"In the case of Indonesia (PSSI), the Executive Committee decided to give a last chance to the PSSI by granting the normalisation committee an extended deadline of 30 June 2011 to organise elections according to the relevant regulations and previous FIFA decisions, in particular that the four banned persons remain ineligible, and to bring the breakaway league back under the control of the PSSI. The Executive Committee decided that, should the conditions not be met by 30 June 2011, the PSSI would automatically be suspended on 1 July 2011." (http://id.berita.yahoo.com/kali-ini-fifa-serius-ultimatum-sanksi-indonesia-181410722.html)
Kalimat terakhir harus menjadi perhatian seluruh stakeholder sepakbola Indonesia 'The Executive Committee decided that, should the conditions not be met by 30 June 2011, the PSSI would automatically be suspended on 1 July 2011'. Pertama, komite normalisasi mengemban tanggung jawab dan beban yang berat untuk mensukseskan kongres ketiga nanti dengan hasil nyata yaitu terpilihnya ketua, wakil ketua dan anggota komite eksekutif. Kedua, ketika komite normalisasi gagal melaksanakan kongres dengan hasil yang ditentukan maka PSSI otomatis pada tanggal 1 Juli 2011 akan terkena sanksi FIFA.
Pernyataan FIFA pada rilis tersebu menciptakan kegentingan atau kedaruratan pada sepakbola Indonesia. Kedaruratan ini harus menjadi kesadaran para stakeholder PSSI dalam menghadiri kongres ketiga. Pertanyaannya adalah apa keterkaitan antara kegentingan PSSI dan Pancasila? Pertanyaan yang tidak sekedar retorika di harlah Pancasila tanggal 1 Juni 2011 ini, tetapi substasial menjadi dasar dalam mencari solusi dari polarisasi kekuatan yang ada.
Sila keempat 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan' dapat mengilhami stakeholder dalam menyelesaikan kemelut dan meredakan kegentingan dari situasi konflik yang melanda. Mungkinkah perbedaan pendapat yang ada dapat dijembatani melalui musyawarah? Khususnya perbedaan pendapat antara Kelompok 78 yang (tetap) akan mengusung George Toisutta-Arifin Panigoro (GT-AP) dalam kandidasi ketua umum dan wakil ketua PSSI dengan FIFA c.q komite normalisasi.
Musyawarah seperti apakah yang bisa melahirkan kesepakatan ketika kelompok 78 (K78) tetap ngotot mencalon GT-AP? Kengototan yang didasakan pada pola pikir mengapa calon mereka ditolak (ineligible) sebagai calon ketum dan wakil ketua oleh FIFA. Karena menurut K78, calon mereka sah dan berhak menjadi calon ketum dan wakil ketua. Untuk AP, dasarnya adalah LPI yang menurut FIFA disebut sebagai breakway league atau liga yang memisahkan diri. AP sebagai penggagas LPI atau aktor yang melahirkan liga yang terpisah dari kompetisi resmi PSSI.
Untuk GT, memang FIFA tidak secara jelas memberikan alasan. Dan ketidakjelasan tersebut memang sempat dipertanyakan pada kongres kedua 20 Mei 2011 yang lalu oleh K78, dan komite normalisasi atau pengurus FIFA yang hadir tidak memberikan penjelasan mengenai ketidakberhakan GT maju sebagai calon ketua umum PSSI. Ini menjadi tugas dari FIFA untuk memberikan alasan penolakan terhadap figur GT untuk menjadi calon ketum PSSI. Namun dari sudut pandang UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang menyatakan pengurus komite olahraga (nasional dan daerah) bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik. Jabatan struktural adalah suatu jabatan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang pegawai negeri sipil dan MILITER dalam rangka memimpin satuan organisasi negara atau pemerintahan antara lain jabatan eselon di departemen atau lembaga pemerintahan non departemen. Sebagaimana kita ketahui bahwa GT saat ini menduduki jabatan sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD).
Bertolak dari fakta-fakta tersebut, musyawarah dilakukan untuk mencapai mufakat. Adapun musyawarah didasarkan pada fakta bahwa GT-AP dinyatakan sebagai ineligible persons oleh FIFA dan ini harus diterima oleh K78. Selama K78 tidak berterima dengan fakta ini maka sampai kapanpun komite normalisasi tidak akan bisa menyelenggarakan kongres dengan hasil yang diharapkan. K78 harus menyadari otoritas FIFA dalam menyatakan seseorang tidak berhak untuk dicalonkan. Bukan dalam pemahaman bahwa Indonesia tidak harus patuh atau tunduk pada FIFA tetapi aturan main sepakbola internasional menempatkan FIFA mempunyai kewenangan untuk itu. Dan ini sebenarnya disadari oleh K78 ketika mereka mengajukan gugatan ke CAS, dimana tergugatnya adalah FIFA.
Musyawarah dapat terjadi apabila K78 dapat menyadari fakta tersebut dan mulai beranjak untuk melakukan negoisasi/musyawarah untuk mencapai mufakat. Kesadaran atas fakta tersebut harus mengesampingkan kepentingan kelompok dan mengutamakan kepentingan yang lebih besar yaitu persatuan Indonesia. Ketika stakeholder PSSI tidak bersatu maka kemajuan Indonesia dalam bidang sepakbola tidak perlu dibicarakan. Artinya harapan untuk meraih prestasi Indonesia di bidang sepakbola tidak akan pernah tercapai, karena sepakbola Indonesia tidak bisa bertanding dalam event internasional.
Sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia harus dikedepankan ketika hendak membangun kesadaran mengenai kongres dan prestasi sepakbola Indonesia. Tanpa persatuan, sepakbola Indonesia hanya menjadi sekelas tarkam (antar kampung). Kecuali terdapat keinginan dari stakeholder PSSI yang menghendaki Indonesia hanya jago kandang dan sekelas kampung. Perlu diingat bahwa didalam nama PSSI terdapat kata Indonesia, sehingga kepentingan Indonesia atau seluruh rakyat Indonesia harus diutamakan daripada kepentingan kelompok, baik kelompok status quo maupun kelompok 78.
Bangkit Indonesia!