Ketidakpuasan mengemuka berkaitan dengan pertama, seharusnya Nazaruddin juga dicopot atau dipecat dari posisinya sebagai anggota DPR. Kedua, tuntutan publik terhadap aparat penegak hukum untuk segera memeriksa Nazaruddin terkait dengan dugaan korupsi di Sesmenpora dan pemberian uang kepada Sekjen MK. Ketidakpuasan yang mewujud dalam tuntutan publik inilah yang menggulirkan perdebatan antara etika dengan hukum. Partai Demokrat menyatakan bahwa pencopotan Nazaruddin dari jabatan Bendum partai didasarkan pada pelanggaran etika. Dan terkait dengan kasus korupsi yang melingkupi diserahkan kepada aparat penegak hukum khususnya KPK untuk melakukan proses hukumnya.
Keinginan menempatkan etika berjalan seiring dengan hukum adalah idealitas dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya berbeda ranah, tetapi tidak saling terpisah. Meski dimungkinkan untuk ada pembatasan tegas tetapi diantara keduanya saling membangun keterhubungan. Hubungan tersebut sangat tergantung dari sudut pandang atau perspektif yang digunakan khususnya terhadap hukum. Kenapa hukum, bukan etika? Etika (ethos; ta etha) yang berarti kebiasaan/adat, watak/akhlak, sikap atau cara berpikir. K. Bertens mengemukakan bahwa etika adalah [1] nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; [2] kumpulan asas atau nilai moral dan [3] ilmu tentang baik dan buruk.
Etika berada diluar hukum, namun sekaligus menjadi inspirasi bagi pembentukan hukum. Sehingga menempatkan etika sebagai hukum tergantung pada sudut pandang hukum yang digunakan. Apabila hukum didefinisikan sebagai perintah, larangan dan sanksi yang dibuat oleh kekuasaan yang memiliki legitimasi maka etika tidak termasuk dalam (pengertian) hukum tersebut. Berbeda halnya dengan definisi hukum yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dari definisi terakhir maka definisi hukum yang pertama termasuk pada hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan, sedangkan etika dapat dikategorikan pada hukum tidak tertulis.
Pada hukum yang diartikan sebagai peraturan perundang-undangan tidak berarti etika tidak mendapatkan tempat sama sekali. Etika dapat menjadi gagasan atau ide yang menginspirasi pembentukan aturan yang mewujud pada perintah dan larangan. Inspirasi dimaksud terkait mendasari pembentukan kaedah hukum. Dalam hal ini etika yang merupakan nilai mengenai baik dan buruk memedomani perilaku individu/masyarakat ditransformasikan atau mengalami proses positivisasi.
Transformasi nilai menjadi teks peraturan perundang-undangan adalah positivisasi, yang semula hanya nilai menjadi kaedah hukum. Positivisasi ini mempunyai dampak yuridis yaitu dalam hal ruang lingkup keberlakuan. Ketika masih menjadi nilai maka keberlakuannya hanya terbatas pada individu atau kelompok tertentu. Berbeda halnya pasca positivisasi, nilai yang menjadi teks atau pasal peraturan perundang-undangan berlaku dalam ruang lingkup masyarakat yang lebih luas dan menjadi universal atau tidak partikular lagi.
Ruang lingkup keberlakuan juga berkaitan dengan daya jangkau dalam hal kemampuan memberikan sanksi. Pada etika sanksi yang dapat diterapkan adalah sanksi sosial yang daya imperatifnya relatif lemah. Sedangkan ketika sudah menjadi teks atau pasal maka dapat diterapkan sanksi hukum yang lebih tegas dan mengikat atau daya imperatifnya kuat.
Etika dan hukum dapat dikotomikan, tetapi sulit untuk dipisahkan. Bahkan secara tendensius dapat dikemukakan bahwa hukum (baca: peraturan perundang-undangan) dapat dibentuk tanpa etika, tetapi etika agar mempunyai keberlakuan yang lebih mengikat harus dipositivisasi. Peraturan perundang-undangan tanpa etika akan memicu perdebatan, yaitu dalam hal pembentukannya mengabaikan nilai-nilai universal yang dianut dalam masyarakat. Yang dianut pada pembentukan hukum tanpa etika adalah keinginan pemegang kekuasaan yang mengutamakan nilai-nilai individual yang diyakini. Artinya cukup mustahil hukum dapat dibentuk tanpa etika, karena terkait baik dan buruk yang menjadi pedoman berperilaku sudah menjadi ranah kajian etika.
Etika menjadi supporting sistem atau sistem pendukung dari hukum, meski tidak harus menjadi backbone dari hukum. Tetapi keberadaan etika mampu memberikan arahan dan 'cita rasa' hukum yang dikehendaki. Arahan yang diberikan etika terkait dengan substansi baik dan buruk yang dianut dalam masyarakat. Pemahaman mengenai etika akan memberi pengaruh pada hukum yang akan dan sudah dibentuk. Sehingga dari hukum dapat diketahui jejak-jejak nilai yang ditransformasikan. Hukum tanpa etika adalah kemustahilan, etika tanpa hukum memiliki keterbatasan daya jangkaunya. Sehingga meskipun berbeda saling melengkapi diantara keduanya dalam menata dan memedomani interaksi sosial kemasyarakatan.