Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Hukum Selalu Datang Terlambat

27 Mei 2011   03:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09 336 0
Hukum selalu datang terlambat sebenarnya mengungkap ungkapan, 'pencuri selalu akan lebih pinter daripada polisi'. Ungkapan tersebut bukan bermaksud untuk mengolok-olok polisi atau penegak hukum yang selalu datang terlambat dalam mengantisipasi kejahatan. Para pelanggar hukum akan selalu berpikir dan menemukan cara tercanggih untuk mensiasati hukum, termasuk aparat penegak hukum.

Sebagaimana terjadi pada kasus Nunun Nurbaeti dalam korupsi dana pelawat pemilihan DGS BI dan Nazaruddin dalam dugaan gratifikasi ke Sekjen MK dan sesmenpora. Keduanya berhasil mengakali hukum dengan melarikan diri ke luar negeri. Mereka berdua mampu meninggalkan jangkauan hukum, berlari mendahului kejaran hukum tertawa riang ketika melihat hukum terengah-engah mencoba mengejar dan meraih mereka. Apakah keberhasilan ini merupakan kecanggihan berpikir mereka dalam menemukan celah hukum? Ataukah menjadi watak hukum yang kurang mampu mengantisipasi kecanggihan berpikir para pelaku kejahatan?

Hukum selalu datang terlambat itu hampir menjadi kepastian. Pernyataan tersebut didukung sistem hukum yang dianut adalah civil law yang menempatkan peraturan perundang-undangan menjadi dasar untuk memutus sebuah kasus hukum. Ketika perkembangan masyarakat melahirkan bentuk-bentuk kejahatan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, masyarakat melalui legislatif akan tergopoh-gopoh membuat peraturan perundang-undangan. Meski hakim terikat dengan prinsip hukum, 'hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya karena aturan hukum tidak jelas atau tidak ada', hakim cenderung mengutamakan mencari dasar hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan untuk mengadili sebuah perkara.

Hakim dan aparat penegak hukum tersandera dengan peraturan perundang-undangan. Tersandera pada bunyi teks, tanpa kemauan melakukan penafsiran progresif demi keadilan dan kebenaran. Hukum mengikat para penegaknya untuk mengikuti prosedur kaku dengan dalih agar tidak melanggar hukum (baca: undang-undang). Namun tidak berkesadaran bahwa menaati prosedur hukum tersebut melahirkan bentuk pelanggaran hukum dalam pengertian keadilan dan kebenaran.

Ketaatan kaku didukung dengan ketiadaan penafsiran progresif menghasilkan pengabdian kepada hukum secara konyol. Konyol karena menjadi bahan tertawaan para pelaku kejahatan yang mampu menemukan celah hukum dengan bantuan para pengacara lihai. Pelaku kejahatan mampu mengatasi kejaran atau jeratan hukum, karena hukum ditegakkan dengan mengutamakan pembacaan teks semata tanpa pemikiran yang bersifat antisipatif. Inilah salah satu kelemahan menegakkan hukum dengan membaca teks, ditingkahi dengan kepatuhan hukum yang letterlijk. Penegak hukum seharusnya mampu melihat gelagat buruk dengan mengacu pada preseden dari para pelaku kejahatan terdahulu.

Kemampuan melihat gelagat buruk tidak hanya akibat pembacaan peraturan perundang-undangan, tetapi penegak hukum menjadi pihak yang membantu pelaku kejahatan menemukan celah hukum bersinergi dengan advokat mereka yang lihai. Sebagai pihak yang membantu, penegak hukum secara tidak sadar menjadi pengabdi pada dua tuan, hukum dan pelaku kejahatan. Dan mengabdi kepada dua tuan tidak akan dilakukan secara berkeadilan, melainkan akan memiliki kecenderungan ke salah satu tuan, dan pilihannya jatuh pada mengabdi ke pelaku kejahatan. Hukum dikorbankan, ditelantarkan dan dikembalikan pada teks yang mati atau lumpuh tak berdaya.

Hukum yang dikorbankan menghasilkan kehadiran hukum yang terengah-tengah, karena ditinggal penegak hukum yang lebih dulu berlari bergandengan tangan dengan pelaku kejahatan. Hukum terengah-engah untuk mengejar dan menangkap pelaku kejahatan. Akhirnya hukum selalu datang terlambat, dan keterlambatannya melahirkan 'bayi' ketidakadilan. Kata 'selalu' akan membentuk peningkatan 'populasi' ketidakadilan, dan ketika terjadi peningkatan ketidakadilan maka masyarakat menjadi tidak percaya kepada hukum (dan aparat penegak hukum).

Hukum selalu datang terlambat menciptakan populasi ketidakadilan. Apabila populasi ini meningkat, hukum menjadi tidak bernilai dan masyarakat akan mengambil peran untuk 'merampok' sistem peradilan kriminal yaitu menjadi polisi, penuntut dan hakim sekaligus. Main hakim sendiri (eigenrichting) akan menjadi keseharian dan menunggu kemasifannya pada republik ini apabila tidak segera bangun dari ketidaksadaran ini. Anarkhi menjadi bentuk dari puncak main hakim sendiri, sekaligus jalan keluar dari kebuntuan yang menghambat hukum untuk tampil beriringan dengan kejahatan atau mendahului langkah kejahatan.

Dan kita tidak menghendaki populasi ketidakadilan dan anarkhi terjadi di republik ini, untuk itu masyarakat harus bersinergi untuk mendorong penegakan hukum yang tepat waktu (on time law enforcement). Penegak hukum yang mampu tampil membela keadilan dan kebenaran, tidak semata membela hukum. Penegak hukum yang berani mengabdi kepada kepentingan masyarakat dari pada pelaku kejahatan.

Bangkit Indonesia!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun