Penyampaian data mengenai biaya demokrasi tersebut hendaknya menjadi refleksi bagi kita baik rakyat, wakil rakyat maupun pemerintah. Refleksi dilakukan dengan mengembalikan tujuan berpemilu, dimana UU No. 10 Tahun 2008 tidak secara eksplisit mencantumkan tujuan pemilu. Tetapi dari bagian menimbang dapat dikemukakan bahwa pertama, untuk memilih wakil rakyat (DPR/D dan DPD) dan Presiden. Kedua, sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratis.
Pertanyaannya adalah apakah dengan biaya yang tinggi telah mampu menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan yang demokratis? Ataukah dengan biaya tersebut sudah menghasilkan wakil rakyat yang mampu mengejawantahkan kedaulatan rakyat? Kedua pertanyaan tersebut menjadi wahana refleksi atas pelaksanaan demokrasi, yang dalam prakteknya sering kali kedaulatan rakyat dibajak atau didzalimi oleh elit yang dihasilkan dari proses pemilu.
Wakil rakyat yang tercerabut dari konstituennya, yang lebih mewakili parpol dan kelompok politiknya daripada rakyat. Wakil rakyat yang mengidap berbagai penyakit 'tuna', seperti tuna rungu, tuna wicara, dan tuna rasa setelah dikursi empuk, ruangan dingin berAC. Kualifikasi wakil rakyat yang demikian diperparah dengan ketiadaan mekanisme Kontrol pasca pemilu. Kontrol atas perilaku koruptis atas aspirasi rakyat tidak diciptakan. Sehingga pemilu menjadi kontrak politik 5 tahunan, dimana salah satu pihak yaitu konstituen hanya bisa memutus kontrak setelah jangka waktu 5 tahun. Sebelum jangka waktu itu, meski wakil rakyat wanprestasi, tidak mekanisme hukum dan politik yang dapat menuntut pertanggungjawaban wakil rakyat.
Wakil rakyat dalam rejim demokrasi adalah anggota legislative atau badan perwakilan lainnya, dan kepala daerah. Untuk anggota legislative, mempunyai tugas legislasi yaitu membuat peraturan perundang-undangan. Sedangkan kepala daerah adalah memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hasil pemilu harus mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dengan kolaborasi tugas yaitu peraturan perundang-undangan yang mampu mendorong terbukanya peluang penciptaan ruang social, ekonomi, politik dan budaya untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam hal ini kesejahteraan tidak selalu berkonotasi dengan pendapatan atau penghasilan tetapi manfaat-manfaat lain yang bisa mengarahkan rakyat kepada kegiatan yang lebih produktif sebagai bentuk aktualisasi diri. Ruang-ruang ekspresi dalam segala bidang harus terbuka terhadap akses public yang difasilitasi oleh negara c.q pemerintah. Ekspresi dalam bidang ekonomi, social, budaya dan politik perlu didorong dalam setiap komunitas. Ekspresi menjadi bentuk aktualisasi individu dalam masyarakat, yang memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan dirinya tanpa hambatan structural yang membatasi kesempatan atau akses untuk meraihnya.
Kesejahteraan yang demikian tidak akan tercapai apabila kesatu, wakil rakyat sibuk memikirkan dirinya sendiri. Seperti fasilitas yang diminta kepada pemerintah dengan dalih untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. Tetapi kemudian wakil rakyat melupakan tugasnya untuk membuat peraturan perundang-undangan, karena lebih sibuk mengurus agenda politik partai atau kelompoknya dibandingkan berpikir untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan.
Kedua, produk perundang-undangan merupakan hasil transaksi politik daripada cerminan dari rasa keadilan masyarakat yang diwakili. Di tingkat daerah, kualitas produk perundang-undangan lebih parah karena pembuatannya hanya imitasi produk serupa dari daerah lain. Dengan dalih studi banding, DPRD dibantu dengan Setwan-nya melakukan copy paste produk hukum daerah lain. Model copy paste ini mencerminkan kekerdilan tingkat pikir wakil rakyat. Mereka tidak mau berpikir untuk menkontekstualisasikan kondisi daerahnya, menjawab kebutuhan masyarakat dengan produk hukum yang aspiratif.
Perenungan kita atas demokrasi saat ini adalah hanya memberi kesempatan bagi individu manja yang mengatasnamakan rakyat untuk melayani kepentingannya sendiri. Wakil rakyat diberi kesempatan untuk merajuk alias manja kepada rakyat agar diberi berbagai fasilitas namun nir pretasi. Dan fasilitas yang (akhirnya) diberikan hanya semakin membonsai kemampuan berpikir mereka sehingga yang nampak terlihat public adalah aneka 'kenakalan' wakil rakyat dengan 'mainan' politik yang disediakan dan dibiayai oleh rakyat.