Dalam pemilihan umum (pemilu), untuk menentukan pemenangnya maka calon pemimpin yang memperoleh suara terbanyak akan ditentukan sebagai pemenang. Apakah dengan demikian bahwa terpilihnya calon pemimpin tersebut sudah mencerminkan kehendak rakyat? Kehendak rakyat yang termanifestasi dari pilihan politik dapat dinyatakan sebagai kehendak tuhan atas pemimpin masyarakat tersebut? Apakah kemudian suara mayoritas dapat merepresentasi suara rakyat, sehingga dapat dinyatakan sebagai suara tuhan?
Ketiga pertanyaan tersebut adalah perenungan terhadap praktek demokrasi Indonesia saat ini. Nilai demokrasi yang tertransformasi di benak masyarakat adalah suara terbanyak adalah kekuasaan untuk melaksanakan sebuah kepentingan. Kepentingan akan memperoleh legitimasi untuk dilaksanakan sejauh mendapat dukungan dari suara terbanyak. Nilai ini tanpa kebijaksanaan, atau minus kehati-hatian akan mengarahkan pada tirani mayoritas. Sebagaimana dituliskan dalam surat Alcuin, "Nec audiendi qui solent dicere, Vox populi, vox Dei, quum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit." (English translation: And those people should not be listened to who keep saying the voice of the people is the voice of God, since the riotousness of the crowd is always very close to madness) - http://en.wikipedia.org/wiki/Vox_populi.
Mayoritas dapat hanya menjadi sekumpulan massa yang memiliki kehendak tertentu. Dengan kekuatan massa yang dihitung dari aspek kuantitas, potensi untuk memaksakan kehendak menjadi besar. Dan apabila mengacu pada vox populi vox dei, maka suara rakyat yang ditentukan dengan jumlah suara terbanyak (mayoritas) dapat melahirkan kesewenang-wenangan karena memperoleh legitimasi transendental yaitu Tuhan. Bahkan tanpa harus menggunakan legitimasi transendental, mayoritas dapat menjelma menjadi leviathan (istilah Hobbes) yaitu binatang buas yang dapat memangsa kebebasan manusia. Mayoritas dapat mengatur dirinya sendiri dengan keuntungan yang mengutamakan individu yang menjadi bagian dari mayoritas, dan mengesampingkan kelompok minoritas yang kalah jumlah dalam perebutan pengambilan keputusan.
Kepala daerah terpilih dalam pilkada dengan mekanisme pengambilan keputusan suara terbanyak, ternyata berhasil melahirkan kepala daerah yang korup. Apakah kemudian mayoritas merestui kepala daerah menjadi korup? Demokrasi yang teranomali karena tercemar politik transaksional menjadikan pilihan publik didasarkan sejauhmana besarnya nilai transaksi yang diperoleh. Kedaulatan rakyat belum menyentuh aras substansi, dimana rakyat memilih berdasarkan kualitas personal bukan pengaruh dari citra yang rapuh dan menyembunyikan karakter busuk atau sejumlah materi yang ditawarkan calon pemimpin yang berkompetisi.
Pengambilan keputusan dengan mekanisme suara terbanyak masih menjadi keutamaan. Dan untuk menjadikan suara mayoritas yang merepresentasi suara publik terbanyak, kebijaksanaan publik dari hasil kematangan berpikir dalam mengambil keputusan perlu terus diajar dan dilatihkan ke masyarakat. Menjadi berpengalaman dalam meraih kebijaksanaan membutuhkan proses panjang. Yang perlu diperhatikan adalah tingkat kelelahan publik terhadap proses panjang ini. Karena publik bisa mengalami anti demokrasi dan mengesampingkan demokrasi untuk mencapai kesejahteraan. Keinginan anti demokrasi adalah bahaya terbesar yang harus di sadari. Publik hanya melihat permukaan atau hasil demokrasi yang teranomali, tanpa mau menelusuri faktor kesalahan yang melekat pada individu yang mudah dirayu oleh pemimpinnya.