Silang kepentingan menimbulkan pertanyaan, apakah para balon ketum PSSI itu memang benar akan memajukan sepakbola Indonesia atau hanya sekedar mencari jabatan dan kekuasaan? Apabila ternyata yang kedua dibungkus dengan dalih ideal seperti memajukan kepentingan nasional, maka sepakbola Indonesia akan jatuh pada penggunaan kekuasaan yang menghamba pada penguasa (baca: ketum PSSI).
Hiruk-pikuk dalam bungkusan revolusi PSSI, ternyata belum tertuang pada adu konsep atau adu program pengembangan sepakbola Indonesia. Atau menyelesaikan persoalaan dikotomi LPI vs LSI, prestasi timnas, pengeroyokan pemain, tawuran suporter, kompetisi yang sehat dan profesional atau pembiayaan klub sepakbola yang tidak tergantung pada APBD. Revolusi hanya jargon, bukan membongkar sistem yang diduga korup yang mempurukkan sepakbola Indonesia.
Suksesi ketum PSSI menjadi alat perjuangan untuk mengambil alih kekuasaan tanpa konsep atau program yang jelas dan terukur bagi kemajuan sepakbola Indonesia. Suksesi menjadi pengutamaan berita mengenai bagaimana kelompok 78 berusaha untuk meloloskan calonnya. Penolakan-dukungan menjadi isu utama, menggeser keutamaan adu program untuk sepakbola Indonesia. Publik tidak diberi ruang untuk membedah track record calon dan program yang akan diterapkan ketika menjadi ketum PSSI.
Kekuasaan yang dikejar, tetapi bagaimana kekuasaan nanti akan digunakan sebagaimana tertuang dalam program tidak nampak terlihat. Sepakbola menjadi 'tetangga sebelah rumah' dari cabang kekuasaan yang dapat dijadikan sarana berolah politik. Perebutan kekuasaan menggunakan politisasi berbagai cara yang dimungkinkan sangat tampak tampil terindra oleh publik. Kelompok 78 menjadi mayoritas karena terdiri dari pemegang hak suara di kongres. Dan yang terjadi adalah diktator mayoritas dengan 'memperkosa' aturan-aturan yang memungkinkan mereka meloloskan calonnya.
Selamat berebut kekuasaan di kongres PSSI!