Tulisan ini tidak ingin mengupas lebih jauh tentang Ariel, fans-nya atau pembebasan bersyaratnya Ariel. Melainkan mencoba menjadikan pembebasan Ariel sebagai fenomena yang berguna untuk membandingkan sikap masyarakat kita terhadap koruptor. Perbandingan ini dilakukan dengan titik pijak bahwa Ariel dan koruptor merupakan individu yang sudah divonis bersalah oleh hakim. Koruptor adalah pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime), dimana pelakunya hanya bisa dilakukan oleh individu dengan jabatan/kedudukan dan tingkat pendidikan tertentu. Vonis bersalah koruptor dan kebebasan dari menjalani proses hukum oleh koruptor tidak menyurutkan langkah masyarakat untuk mengagumi koruptor tersebut.
Koruptor tetap bisa terpilih sebagai kepala daerah atau anggota legislatif. Mereka juga tetap mendapatkan penghormatan masyarakat ketika kembali ke lingkungan (asal) mereka. Individu yang sudah divonis korupsi masih mendapatkan tempat di 'kelas sosial' tertentu sehingga mereka 'pantas' mendapatkan 'keistimewaan' di tengah masyarakat. Koruptor masih disanjung ketika hendak maju ke pemilu atau pilkada. Mereka didorong untuk maju, dan didukung penggalangan massa pendukungnya. Fenomena ini seolah menunjukkan amnesia publik atas vonis bersalah yang dihujamkan kepada perbuatan koruptor.
Amnesia publik ini, apakah betul merupakan lupa atas vonis bersalah ataukah sikap permisif atas perbuatan yang dilakukan yaitu korupsi? Menyandingkan Ariel dan koruptor, dengan mengacu pada sambutan atau sikap penerimaan yang ditunjukkan akan mengarah pada keberadaan sikap permisif atas perbuatan kejahatan. Masyarakat yang mengecam penyambutan Ariel adalah masyarakat yang tidak bertoleransi atas perbuatan Ariel. Dan fans yang menyambut, bukan berarti permisif tetapi besarnya kekaguman atas pribadi Ariel mengalahkan fakta dan rasionalitas bersalah atas suatu perbuatan. Demikian yang terjadi atas sikap masyarakat kepada koruptor. Masyarakat menerima koruptor tidak permisif, melainkan kekaguman atas prestasi yang pernah diraih mengesampingkan perbuatan korupsi yang sudah divonis bersalah.
Sikap-sikap yang ditunjukkan masyarakat tetap membuka ruang permisif atas perbuatan jahat yang bertentangan dengan hukum. Ruang permisif memberikan kesempatan untuk tetap menerima setiap individu yang melakukan kesalahan. Bahkan kesalahan yang merugikan banyak orang masih tetap diterima dengan tangan terbuka, ditambahi dengan puja-puji terhadap individu tersebut. Ruang permisif tersebut tidak hanya bagi aktor atau pelakunya, melainkan juga atas perbuatan yang dilakukan. Perbuatan yang merugikan dianggap wajar atau biasa saja bahkan untuk koruptor masih terbuka peluang lagi untuk bisa terpilih menjadi kepala daerah atau legislatif.
Refleksi ini untuk kita. Cermin yang ada didepan kita dari berbagai peristiwa di masyarakat mampu menunjukkan letak kekurangan sosial kita. Mari bersama berbenah dengan tetap mengutamakan kepentingan bangsa Indonesia. Indonesia sebagai satu kesatuan yang didasarkan pada penghormatan atas keanekaragaman yang membentuknya. Dan jangan seperti peribahasa, 'buruk rupa cermin dibelah', dengan menghadirkan fenomena sosial seperti ini menjadi bahan perenungan kita untuk menjadi bangsa yang lebih baik.