan publik, melainkan mengutamakan uang untuk mengkonversi dukungan politik atau dalam rangka melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan akan mengupayakan dengan berbagai strategi agar mendapatkan uang.
KEDUA, pelaku usaha atau pengusaha merupakan pihak yang hanya memikirkan profit untuk mempertahankan keberlangsungan perusahaan. Fokus kepada profit tidak dapat dipersalahkan asalkan tidak berupaya mengambil hak-hak masyarakat untuk menikmati pelayanan publik yang lebih bermakna. Menghalalkan segala cara untuk memperoleh profit akan mengganggu kepentingan publik ketika pengusaha menggunakan kemampuannya untuk mempengaruhi kekuasaan. Usaha untuk mempengaruhi kekuasaan tidaklah tabu. Namun ketika kekuasaan memberikan keistimewaan dan menciderai persaingan sehat maka motif keuntungan berubah menjadi malapetaka bagi masyarakat.
Malapetaka yang ditimbulkan oleh koalisi penguasa dan pengusaha adalah mengalirnya dana publik ke kantong-kantong para pihak yang berkoalisi. Dana publik terserap bukan untuk melayani kepentingan publik, melainkan memuaskan ketamakan pihak yang berkoalisi dengan mengupayakan ketidakwajaran keuntungan. Distorsi kekuasaan yang berwujud pada guliran materi menghilangkan kesempatan publik menikmati potensi pelayanan yang bisa diberikan ketika biaya yang dinikmati penguasa dan pengusaha digunakan untuk pembangunan lainnya.
KETIGA, peran masyarakat dalam mengontrol pelaksanaan pembangunan menjadi penting. Pada kasus JLS, peran masyarakat seolah seperti invisible hand yang mampu memberi pengaruh berupa tekanan ke aparat penegak hukum agar memproses dugaan korupsi di pembangunan JLS. Peran masyarakat seperti ini kurang bagus, karena membuka diri terhadap potensi korupasi berupa tawar menawar. Artinya korupsi melahirkan korupsi khususnya bagi pihak yang selama ini menyuarakan pemberantasan korupsi.
Peran serta masyarakat dalam mengawasi pembangunan perlu termanifestasi dalam sebuah kesadaran masif bahwa kekuasaan berpotensi diselewengkan oleh siapapun. Penyelewengan tersebut akan menjauhkan publik dari kesempatan menikmati pelayanan yang optimal dari pemerintah. Kesadaran masif perlu diupayakan dengan membongkar ketidakpedulian dan kelebihan kepercayaan terhadap pemegang kekuasaan. Upaya ini menjadi bagian tersulit karena rakyat dihadapkan pada pilihan antara kehidupan diri/keluarga atau melayani kepentingan publik.
JLS telah menjadi fenomena di Salatiga berkaitan dengan jumlah rupiah korupsinya dan pihak yang terlibat. Tentunya ini tidak akan menjadi pelajaran berharga apabila tidak mampu membangkitkan kesadaran pemangku kepentingan kota terhadap jalannya roda penyelenggaraan pemerintahan. Korupsi kerugiannya tidak dapat di indera oleh publik, namun dampaknya dapat diketahui setelah beberapa waktu.